BAB II (C) Metode epistimologi Pendidikan Islam dalam Bayani, ‘Irfani dan Burhani
C. Metode epistimologi Pendidikan Islam dalam Bayani, ‘Irfani dan Burhani
Metode merupakan bagian yang paling integral dari epistimologi. Epistemologi mencakup banyak banyak pembahasan termasuk metode epistimologi pendidikan Islam yang dapat dibedakan dengan metode pendidikan Islam. Metode pendidikan Islam adalah metode-metode yang dipakai dalam menyampaikan materi pendidikan Islam sedangkan metode epistemologi pendidikan Islam adalah metode-metode yang dipakai dalam menggali, menyusun dan mengembangkan pendidikan Islam.[1]
Oleh sebab itu, metode epistemologi pendidikan Islam berusaha untuk selalu memiliki sandaran teologis, inspirasi pesan-pesan Islam dari Al-Qur’an, hadits Rasulullah Saw dan pemikiran para tokoh ilmuan muslim. Untuk pembaharuan dan pengembangan pendidikan Islam, sekarang ini perlu adanya pengembangan metode pendidikan Islam yang kontekstual dan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan hadits rasul sehingga pendidikan Islam itu tercapai dengan baik. Pengembangan metode pendidikan islam tersebut dapat kita ambil dari hasil pemikiran tokoh pendidikan Islam yang membaginya dalam tiga pola fikir yaitu:
1. Metode Pendidikan Bayani
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Pengertian Bayani (explanatory), secara etimologis, mempunyai pengertian penjelasan, pernyataan, ketetapan. Sedangkan secara terminologis, Bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma`, dan ijtihad Disiplin Ilmu filologi, ilmu hukum (fikih), ulum Al-Qur'an (interpretasi, hermeneutika, dan eksegesis), teologi dialektis (kalam) dan teori sastra nonfilosofis.
Bayani adalah sebuah model metodologi berfikir yang didasarkan atas teks. Teks suci Al-Qur’anlah yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah tujuan dan arti kebenaran, sedangkan rasio menurut metodologi ini hanya berperan-fungsi sebagai pengawal bagi keamanan otoritas teks tersebut.
Sumber dan Pendekatan sumber epistemologi bayani adalah nas atau teks. Dengan kata lain, corak berpikir ini lebih mengandalkan pada otoritas teks, tidak hanya teks wahyu namun juga hasil pemikiran keagamaan yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Pendekatan yang digunakan dalam nalar bayani ini adalah lughawiyah yang memiliki prinsip Bayani infisal (diskontinu) atau atomistik, tajwiz (tidak ada hukum kausalitas), dan muqarabah (keserupaan atau kedekatan dengan teks kerangka berpikir cenderung deduktif, yaitu berpangkal dari teks).[2]
Dalam keilmuan fikih menggunakan qiyas al-'illah sementara dalam disiplin kalam menggunakan qiyas al-dalalah. Selain itu, corak berpikir bayani cenderung mengeluarkan makna yang bertolak dari lafadz, baik yang bersifat 'am, khas, mushtarak, haqiqah, majaz, muhkam, mufassar, zahir, khafi, mushkil, mujmal, dan mutashabih. Metode pengembangan corak berpikir ini adalah dengan cara ijtihadiyah dan qiyas. Yang termasuk proses berpikir ijtihadiyah adalah istinbatiyah, istintajiyah, dan istidlaliyah, sementara yang dimaksud qiyas adalah qiyas al-ghayb 'ala al-ghay. Oleh sebab itu, metode bayani telah mampu membesarkan ilmu fiqih dan ilmu teologi (ilmu kalam).
