As-Sunnah Menjadi Rujukan Dalam Kodifikasi dan Orientasi
As-sunnah merupakan sumber kedua dari hukum Islam dalam konteks kodifikasi dan orientasi. As-sunnah juga menjadi rujukan ahli fikih dalam menetapkan hukum. Juga menjadi rujukan para juru dakwah dan para pendidik untuk mengambil makna yang memberikan inspirasi, nilai yang memberikan orientasi, kata-kata bijak, gaya bahasa yang menganjurkan kebaikan dan memperingatkan manusia dari kejahatan.
Baca juga: Prinsip Azasi Yang Berhubungan dengan Sunnah
Untuk memikul tugas ini, as-sunnah harus lebih diterima ketetapannya dari Nabi Muhammad. Ini dicantumkan dalam ilmu hadits, bahwa hadits yang dapat dijadikan sebagai dalil dalampenetapan hukumharuslah berkedudukan shahih ataupun hasan. Hadits yang shahih itu serupa dengan predikat Mumtaz atau Jayyid Jiddan dalam tingkatan kelulusan di Universitas. Hadits hasan itu serupa dengan predikat jayyid atau maqbul (cukup). Oleh karena hadits hasan yang paling tinggi mendekati shahih sebagaimana yang paling rendah mendekati hadits dhai’f (lemah).
Para ulama sepakat tentang persyaratan dan hadits hasan dijadikan argumentasi dalam penetapan hukum syariah yang bersifat praktis yang merupakan tiang penyangga ilmu fikih dan dasar penetapan hukum halal dan haram.
Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang hadist yang ada kaitannya dengan keutamaan dzikir, anjuran, larangan dan yang serupa dengnnya yang tidak termasuk kedalam bab kodifikasi yang jelas. Di antara uama salaf ada yang bersikaptoleran dalam meriwayatkannya dan dalam mengeluarkannya tidak mendapat suatu perintang.
Sikap toleransi ini tidak mutlak, tetapi sesuai dengan tempatnya dan dengan segala persyaratannya. Akan tetapi banyak orang yang salah menggunakannya sehingga mereka tersesat dan mencemarkan sumber islamyang murni.
Adapun buku yang berisikan tentang nasehat , bacaan ringan dan buku-buku tasawuf penuh dengan hadits seperti itu.
Demikian pula banyak buku tafsir, sehingga ada di antaranya yang selalu mengeluarkan hadits pasu yang populer tentang keutamaan surat-surat dalam al-qur’an. Para ulama penghafal hadits telah menyingkap cacatnya dan menjelaskan kepalsuannya sehingga tidak ada lagi alasan untuk meriwayatkannya dan memenuhi lembaran-lembaran buku ilmiyah.
Akan tetapi orang-orang seperti Az-zamaksyari, Ats-Tsaklabi, Al-Baidhawi,Ismail Haqi dan lainnya bersikeras untukmengeluarkan hadits-adits palsu tersebut. Bahkan lebih dari itu, seorang penulis buku Ruuhul Bayan menyatakan benar disebutkannya hadits-hadits seperti itu dan seakan-akan dia menjadi pembelanya sehingga dengan ancang dia menulis dalam bagian akhir tafsir at-Taubah: “ketahuilah bahwa hadits-hadits yang disebutkan penulis al-kasyaf dibagian akhir surat ini dan diikuti oleh Al-qadhi Al-Baidhawi, Maula Abu As-Suud, para ahli tafsir terkemuka adalah hadits-hadits yang banyak diperdebatkan oleh para ulama. Di antara mereka ada yang menetapkannya, danada juga yang menafikannya, berdasarkan dgaan deskripsinya seperti imam Ash-Shaghani dan lainnya”. Yang tampak bagi hamba Allah yang patut dikasihani ini semoga Allah memaafkannya adalah bahwa hadits-hadits tersebut tidak terlepas dari beberapa alternatif: Shahih dan kuat, cacat dan lemah ataupun palsu.
