Faktor Yang Mendorong Lahirnya PUSA
Adapun Faktor yang mendorong lahirnya PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada tanggal 12 Rabi'ul Auwal 1358 H, bertepatan dengan 5 Mei 1939 M di Matang Geulumpang Dua adalah sebagai berikut:
a. Membela rakyat tertindas.
Belanda yang melakukan peperangan dengan kerajaan Aceh yang telah menimbulkan kesengsaraan rakyat, baik lahir maupun batin. Belanda dan sebagian uleebalang telah bertindak sewenang-wenang bahkan memperkosa dan bertindak seperti raja-raja yang berkuasa atas harta benda dan jiwa rakyat, sehingga tingkat kehidupan sosial semakin merosot.
Ulama merasa terpanggil untuk berjuang membela rakyat tertindas, memperbaiki pendidikan, membangun ekonomi dan menghilangkan kesengsaraan rakyat, sebagai realisasi perintah ALLAH kepada mereka. Perjuangan itu amat berat karena harus berhadapan dengan pemerintah kolonial dan kakitangannya, yang memang bertujuan agar rakyat tetap bodoh dan miskin. Karena itu para ulama merasa perlu mendirikan suatu organisasi yang dapat menyatukan semua ulama Aceh dengan tujuan membela rakyat tertindas.
Baca juga: Pendidikan Islam di Aceh Masa Penjajahan
b. Pengaruh dari Luar.
Setelah ummat Islam terlena sekian lama dalam kejumudan, khurafat dan kesucian yang berlebih-lebihan, muncullah orang kuat Islam abad ke XVII, Muhammad bin Abdul Wahhab (1703 - 1787) di Nejed, Jazirah Arabia. Beliau terkenal sebagai pembawa Pemurnian kembali agama Islam. Beliau pembawa roh baru yang menyadarkan ummat Islam dan mengajak mereka kembali kepada Al-Qur'an dan Al-Hadis. Bangsa Arab yang tersadar oleh gerakannya, segera menjadi pendukungnya. Setelah mendapat dukungan dari Amir Muhammad yang berkuasa ketika itu, mulailah ia menggunakan kekuatan untuk membasmi segala bentuk khurafat, sikap jumud, taqlid buta dan mengumandangkan ajaran Islam murni.
Pada abad ke XIX di Afganistan muncul pula mujahid dan mujaddid, Jamaluddin Al-Afghany (1838 -- 1897), pelopor anti penjajahan dan pendiri Pan Islamisme yang bertujuan menyatukan ummat Islam sedunia, dan berusaha melepaskan diri mereka dari penjajahan dan membebaskan umat dari belenggu kemiskinan. Untuk maksud ini: kekuasaan dipusatkan untuk memimpin kekuatan-kekuatan politik kaum muslimin ').
Di Mesir muncul pula Syekh Muhammad Abduh (1849 - 1905), murid dan pelanjut cita-cita Al-Afghany. Ia adalah seorang ulama yang gigih berjuang membebaskan bangsa Mesir dari penjajahan Inggeris. Ketika di Paris mereka berdua mendirikan suatu gerakan radikal Al'Urwatul Wutsqa dan menerbitkan majalah Al-'Urwatul Wutsqa yang segera tersebar luas serta membangkitkan semangat kaum muslimin sedunia untuk menyusun barisan melawan kaum penjajah dengan kekuatan politik dan senjata. Ribuan orang muslimin sedunia memperoleh majalah itu ketika beribadah Haji dan membawanya pulang ke negerinya masing-masing.
Pada penghujung abad tersebut tampil pula Sayid Rasyid Ridla (1856 1935) di Mesir seorang ulama terkemuka, intelek, berani, nasionalis, dan militan murid dan pendukung ide Syekh Muhammad Abduh. Ia menyadarkan rakyat Mesir agar bersatu membangun ekonomi Islam, bersikap non-cooperation dengan penjajah, mengadakan pembaharuan pemikiran, pendidikan dan sebagainya. Ia dan gurunya menggelorakan ide pembaharuan tersebut dalam majalah : Al-Manar yang dipimpinnya sendiri. Majalah itu dibaca oleh para reformis dari setiap negeri Islam.
Baca juga: Ulama Aceh Masa Kerajaan Aceh Darussalam
Empat orang tokoh Islam itu telah mengilhami kebangkitan ummat Islam di Barat dan di Timur, tidak ketinggalan Indonesia, yang telah berabad-abad lamanya di bawah jajahan Belanda. Paham ke empat tokoh tersebut, melalui pelajarpelajar yang menuntut ilmu di Arab Saudi dan Mesir, atau melalui majalah-majalah Al-'Urwatul Wutsqa dan Al-Manar yang dibawa oleh jamaah Haji atau lewat pos, mengalir ke Indonesia. Cara yang terakhir ini kemudian macet. Belanda ti Jak mengizinkannya berada di negeri jajahannya, karena dianggapnya dapat menghasut rakyat untuk memberontak.
