Tokoh Pendiri Madrasah Sa’adah Abadiyah Sigli
Madrasah Sa’adah Abdiah di dirikan pada tahun 1931 M di Sigli, Pidie oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh. Tenaga pengajar pada madrasah sa’adah Abadiyah adalah tgk. Mustafa Ali (lulusan Al-Azhar Kairo), tgk. Abdullah Ujong Rimba, dan Haji Mu’in (Qari asal padang).[1]
Lama belajar di madrasah ini selama tujuh tahun. Para pelajar dianjurkan tinggal di asrama dan mereka hidup secara “meudagang”[2]. Dana pengelolaan pendidikan ini diperoleh dari sumbangan para dermawan dan sebagian lainnya dari uang sekolah yang dikutip dari para pelajar. Murid-murid yang diterima dari sekolah ini adalah tamatan dari volkshool atau murid yang sudah pandai membaca Al-qur’an. Adapun mata pelajaran yang diajarkan adalah:
- Bahasa arab dengan semua cabangnya.
- Tafsir al-qur’an
- Tafsir hadits
- Ilmu figh
- Bahasa inggris
- Sejrah islam dan umum
- Bahasa indonesia
- Ilmu kesehatan
- Ilmu tata negara
- Ilmu bumi
- Tulisan indah
- Ilmu berhitung
- Aljabar
- Dan ilmu ukur.[3]
Apabila kita perhatikan materi yang diajarkan pada madrasah saadah abadiyah, dapat kita simpulkan bahwa madrsah ini sudah termasuh kedalam madrasah menengah pertama menurut pembgian tingkat pendidikan sekarang ini. Pada masa tersebut semua mata pelajaran disajikan dalam bahasa arab sebagai pengantar sehingga tamatan dari madrsah tersebut benar-benar lancara dalam berbahasa arab. Di madrasah ini juga terdapat kegiatan ekstrakurikuler, seperti kegiatan kepanduan (pramuka), kegiatan gerak badan, berorganisasi, berpidato dan lainnya. Pelajar di madrasah ini diluar jam belajar formal juga mendapatkan pengawasan yang sangat ketat di asrama terutama pada malam hari. Pada malam hari, pelajar harus mengulang peljaran dibilik asrama masing-masing dan tidak dibenarkan meninggalkan asrama tanpa ijin dari penanggung jawab asrama. Disamping dari pada itu, siswa juga diwajibkan melakukan shalat lima waktu secara berjmah yang langsung dikontrol sendiri oleh tgk. Muhammad Daud Beureueh.
Ditinjau dari jadwal belajar, maka madrasah ini waktu belajarnya dibagi kepada waktu pagi dan siang. Dari jam 08.oo WIB sampai dengan jam 13.00 WIB bagi kelas yang lebih tinggi. Sedangkan dari jam 14.ooWIB sampai dengan jam 18.oo WIB bagi kelas satu dan kelas dua.[4]
Baca Juga: Gerakan PUSA Masa Penjajahan Belanda
Madrasah Sa’adah abadiyah ini terkenal di seluruh aceh. Setiap tahunnya banyak pelajar yang mendaftar yang bersal dari seluruh Aceh. Banyak juga tamatan dari sekolah ini yang nantinya melanjutkan pendidikan di Normal Islam Institute di Bireuen yang diidirikan oleh PUSA.
Dalam perkembangan selanjutnya setelah kemerdekaan madrsah ini berubah nama menjadi Sekolah Rendahan Islam (SRI) di bawah naungan departemen Agama sebagaimana mana juga terjadi pada madrasah yang lainnya.[5]
Referensi:
[1] Muhammad Daud Remantan, pembaharuan pemikiran Islam Di Aceh (disertasi), (Jakarta: UIN syarif Hidayatullah, 1985), h. 227.
[2] Medagang adalah sebuah tradisi belajar di aceh. Yang mana siswa tinggal diasrama (pondok) dengan bekal yang dibawa langsung dari tempat asalnya. Mereka dianjurkan hidup secara mandiri dengan memasak, cuci pakaian secara sendiri, sehingga mereka benar-benar mengusai ilmu agama dan mandiri dalam kehidupannya.
[3] Majelis Pendidikan daerah Aceh, Perkembangan pendidikan di Nanggroe Aceh darussalam, (Banda Aceh: Gua Hira, 2002), h. 119-120.
[4] Majelis Pendidikan daerah Aceh, Perkembangan pendidikan di Nanggroe Aceh darussalam, (Banda Aceh: Gua Hira, 2002), h. 120.
[5] Majelis Pendidikan daerah Aceh, Perkembangan pendidikan di Nanggroe Aceh darussalam, (Banda Aceh: Gua Hira, 2002), h. 121.