Bila shahih dan kuat, maka hal ini tidak perlu dibicarakan lagi. Dan bila sanadnya lemah, para ahli hadits telah sepakat bahwa hadits lemah (dha’if) boeh dipergunakan hanya dalam masalah anjuran dan himbauan untuk melakukan dan tidak meakukan sesuatu. Sebagaimana yang tercantum dalambuku Al-Azkar karangan Imam Nawawi, Insaan al-‘uyuun, karangan Ali Burhanuddin al-Halabi, Al-Asrar al-Muhammadiyah karangan Ibn Fakhruddin ar-Rumi dan lainnya.
Namun bila Hadits itu palsu, Al-Hakim dan lainnya menuturkan bahwa ada seorang ahlu zuhud terbiasa memalsukan hadits tentang keutamaan al-qur’an dan surat-suratnya. Maka seseorang ertanya kepadanya: kenapa kamu sering memalsukan hadits.?”. Ia menjawab: “saya melihat orang-orang tidak agi tertarik membaca Al-qur’an, sehingga saya ingin mereka mencintai al-qur’an””. Dikatakan lagi kepadanya: “sesungguhnya Nabi Muhammad pernah bersabda; Barangsiapa menduskanku dengan sengaja , maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dineraka.” Lalu orang itu berkata: “ saya tidak mendustakannya untuk merugikannya, tetapi aku berdusta untuk kebaikannya.”
Maksudnya, mendustakan Nabi yang merugikan Nabi adalah menyebabkan hancurnya pilar islamdan rusaknya syari’at dan hukum. Dan tidak demikian halnya berdusta untuk kebaikannya, karena hal itu adalah anjuran untuk mengikuti syariatnya danmengikuti jalan yang ditempuh oleh rasulullah. Syeikh Izzuddin Abdussalam berkata: “perkataan adallah sarana menuju maksud. Setiapmaksud yang terpuji itu hanya dengan berdusta dan tidak bisa dengan perkataan jujur maka berdusta dalamhalini menjadi boleh bahkan bisamenjadi wajib bila untuk mencapai maksud tersebut hukumnyamemang wajib. Inilah syaratnya”.
Orang sangat terkejut bila mengetahui bahwa ucapan di atas bersumber dari seorang yang menggolongkan dirinya kedalamelompok ahli tafsir, yang menafsirkan al-qur’an. Beliau juga ahli dalam bidang fikih dan ushul fikih.
Baca juga: Kewajiban Kaum Muslimin Terhadap As-Sunnah
Syaikh yang mempunyai kecenderungan terhadap alira sufi ini tidak mengetahui bahwa allah telah menyempurnakan agama islam dan mencukupkan nikmat-Nya untuk kita, sehingga kita tidak perlu lagi ada orang yang menyempurnakannya dengan menciptakan hadits-hadits rekaan dirinya, seakan-akan dia membuat koreksian terhadap Allah atau berbaik hati kepada Nabi Muhammad dengan mengatakan: “saya berdustauntuk kebaikanmu, untuk menyempurnakanagamamu yang kurang dan memenuhi kekosongan yang terdapat padanya dengan menciptakan hadits-hadits yang dianggap perlu.
Adapun ucapan Al-Imam Ibnu Abdissalam adalah berkenaan dengan hallain , yaitu berkenaaan dengan hadits-hadits yang memberikan keringan seperti berdusta dalam keadaan perang , untuk memperbaiki hubungan orang yang bertikai, menyelamatkan orang yang tidak berdosa dari kedhaliman orang lain dan kondisi lainnya sebagaimana ada kemeslahatan di dalamnya yang dibenarkan oleh syariat.
Hanya saja perkataan Ibnu Abdissalamsendirimenyanggah klaim syeikh di atas. Ia mengatakan setiap maksud terpuji untuk sampai kepadanya boleh menggunakan perkataan jujur. Dan berbuat dusta itu bagaimanapun juga diharamkan. Disini anda dapat mengatakan bahwa setiap perbuatan utama yang dianjurkan oleh hadits palsu, dan setiap perbuatan hina yang diperingatkannya dapat menggunakan hadits shahih dan hasan . Tanpa diraguukanlagi dan berbuat kedustaan dengan hadits palsu dalam hal demikian adalah haram bahkan termasuk kedalam dosa yang besar.
Note:
Kutipan dari Buku: Metode Memahami Sunnah dengan Benar karangan Yusuf Al-Qardhawi