Dua orang mahasiswa Indonesia di Kairo pada zaman perang, Mukhtar Luthfi dan Ilyas Yakub, menerbitkan dua majalah berbahasa Melayu tulisan Arab, yaitu : Suara Al-Azhar, pimpinan Mukhtar Luthfi dan Pilihan Timur, pimpinan Ilyas Yakub. Ke duanya beredar di Indonesia dan Malaya dan berpengaruh tidak kecil bagi gerakan pembaharuan, termasuk di daerah Aceh, daerah yang terjangkau oleh ke dua majalah itu.
Majalah-majalah itu diilhami oleh Al-Manar dan Al-'Urwatul Wutsqa, baik di bidang pembaharuan pendidikan maupun ekonomi, politik dan sosial. Majalah itu, setelah sempat beredar kira-kira 15 nomor, karena dianggap menghasut, dilarang masuk ke Indonesia 8).
Baca juga: Pusat Pendidikan Masa Kerajaan Aceh Darussalam
Di antara ulama yang berjasa bagi pembaharuan di Indonesia (lulusan Timur Tengah) ialah : (1) Syekh Thahir Jalaluddin (Minangkabau) yang menerbitkan majalah Al-Iman dan pendiri sekolah Al-Iqbal Al-Islamiyah di Singapura, (2) Syekh Muhammad Jambek. Beliau adalah pendiri organisasi Tsamaretul Ikhwan. Beliau adalah orang yang menerbitkan brosur-brosur keagamaan di Bukittinggi, (3) Syekh Abdullah Ahmad. Beliau adalah seorang ulama dan juga wartawan yang menerbitkan majalah bulanan Al Munir (1910), majalah Al-Akhbar (1913), penulis tetap pada majalah Al-Islam (1916), anggota pimpinan pusat Sarekat Islam Surabaya, memimpin Persatuan Wartawan Padang (1914) dan pendiri sekolah Jama'ah Adabiyah (1909), (4) Dr. Syekh Haji Abdul Karim Amrullah, paling gigih menentang penjajah, pendiri Sumatera Thawalib, pemerakarsa sekolah guru Normal Islam Padang, penentang ordonansi guru ciptaan kolonial, pendiri organisasi Muhammadiyah di Minangkabau dan guru dari ulama-ulama terkenal, Ibrahim Musa Parabek, Dr. Hamka dan lain-lain, 9) (5) Syekh Soerkati (Sudan), (6) Kiyai Haji Ahmad Dahlan, (7) Hasan Bandung (India) pendiri Persatuan Islam (PERSIS) di Bandung (1920) dan penerbit majalah Islam radikal Pembela Islam ( 1930) serta guru ulama terkenal Muhammad Natsir, Kiyai Haji Anshary dan lain-lain 10). Di Aceh, pembaharuan dikembangkan oleh ulama-ulama, baik yang pernah belajar di luar daerah Aceh maupun yang kemudian mempelopori berdirinya PUSA. Syekh Al-Khalaly di Aceh mendirikan Madrasah Al-Irsyad cabang Lho'Seumawe (1928), yang salah seorang anak didikannya ialah Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy.
c. Keinginan bersatu.
Mulai tahun 1930 an, para ulama telah dibenarkan mengadakan dakwah ke luar desanya, terutama pada hari-hari besar Islam. Beberapa ulama terkemuka seperti Tgk. Muhammad Daud Beureueh, Tgk. Abdurrahman Meunasah Meucap, Tgk. Abdullah Ujung Rimba, Tgk. Abdul Wahab Seulimeum, Tgk. Syekh Ibrahim Ayahanda, Tgk. Ahmad Hasballah Indrapuri, Tgk. Abdullah Umar di Lam'u Tgk. Muhammad Amin Garot, Tgk. Ismail Yakub dan lain-lain, turut aktif dalam kegiatan-kegiatan dakwah. Dalam kesempatan tersebut para ulama dapat bertemu dan bertukar pikiran, saling mengutarakan pengalaman dan saling isi mengisi. Dari pertemuan-pertemuan insidentil itu muncullah gagasan p';rlu adanya persatuan dan kesatuan ulama, untuk meningkatkan Dakwah Islamiyah, mencegah pertentangan dan perbedaan pendapat, juga menyeragamkan langkah menuju suatu ide yang masih berakar, melepaskan diri dari belenggu penjajahan menuju kemerdekaan tanah air.
Baca juga: Larangan Melampaui batas dalam Beragama
d. Kurikulum Madrasah yang berbeda-beda.
Setelah berdirinya madrasah Khairiyah di Kutaraja (1916), Thawalib di Tapak Tuan (1922), Al-Irsyad cabang Lho'Seumawe (1927), Nahdhatul Islam di tdi (1928), timbullah madrasah-madrasah lainnya di seluruh Aceh sampai mencapai 100 buah ( 1936) ' -) dengan kurikulum yang berlainan. Para Ulama yang bertemu dalam bertabligh atau lainnya ada yang mengusulkan agar kurikulum madrasah-madrasah tersebut diseragamkan. Usul tersebut ternyata mendapat dukungan para ulama dan pimpinan-pimpinan madrasah yang berpikiran maju.[1]
Referensi:
[1] A. Hasjmy, "Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah", majalah Sinar Darussalam, No. 63, Agustus/September 1975, h. 24-25