Dalam metode bayani akal berfungsi sebagai pengekang atau pengatur hawa nafsu. Akal cenderung menjalankan fungsi justifikatif, repetitif, dan taqlidy. Otoritas ada pada teks, sehingga hasil pemikiran apa pun tidak boleh bertentangan dengan teks. Karena itu, dalam penalaran ini jenis argumen yang dibuat lebih bersifat dialektik (jadaliyah) dan al-'uqul al-mutanasifah, sehingga cenderung defensif, apologetik, polemik, dan dogmatik. Hal ini antara lain dipengaruhi pola berpikir logika Stoia, bukan logika Aristoteles. Yang dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran ilmu model bayani adalah adanya keserupaan atau kedekatan antara teks atau nas dengan realitas.
Kelemahan-kelemahan nalar epistemologi bayani, yaitu ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang beragama lain, biasanya, corak berpikir ini cenderung bersifat dogmatik, defensif, apologetis, dan polemis dengan semboyan kurang lebih "right or wrong is my country." Hal ini terjadi karena fungsi akal hanya untuk mengukuhkan dan membenarkan otoritas teks. Padahal, dalam realitasnya, seringkali terjadi ada jurang antara yang terdapat dalam teks dengan pelaksanaannya, sebab akan sangat bergantung pada kualitas pemikiran, pengalaman dan lingkungan sosial tempat teks tersebut dipahami dan ditafsirkan.
2. Metode Pendidikan ‘Irfani
Salah satu di antara metode epistimologi pendidikan Islam adalah metode ‘Irfani atau metode intuitif. Dikalangan ilmuan Barat Metode ini tidak pernah dipakai dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi di kalangan ilmuan muslim, metode ini telah mampu memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan pendidikan Islam.
Istilah intuisi ini sering disebut dengan istilah-istilah lain yang subtansinya relatif sama, Muhammad Iqbal menyebut intuisi dengan peristilahan “cinta” atau kadang-kadang disebut dengan “pengalaman qalbu”.[3] Istilah lain dari metode ini adalah metode apriori, dalam metode pendidikan Islam yang dimaksud dengan apriori adalah metode mendapatkan ilmu pengetahuan sebelum dilalui oleh pengalaman. Jika metode intuisi bisa disebut sebagai metode apriori, maka pendekatan metode intuisi ini adalah metode yang menadapatkan atau memperoleh pengetahuan yang tiba-tiba secara teranugerahkan dan tidak melalui proses, prosedur, struktur dan pengalaman sama sekali.
Dalam pendidikan Islam pengetahuan intuitif senantiasa ditempatkan pada posisi yang layak. Kita ketahui, bahwa pendidika Islam menjadikan manusia sebagai objek material, sedang objek formal adalah kemampuan manusia, pendidika Islam sebenarnya secara spesifik terfokus untuk mempelajari kemampuan manusia, baik berdasarkan petunjuk wahyu, pemberdayaan akal maupun pengamatan langsung. Sedangkan intuisi ada dalam diri manusia dan sekaligus merupakan potensi manusia untuk memperoleh pengatahuan yang sering disebut dengan pengetahuan yang teranugerahkan.[4]
Dari pemikiran di atas, dapat kita pahami bahwa pendidikan Islam tidak bisa terlepas dari pengetahuan intuitif, akan tetapi pendidikan Islam selalu mampu dalam menampung berbagai pengetahuan dari berbagai macam metode-metode termasuk salah satunya adalah pengetahuan yang dihasilkan dari metode intuitif. Oelh sebabitu, intuisi juga memiliki otoritas kebenaran apabila intuisi itu masih murni dari Allah Swt dan belum bercampur dengan hasil pemikiran atau pemahaman manusia. Allah adalah maha benar dan selalu memberikan kebenaran atau petunjuk kepada manusia, berbeda dengan manusia yang terkadang salah dalam memahami sesuatu bahkan termasuk juga dalam memahami intuisi ini. Salah satu contoh intuisi adalah dalam kita melakukan shalat istikharah, kita meyakini bahwa petunjuk yang diberikan oleh Allah merupakan sebuah jawaban atas permohonan kita melalui shalat tersebut adalah pasti benar adanya.
