Pemberian Hukuman Terhadap Anak Dalam Perspektif Pendidikan (2)
Jika semua kata hukuman disamakan dengan tindak kekerasan sehingga harus dihilangkan dalam mendidik anak, maka yang menjadi persoalan selanjutnya adalah; bagaimana pendidik mampu mengajarkan anak tentang cara menghormati hak orang lain, menghormati orang tua, menghormati nilai budaya bangsa, bertanggung jawab, mandiri, menghargai orang lain, sehingga mampu membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang salah agar anak mampu mengaplikasikan nilai-nilai moral, etika serta akhlak yang baik di dalam kehidupannya, jika anak tidak pernah dikontrol atau diarahkan sikap dan tingkah lakunya.
Jika hal tersebut terjadi, maka pendidikan terhadap anak menurut penulis 50% gagal, walaupun dari segi pengusaan materi anak mendapat nilai yang tinggi, akan tetapi jika sikap atau tingkah laku mereka tidak memiliki nilai-nilai etika, moral dan akhlak yang baik dan tidak tertanam dalam diri anak, maka pendidikan tetap penulis katakan gagal, mengapa, karena tujuan pendidikan bagi bangsa kita adalah sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, Pasal 3 menyatakan bahwa:
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[1]
Baca juga: Pemberian Hukuman Dalam Perspektif Pendidikan 1
Dan tujuan pendidikan dalam konsep pendidikan Islam adalah untuk mengingat Allah swt,[2] untuk tidak mengutamakan hawa nafsu[3] yaitu melalui pendidikan akhlak dan budi pekerti yang mulia, yaitu budi pekerti dan akhlak yang sifatnya bukan hanya pengetahuan, tetapi penerapan dalam kehidupan sehari-hari.[4] Hal ini jelas sangat berbeda dengan tujuan pendidikan yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak sebagaimana yang terdapat pada Pasal 9, Ayat 1 yang berbunyi: “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka mengembangkan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.”[5]
Dari ketiga tujuan pendidikan yang penulis paparkan di atas, tujuan pendidikan menurut Undang-Undang Perlindungan Anak adalah tujuan pendidikan yang “cacat” dengan hanya mengutamakan kecerdasan, kemauan dan kehendak pribadi anak tanpa melihat hal yang lebih penting yaitu pembinaan etika, moral dan akhlak anak. Maka dengan demikian, Undang-Undang Perlindungan Anak tidak bisa lebih mendominasi proses belajar mengajar di sekolah, seperti halnya hukuman, karena hukuman tidak selamanya dengan pemukulan sehingga dianggap kekerasan, dan kekerasan bukan hanya bersumber dari pemberian hukuman.
Pendidikan Islam juga tidak menyetujui adanya tindak kekerasan di lembaga pendidikan, akan tetapi pendidikan Islam memandang pemberian hukuman terhadap anak dari sudut pandang yang berbeda. Hukuman terhadap anak merupakan suatu metode pendidikan yang terkadang perlu dipakai untuk meluruskan perilaku anak. Setelah anak dibimbing, dididik, dibina dan dibiasakan dalam bersikap atau berakhlak mulia, akan tetapi anak masih berperilaku menyimpang, maka seorang pendidik diharuskan untuk segera menegur dan menasehati anak tersebut. Hal ini penting, karena jika anak tidak ditegur atau dinasehati atau bahkan dibiarkan begitu saja tanpa mendapatkan teguran apapun dari pendidiknya, maka anak akan merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah benar, dan anak akan terus terbiasa dengan perilaku yang menyimpangnya tersebut. Jamaal Abdur Rahman dalam bukunya “Tahapan Mendidik Anak” menjelaskan bahwa:
Baca juga: Perlindungan anak
“Sesungguhnya tujuan menjatuhkan hukuman dalam pendidikan Islam tiada lain hanyalah untuk memberikan bimbingan dan perbaikan, bukan untuk pembalasan atau kepuasan hati. Oleh karena itu, harus diperhatikan watak dan kondisi anak yang bersangkutan sebelum seseorang menjatuhkan hukuman terhadapnya, memberikan keterangan kepadanya tentang kekeliruan yang dilakukannya, dan memberi semangat untuk memperbaiki dirinya serta memaafkan kesalahan-kesalahan dan kealpaannya manakala anak yang bersangkutan telah memperbaiki dirinya.[6]
Oleh karena itu, Seorang pendidik dalam memberikan hukuman pada dasarnya memerlukan tahapan-tahapan dan pertimbangan yang tepat dengan metode pemberian hukuman yang efektif diberikan kepada peserta didiknya, selain itu, hal yang perlu dilihat juga dari tingkat kesalahan yang dilakukan anak didik itu sendiri. Pemberian hukuman bisa dilakukan dengan menasehati anak secara lemah lembut, pelarangan, sindiran, pengabaian dan tahap terakhir baru dengan pukulan dan itupun pukulan dengan tidak meninggalkan bekas atau menyakiti si anak.
Akan tetapi, jika para pendidik “lupa daratan” dalam memberi hukuman terhadap anak sehingga melenceng dari hakikat pemberian hukuman sebenarnya, maka hal itu bukan malah menyelesaikan masalah tapi sebaliknya akan dapat menimbulkan masalah baru. Memang penulis akui, terkadang agak sulit membedakan antara hukuman dan kekerasan, namun harus penulis tegaskan kembali bahwa, pada hakikat dasarnya hukuman dan kekerasan adalah suatu hal yang berbeda, hanya ketika aplikasi hukuman dilakukan secara berlebihan dan tidak sesuai lagi dengan hakikat dasarnya, maka hukuman akan mengacu pada kekerasan yang tidak akan menambah atau memberi efek apapun terhadap perubahan perilaku anak didik, melainkan kebodohan dan kebekuan pemikiran mereka.
Kategori hukuman yang paling banyak dipersoalkan dan menimbulkan efek negatif terhadap anak didik adalah hukuman pukulan, para pendidik terkadang juga menjadikan penyamarataan hukuman dengan hukuman pukulan sebagai sarana yang langsung digunakan sebelum melalui beberapa tahapan hukuman lainnya tanpa membedakan tingkat kesalahan anak. Hal ini yang kemudian menjadi “bumerang” dalam kesalahpahaman dalam memahami hukuman sehingga sarana pendidikan tersebut menjadi tindak kekerasan yang jelas pendidikan Islam juga tidak menyetujui hal tersebut terjadi di dalam lembaga pendidikan.
Baca juga: Soal Ujian Kelas 4
[1]Keppres dan Kepmendiknas, Undang-Undang Sisdiknas..., h. 5-6.
[2]Lihat Q.S. Ali Imran, (3: 191): “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
[3]Lihat Al-Mu’minun, (23: 71): “Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.”
[4]Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 149.
[5]Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 17.
[6]Jamaal Abdur Rahman, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah, terj. Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2008), h. 176.