Pemahaman Salafi terhadap sistem Bernegara
Perhatikan Pernyataan Berikut Ini...!!!
..."kita semua harus mengetahui bahwa sekedar masuk dalam kegiatan pemilu dan menerima demokrasi adalah pembenaran bagi manusia untuk memilih sistem hukum yang diinginkannya. Dan ini sejatinya adalah KEKAFIRAN yang besar yang mengeluarkan seseorang dari islam. Hal tersebut merupakan penuhanan sebagian rakyat atas sebagian lainnya. Maka hendaknya kita berhati-hati terhadap perkara yang berbahaya ini."
(Ad-Dimuqrathiyah Wa Al-Islam, Hal. 31, Syeikh Abdullah As-Shodiq Bin Abdullah Al-Hasyimi As-Sudani)
Secara umum Salafi atau Salafiyah adalah sebuah manhaj yang mengajak untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman salafussholih. Namun pada kenyataannya, banyak kelompok yang menisbatkan diri mereka kepada salafi saling menegasikan antara satu dan lainnya. Karenanya kemudian timbullah penamaan-penamaan seperti Salafiyah 'ilmiyah/taqlidiyah, Salafiyah Sururiyah, Salafi Jamiyah/Madakhilah, Salafiyah Jihadiyah/Takfiriyah dan salafiyah-salafiyah lain yang terlalu banyak untuk disebutkan.
Perbedaan dan saling mengingkari ini biasanya disebabkan oleh sikap mereka terhadap ulil amri/pemerintahan sah yang zalim antara keta'atan mutlak, kritis atau bahkan memberontak, tahdzir terhadap ahlul bid'ah, masalah jihad, sikap terhadap demokrasi dan interaksi dengannya melalui penggunaan hak suara dan lain-lain.
Menisbatkan seorang individu salafi kepada sebuah aliran salafi tertentu kadang tidak sepenuhnya tepat, mengingat mereka sendiri mengingkari penamaan ini dan dalam satu kelompok salafi saja terdapat beberapa aliran yang saling menafikan. Salafiyah Jamiyah misalnya terpecah dalam beberapa aliran diantaranya: Al-Madakhilah yaitu penisbatan kepada Syeikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali, Al-Haddadiyah nisbat kepada Syeikh Mahmud Al-Haddad, Al-'Ur'uriyah nisbat kepada Syeikh Adnan Al-'Ur'ur, Al-Hasaniyah nisbat kepada Abi Hasan As-Sulaimani, Al-Muqbiliyah nisbat kepada Syeikh Muqbil Al-Wadi'i dll. Secara umum, salafiyah jamiyah dikenal dengan sikapnya yang sangat loyal terhadap pemerintahan yang sah serta keras terhadap sesama salafi yg tertuduh mubtadi'.
Khusus dalam menyikapi sistem demokrasi, semua aliran salafi sepakat bahwa sistem demokrasi adalah sistem kufur yang bertentangan dengan islam, namun mereka berbeda pendapat sangat tajam dalam 'ta'amul ma'a ad-dimuqrathiyah atau interaksi dengan demokrasi melalui pemilu.
Salafiyah 'ilmiyah atau taqlidiyah atau masyaikhiyah dengan tokoh-tokoh besar seperti Syeikh Utsaimin, Syeikh Bin Baz, Syeikh Albani, Syeikh Jibrin, hai'ah kibar ulama KSA dan lain-lain misalnya menganggap bahwa sistem demokrasi bertentangan dengan islam. Namun mereka sepakat (dengan syarat-syarat tertentu) tentang bolehnya menggunakan hak suara dalam sistem demokrasi dengan alasan kemaslahatan, Al-akhdhu bi akhaff ad-dhararain dan lain-lain. Syeikh Utsaimin bahkan memfatwakan wajib menggunakan hak suara untuk memimilih anggota parlemen yang di anggap punya kemaslahatan bagi umat islam.