Adapun mengenai pertanyaan orang tentang kemungkinan intuisi sebagai sebuah metode dan ilmu pengetahuan, maka dijawab dengan tiga alasan:
- Metode intuisi adalah metode yang banyak digunakan manusia. Metode ini dikenal sangat berhasil dan efektif di kalangan orang-orang yang bergelut dalam dunia spiritual.
- Metode intuisi dapat diuji kemampuannya memahami realita secara objektif. Objektivitas merupakan sesuatu yang diharapkan setelah diberlakukan suatu metode yang dapat dicapai oleh metode intuisi.
- Metode intuisi dapat dipelajari dan dikuasai oleh siapapun dengan usaha-usaha yang intens dan terbimbing.[5]
Metode pendidikan burhani adalah metode pendidikan Islam yang rasional yaitu metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran yang bisa diterima rasio. Dalam metode ini sesuatu dianggap benar apabila bisa diterima oleh akal (berlandaskan rasio) dan lebih menekankan pada penjelasan-penjelasan yang logis daripada aspek lainnya. Dalam pendidikan Islam metode ini dapat digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan terutama yang bersifat apriori.
Penggunaan akal dalam proses mendapatkan ilmu pengetahuan termasuk juga pengetahuan pendidikaan Islam, karena kebenaran akal mampu memperkuat kebenaran agama Islam. Para filosof-filosof Islam juga bersepakat bahwa syari’at juga mewajibkan berfikir filosofis sebagaimana mewajibkan penggunaan bukti logis dalam mengetahui Allah Swt dan mahluk-mahlukNya. Sebagaimana yang tertera dalam FirmanNya:
Artinya: Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.
Berdasarkan ayat ini, sesungguhnya Al-Qur’an qiyas burhani dan pemikiran rasional-filosofis. Dalam berfikir rasional ini akan ditemukan penemuan dan pembaharuan pengetahuan Islam yang lebih baikberdasarkan objek pemikiran. Dalam pengembangan pendidikan Islam, sangat dibutuhkan pemikiran yang rasional-filosofis untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan baru yang ada dalam ketentuan-ketentuan Al-Qur’an tentang pendidikan sebagai prinsip-prinsip yang masih harus difikirkan secara mendalam demi merumuskan teori-teori baru yang sesuai dengan jiwa dan karakteristik Ak-Qur’an.
Perintah agar manusia mau berfikir dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan telah Allah firmankan dalam Al-Qur’an seperti mangapa kamu tidak berfikir (Al-An’am [6] ayat 50), mengapa kamu tidak menggunakan akal (Al-Saffat [37] ayat 138), mengapa mereka tidak memperhatikan (Al-Sajadah [32] ayat 26). Semua ayat-ayat tersebut mendorong manusia agar mau berfikir dan melakukan perubahan secara yang tekstual dan kontekstual.[6]
Akal adalah anugerah Allah yang paling istimewa kepada mahlukNya yaitu khususnya manusia. Oleh sebab itu, akal memiliki peran dan fungsi yang sangat besar bila kita manfaatkan dengan baik. Akal mampu mengantarkan pada terwujudnya sains dan teknologi Islam yang modern, akal juga mampu dalam memajukan sebuah agama dan negara. Akan tetapi, harus kita akui bahwa yang ditemukan hari ini adalah pendidikan Islam yang rinciannya adalah pendidikan Barat yang diperkuat dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi, mulai dari struktur, manajemen, kurikulum, metode, sampai evaluasi pendidikan Islam adalah acuan dan produk pemikir-pemikir Barat.
Pengembangan pendidikan Islam adalah beban dan tanggung jawab semua elemen masyarakat baik ditingkat pemerintahan atau ditingkat rakyat biasa. Para praktisi dan pelaksana pendidikan Islam harus mampu menggunakan metode rasional agar mereka mampu membangun pendidikan Islam baik sacara institusional maupun secara konseptual dengan dengan bantuan pengalaman mereka masing-masing selama menekuni profesinya.
