Fatwa Yang Mana Harus Diunggulkan
Mana yang diunggulkan?
- Syafi'iyyah merinci tentang hukum air liur. Jika keluar dari perut, najis. Jika dari mulut, tidak najis. Kedokteran modern menegaskan air liur berasal dari kelenjar ludah di mulut.
- Syafi'iyyah dulu ikhtilaf tentang hukum rokok: mubah mengikuti al-ashlu fil asy-ya, makruh diqiyaskan dengan makan bawang dan karena ada potensi bahaya tapi derajat potensinya tak terlalu kuat, haram karena dianggap bahaya dan adh-dhararu yuzal. Kedokteran modern sepakat merokok berbahaya bagi kesehatan.
- Sebagian Syafi'iyyah menganggap tinta cumi najis karena ia sesuatu yang keluar dari perut, dan itu sama statusnya seperti muntah yang najis. Penelitian modern menyatakan tinta cumi tersebut berasal dari kelenjar khusus yang ada dalam tubuh cumi, bukan dari perut atau proses pencernaannya.
- Fuqaha Syafi'iyyah klasik menetapkan batas maksimal masa kehamilan adalah 4 tahun, berdasarkan istiqra, karena mereka melihat ada perempuan yang tampak hamil, dan masa kehamilannya terus berlangsung sampai melahirkan 4 tahun kemudian. Kedokteran modern menyatakan masa kehamilan sekitar 9 bulan saja, dan kalau lewat dari itu bisa berbahaya bagi janin, apalagi jika lewatnya sampai tahunan.
- Pendapat azhhar dan mu'tamad, perempuan hamil bisa keluar darah haid. Pendapat muqabil azhhar, tidak bisa. Kedokteran modern mendukung pendapat muqabil azhhar, bahwa perempuan hamil tidak mungkin keluar darah haid.
Pendapat Syafi'iyyah klasik di atas, didasarkan hasil istiqra, tahqiqul manath, dan penelitian kedokteran di masa mereka, bukan dari nash secara langsung, sehingga jika di masa sekarang terbukti keliru, maka ia ditinggalkan.
Syaikh Mushthafa bin 'Abdin Nabi, dalam "Mu'nis Al-Jalis" saat mengkritisi batas maksimal masa kehamilan yang ditetapkan fuqaha terdahulu, berkata: "Tidak perlu tetap berpegang pada pendapat fuqaha terdahulu yang keliru, yang seandainya mereka hidup di zaman sekarang, tentu mereka akan mengikuti penjelasan kedokteran modern."
Inilah pentingnya membangun dan menguatkan nalar fiqih, agar kita bisa berpikir sebagaimana fuqaha berpikir, tidak sekadar mengutip dan menukil saja perkataan mereka, namun ternyata salah tempat.