Adapun Salafiyah Sururiyah (nisbah kepada Syeikh Muhammad Surur Zainal Abidin) pendapat mereka hampir sama dengan salafiyah Taqlidiyah dimana mereka membolehkan masuk ke parlemen atas dasar maslahat. Hanya saja para tokoh-tokohnya berbeda dalam menakar kemaslahatan itu sendiri. Syeikh Surur sendiri menganggap bahwa pada kenyataannya seringkali kemaslahatan masuk ke parlemen lebih kecil ketimbang mudaratnya. Hal ini berbeda dengan tokoh-tokoh sururi lain seperti Syeikh Salman Al-Audah, Syeikh Safar Al-Hawali dll yang lebih terbuka dan menganggap bahwa ada maslahat yang lebih besar ketika aktifis islam masuk ke parlemen.
Salafiyah Jamiyah/Madakhilah walaupun tulisan para tokohnya dalam masalah ini sangat sedikit, secara umum bisa dikatakan bahwa mereka menentang demokrasi. Namun sejauh pemerintahan sebuah negara sah dan masih berdiri tegak mereka mewajibkan untuk ta'at kepada waliyul amri dan tentu saja ta'at ketika waliyul amri yang meminta rakyatnya untuk ikut pemilu melalui sistem demokrasi. Intinya, sepengetahuan saya (wallahu a'lam) para tokoh salafiyah Jamiyah tidak mengkafirkan orang yang menggunakan hak suara dalam pemilu.
Salafiyah Jihadiyah dengan berbagai variannya adalah yang paling keras sikapnya terhadap demokrasi dan berinteraksi dengannya baik masuk ke parlemen atau menggunakan hak suara dalam pemilu. Para tokoh salafiyah Jihadiyah seperti Syeikh Aiman Az-Zawahiri, Abu Qatadah, Abu Mus'ab As-Suriy, Syeikh Sulaiman Al-Ulwan dan muridnya Syeikh Sodiq Al-Hasyimi As-Sudani dan lain-lain rata-rata menthogutkan dan mengkafirkan para pemimpin negara islam, demokrasi dan penggunaan hak suara dalam pemilu. Meskipun diakui bahwa para tokoh jihadis ini berbeda dalam sikap takfir mereka, mulai dari takfir secara umum sampai takfir individu secara jelas. Sebagaimana mereka berbeda dalam mendukung gerakan jihad, mulai dari Jabha Nusra, Al-Qaeda sampai ISIS.
Jika Salafiyah Jamiyah menuduh Salafiyah Sururiah sebagai ahlul bid'ah dan hizbiyah, sementara Sururiyah menuduh Jamiyah sebagai Murjiah maka Salafiyah Jihadiyah menuduh semua kelompok Salafi yang bukan Jihadis sebagai Murjiah, antek Thogut dan sebutan-sebutan jelek lain. Biasanya, kosakata Thogut, kufr bawwah dan jahiliyah amat sering ditemukan dalam tulisan atau ceramah jihadis. Karena sikapnya yang keras ini para masyaikh salafi tidak menerima penisbatan kata salafi kepada kelompok ini, mereka menganggap bahwa Salafiyah Jihadiyah adalah neo-Khawarij.
Jika para ulama besar Salafi bahkan non salafi yang mu'tabar menganggap masalah menggunakan hak suara adalah masalah furu'iyah fiqhiyah tentang mana yang lebih maslahat, maka Salafiyah Jihadiyah menganggap masalah 'mencoblos' sebagai masalah akidah bahkan usul aqidah dengan menyeretnya ke pembahasan Al-wala' wal Bara' dimana Ta'amul ma'a Ad-Dimuqrathiyah (dengan menyoblos dan masuk parlemen) dianggap sebagai kekufuran yang mengeluarkan dari islam. Sikap mereka yang tidak membedakan antara hukum terhadap demokrasi sebagai sebuah sistem dan hukum berinteraksi dengan sistem demokrasi ini menjadi pangkal masalah dimana diskusi kedepannya tentang interaksi dengan demokrasi menjadi tidak nyambung.