Dalam sejarah Islam, sebenarnya semua pengetahuan bersandar pada kitab suci Al-Qur’an, hadits Nabi dan akal. Cara yang digunakan akal dalam mandapatkan ilmu pengetahuan tentang pendidikan Islam adalah dengan menjelaskan permasalahan, membandingkan, menghubungkan, imajinasi, menggali, menemukan, menangkap makna, mengambil pelajaran, menentang suatu teori, menyimpulkan, menyeleksi kebenaran, analisis, merenungkan, mengenbangkan objek pembahasan, mempertajam masalah, mempertanyakan kembali hasil pemikiran, menjawab permasalahan, memberikan contoh, sitesis, evaluasi, dan intropeksi.
Pendidikan Akal/Kecerdasan (Tarbiyah al-‘Aqliyah) adalah suatu upaya Islam mendidik umatnya agar senantiasa menggunakan potensi akal pikirannya. Melalui potensi akalnya manusia dapat mengamati, memahami, memikirkan dan mempelajari makhluk-makhluk Allah (tafakkaru fi khalqillah wa la tafakkaru fi zatillah) kemudian mengambil i’tibar dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya itu. Tidak sedikit ayat di dalam Al-Qur’an yang menyuruh manusia agar menggunakan akal pikirannya, terdapat beragam kata yang digunakan oleh Al-Qur’an untuk menggambarkan perbuatan berpikir seperti:
- Nazara, melihat secara abstrak, dalam arti berpikir dan merenungkan. Terdapat lebih dari 30 ayat dalam Al-Qur’an, antara lain sebagai berikut: Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? (Q.S. 85 : 5). Dan “maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannyadan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun” (Q.S. 50 : 6).
- Tadabbara, merenungkan, seperti ayat berikut: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (Q.S. 47 : 24).
- Tafakkara, berpikir, terdapat lebih dari 15 ayat, antara lain sebagai berikut: Katakanlah “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang haib dan tidak (pula) aku mengatakankepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah! “Apakah sama orang yang buta dengan orang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan (nya)? (Q.S. 6: 50).
- Faqiha, mengerti, paham, terdapat di dalam 20 ayat, antara lain sebagai berikut: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (Q.S. 9 : 122).
- Tazakkara, mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari. Terdapat lebih dari 100 ayat, antara lain sebagai berikut: Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Q.S. 16 : 17).
- Bahwa satu masalah dapat diproses melalui semua atau berbagai macam cara,
- Masing-masing cara itu dapat dapat memproses masalah dan memperoleh pengetahuan yang berbeda-beda,
- Satu cara dapat dipergunakan memproses hampir semua masalah tersebut, sehingga pada dasarnya metode rasional mampu mengembangkan pengetahuan pendidikan Islam dalam jumlah yang sangat besar.[7]
|
Bayani
|
Irfani
|
Burhani
|
Sumber
|
Teks
keagamaan atau nash
|
Ilham atau
intuisi
|
Rasio
|
Metode
|
Istinbat dan
istidlal
|
Kasyf
|
Tahlili
(analitik) dan diskursus
|
Pendekatan
|
Linguistik
dilalat al-lughawiyah
|
Psikho
gnostik
|
Logika
|
Tema
sentral
|
Ashl-furu’
Kata-makna
|
Zahir-batin
Wilayah-nubuwah
|
Essensi-aksistensi
Bahasa-logika
|
Validitas
kebenaran
|
Korespodensi
|
intersubjektif
|
Koherensi
Konsistensi
|
Pendukung
|
Kaum teolog
Ahli Fiqih
Dan ahli
bahasa
|
Kaum sufi
|
para filosof
|
[2]Muqowim. 2008. Pengantar Kajian Islam, online. (http://www. 2008-10_26_archive.html. Diakses 14 juli 2010).
[3]K.G. Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, (Bandung: Diponegoro, 1986), h. 103.
[4]Mujamil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 299.
[5]Rendra K, Metodologi Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. Xiii.
[6] Mujamil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam..., h. 273-274
[7]Ibid..., h. 296