Metode Bayani dalam perspektif A-qur'an
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kajian epistemologi Barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman pribadi.[1]
Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model system berpikir dalam Islam, yakni bayâni, irfâni dan burhâni, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan.[2]
Ilmu pengetahuan yang merupakan kunci dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak bisa datang begitu saja tanpa adanya suatu proses sebelumnya. Dalam proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ini haruslah adanya metodologi[3] yang tepat dan sesuai. Bidang metodologi ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berhubungan erat dengan hasil yang ingin dicapai. Pada akhirnya, kepiawaian dalam menentukan metodologi, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Pendidikan Islam, sampai saat ini, masih menyimpan segudang persoalan yang memerlukan solusi-solusi segera. Pendidikan Islam masih terjebak dalam dualisme dikotomik “determinisme-historis” dan “realisme-praksis”. Dalam satu sisi terlihat pendidikan Islam yang masih memakai metode lama dan berada dalam kubangan sejarah masa keemasan Islam.
Di sisi lain, pendidikan Islam juga terlihat mengalami modernisasi yang akhirnya memaksanya untuk ikut dalam arus dan condong bercorak materialistik-sekularistik.
Untuk membuat suatu pengembangan dan pembaharuan dalam pendidikan Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasul serta kontekstual dengan masa sekarang, menurut penulis perlu adanya sebuah pola fikir pendidikan Islam yang sesuai dengan tujuan, hakikat dan cita-cita pendidikan Islam. Dalam pembahasan selanjutnya penulis akan mencoba membahas dan membongkar struktur metodologi pendidikan Islam.
Untuk membuat suatu pengembangan dan pembaharuan dalam pendidikan Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasul serta kontekstual dengan masa sekarang, menurut penulis perlu adanya sebuah pola fikir pendidikan Islam yang sesuai dengan tujuan, hakikat dan cita-cita pendidikan Islam. Dalam pembahasan selanjutnya penulis akan mencoba membahas dan membongkar struktur metodologi pendidikan Islam.
Rekonstruksi metolodogi pendidikan Islam mengandung tiga struktur yang saling berkompetisi, yaitu bayâni, ‘irfani dan burhani. Masing-masing dari ketiganya ada tidak secara bersamaan. Pola fikir pendidikan bayani misalnya, lebih dahulu hadir dan mendominasi dengan adanya metode istidlâli, imlak,dan kulliyah yang memang selalu bergulat dengan teks. Metode ‘irfani hadir setelah adanya persinggungan dengan budaya Persia. Sedangkan metode burhani hadir setelah persinggungan dengan budaya Yunani.
Bagaimanakah pola fikir bayani, irfani dan burhani dapat kita sesuaikan dan implementasikan dalam metodologi pendidikan Islam?, untuk menjawab pertanyaan tersebut, akan kita bahas dalam makalah ini pada bab selanjutnya.
[1]Swami Nikhilananda, Hinduism It's Meaning for the Liberation of the Spirit, (New York:
Harper, 1958), h. 4.
[2]Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), h.
[3]Pengertian metode berasal dari kata methodos (Yunani) yang dimaksud adalah cara atau menuju suatu jalan. Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu objek atau subjek penelitian sebagai upaya menemukan jawaban secara ilmiah. Menarik kesimpulan dari sebuah pembahasan bahwa sistem dan metode yang digunakan untuk memperoleh informasi atau bahan materi pengetahuan ilmiah yang disebut dengan “metodologi ilmiah”. Lihat Rosady Ruslan, Metode Penelitian (Public Relations dan Komunikasi), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 24