Menguji Faliditas Ijtihad Dalam Islam
Tatkala Rasulullah saw dan para sahabat menuju Hunain, ada dua peristiwa penting yang layak menjadi perhatian kita.
Pertama: ketika di tengah perjalanan, para sahabat melewati pojon yang dikeramatkan. Orang-orang arab menyebutnya : dzat anwath. Biasanya, mereka menaruh pedang atau senjata-senjata mereka di pohon tersebut agar menjadi sakti, sehingga mudah mengalahkan lawan.
Ada salah seorang sahabat, kemungkinan yang baru masuk Islam, tatkala melewati pohon yang dikeramatkan itu, mengajukan usul kepada Rasulullah saw. "Ya, Rasulullah. Buatkanlah untuk kami dzat anwath sebagaimana mereka punya dzat anwath."
Rasul saw cukup terkejut dengan ungkap tersebut. Seketika itu beliau bersabda, "Allahu akbar!! Sungguh kalian mengatakan kepadaku sebagaimana kaum Musa mengatakan kepadanya, 'Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka punya sesembahan!".
Kedua: pada perang ini, untuk pertama kalinya para sahabat berangkat perang dengan jumlah pasukan yang sangat besar. Kurang lebih 12 ribu pasukan.
Jumlah yang demikian besar ini sempat membuat perasaan sebagian dari mereka pasti menang. "Hari ini kita tidak akan terkalahkan," demikian kata-kata itu keluar.
Ketika para sahabat tiba di Hunaian, tanpa mereka sadari musuh sudah mengusai posisi. Para sahabat belum sempat menyiapkan diri, tiba-tiba musuh menyerang. Para sahabat panik. Mereka kehilangan komando. Hingga Rasulullah saw memanggil para sahabat untuk fokus ke posisi beliau saw. Setelah itu, tidak lama berselang, Rasul saw mengendalikan pertempuran dan berhasil meraih kemenangan.
Peristiwa ini menarik untuk kita gali dalam konteks relevansi antara data dan ijtihad. Sesuatu yang jadi opini publik, seperti dzat anwath itu, ternyata tidak relevan dengan kesaktian. Begitu juga jumalh yang banyak tidak otomatis menjadi penentu kemenangan. Jumlah yang banyak akan jadi kekuatan kalau ada pengaturan dan pengelolaan.
Apa yang al- Ghazali jelaskan tentang mekanis pengujian relevansi antara peristiwa (data) dengan hukum bisa menjadi cara untuk menguji suatu produk Ijtihad. Baik ijtihad hukum maupun ijtihad kebijakan.
Pertama : uji bahasa. Ketika ada istilah tertentu, apakah penggunaan kata tersebut sesuai dengan data yang dimaksud. Misalnya : kata nafkah batin. Kalau kita rujuk kata nafkah pada asal kata bahasa arab maka ga mungkin bersifat batin. Karena nafkah pasti berup harta. Berbeda bila kita sebut sedekah materi dan non materi.
Misal lainnya istilah : fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Ternyata makna fitnah dalam bahasa Indonesia dengan bahasa arab maknanya berbeda walau pelafalannya sama. Al-Qur'an menjelaskan bahwa harta dan naka adalah fitnah.
Kedua : uji al-'urf (kebiasaan). Kebiasaan, baik perkataan atau perbuatan, bisa berubah karena perdedaan tempat dan waktu. Seorang perempuan yang senyum kepada laki-laki yang bukan mahram, misalnya. Kalau di Indonesia bisa diartikan sebagai bentuk sikap ramah. Tapi kalau di Saudi Arabia, tentu sangat berbeda dan jangan coba-coba.
Misal lainnya, istilah ahli hadits, ahli tafsir, ahli qiraat dan ahli kedokteran di zaman dahulu tentu berbeda dengan saat ini. Tidak relevan juga bila kita menggunakan standar makna yang berlaku di zaman Ibnu Sina sebagai parameter saat ini.
Prof. Dr. Hatim Al-Auni, dalam salah satu tulisannya membahas tentang istilah ahli hadits di masa kini yang berbeda dengan istilah ahli hadits di masa klasik. Sebab, pada hakekatnya, penetapan istilah ahli hadits di masa klasik berdasarkan tradisi yang berlaku di masa itu.
Istilah "jamaah" juga. Ketika ada penggunaan kata jamaah di saat ini, apakah maksudnya sama dengan istilah jamaah di zaman Rasul saw. Secara 'urf sudah berbeda. Maka, tidak relevan bila hukum jamaah yang berlaku di zaman itu digunakan untuk menghukumi jamaah sekarang.
Ketiga: uji fisik. Kalau dalam fiqh kita menemukan hukum yang parameternya fisik, seperti laki-laki dan perempuan, ketentuan najis, keabsahan wudhu dan yang lainnya.
Dalam ijtihad yang lain, misalnya : relevansi antara wujud virus dengan penyakit sehingga ada ijtihad menjaga jarak dalam shalat.
Keempat: uji akal atau rasionalitas. Larangan menjadikan perilaku burung sebagai pertanda baik atau buruk. Sebab, tidak ada relevansi antara perilaku burung dengan nasib seseorang.
Dr. Muhammad Mukhtar al-Syinqithy, dalam kitab al-Khilafat al-Siyasiyyah baina al-Shahabah, mengkritik pandangan bahwa sosok Abdullah bin Saba' adalah penyebab utama dan dalang konflik para sahabat. Bagaimana mungkin sosok itu bisa memainkan para sahabat yang berhasil menaklukkan Persia dan Romawi?!
Beliau mengkritik pandangan yang menggunakan pendekatan konspirasi eksternal yang menjadi penyebab utama konflik. Akan tetapi, faktor eksternal yang membuka peluang konflik.
Cara pandang pendekatan konspirasi ini tidak jarang kita temukan mendominasi pikiran sebagian pegiat dakwah. Segala masalah yang mereka hadapi jawabannya adalah : konspirasi, tanpa menggali masalah lebih dalam pada diri sendiri.
Kelima : uji tabiat atau sifat. Abdullah bin Bayyah menyandingkan hal ini dengan maslahat. Ketika seseorang berijtihad, apa sisi maslahat pada data yang ada sehingga relevan dengan ijtihad yang diambil.
Ketika ada hadits bahwa pemimoin itu dari Quraisy, apa maslahat dari suku Quraisy pada masa itu? Saat ini, apakah maslahat itu masih ada sehingga ada perlu mengambil kebijakan yang sama? Bagaimana bila suku Quraisy saat ini tidak memenuhi kriteria tuntutan seorang pemimpin? Tentu tidak relevan bila ketentuan yang pernah ada diterapkan di situasi yang berbeda.
Mengukur relevansi adalah perkara ijtihad. Maka, bisa jadi ada perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Maka, kita temukan perbedaan ijtihad ulama.
Setiap zaman ada tantangannya. Maka, perkembangan ilmu pengetahuan sangat membantu dalam menguji relevansi ijtihad.
Wallahu a'lam