Dan ketika para ulama besar Salafi yang mu'tabar menganggap dan menimbang bahwa jika aktivis islam masuk ke parlemen maka mafsadatnya lebih kecil ketimbang membiarkan parlemen dikuasai oleh orang liberal, sekuler, para pengikut hawa nafsu sampai orang atheis, Salafiyah Jihadiyah malah membenturkan mafsadat masuk ke parlemen dengan mafsadat kufurnya demokrasi dan 'nyoblos'.
Ketika sampai di tempat kaum Khawarij, Ibnu Abbas Rda yang memang sengaja datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan mereka ditanya: "Apa tujuanmu datang kemari?"
Ibnu Abbas rda menjawab: "aku datang kepada kalian dari sisi/pihak amirul mu'minim Ali bin Abi Thalib rda, dari sisi/pihak para sahabat Rasulullah Saw, dari sisi/pihak kaum muhajirin dan anshar, sementara aku tidak melihat salah seorangpun dari mereka (para sahabat) bersama kalian, padahal Al-Quran turun kepada mereka dan mereka adalah orang yang paling memahami tafsir Al-Qur'an ketimbang kalian dan nyatanya tidak seorangpun dari mereka bersama kalian.... (Dan kemudian Ibnu Abbas berdiskusi dengan kaum Khawarij, membantah hujjah mereka satu persatu hingga 2000 ribu orang dari mereka bertobat dan sisanya 4000 ribu orang tetap memberontak dan mati terbunuh ditangan kaum muhajirin dan anshar).
Dari muqaddimah diskusi Ibnu Abbas rda diatas kita bisa melihat bagaimana Sang Turjumanul Qur'an ingin mengkritik pondasi manhaj berpikir kaum Khawarij. Bahwa mereka yang merasa paling sholeh dan paham tentang Al-Quran dan agama ini sebenarnya pemahaman mereka dibangun atas argumen rapuh yang berbeda dengan para sahabat Rasulullah Saw yang lebih alim dan membersamai Rasulullah Saw ketika wahyu turun.
Dan walaupun tulisan ini tidak cukup untuk meyakinkan sebagian para penuntut ilmu yang terpengaruh dengan pemahaman khawarij saya berharap mereka merekonstruksi kembali cara berpikir mereka ketika mereka mengkafirkan umat islam karena sekadar 'menyoblos' dalam sistem demokrasi. Bahwa pendapat ekstrim mereka menyalahi apa yang ditetapkan para ulama kibar salafiyah seperti Syeikh Bin Baz, Syeikh Utsaimin, Syeikh Albani, Syeikh Ibnu Jibrin, haiah kibar ulama KSA dan para ulama salafiyah lain diseluruh negara islam yang sangat banyak untuk disebutkan satu persatu. Belum lagi jika dibandingkan dengan para ulama lain diluar komunitas salafiyah yang mereka adalah mayoritas para muhaddis, mufassir, fuqoha yang kapabel di bidangnya masing-masing.
..."kita semua harus mengetahui bahwa sekedar masuk dalam kegiatan pemilu dan menerima demokrasi adalah pembenaran bagi manusia untuk memilih sistem hukum yang diinginkannya. Dan ini sejatinya adalah KEKAFIRAN yang besar yang mengeluarkan seseorang dari islam. Hal tersebut merupakan penuhanan sebagian rakyat atas sebagian lainnya. Maka hendaknya kita berhati-hati terhadap perkara yang berbahaya ini."
(Ad-Dimuqrathiyah Wa Al-Islam, Hal. 31, Syeikh Abdullah As-Shodiq Bin Abdullah Al-Hasyimi As-Sudani)
Secara umum Salafi atau Salafiyah adalah sebuah manhaj yang mengajak untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman salafussholih. Namun pada kenyataannya, banyak kelompok yang menisbatkan diri mereka kepada salafi saling menegasikan antara satu dan lainnya. Karenanya kemudian timbullah penamaan-penamaan seperti Salafiyah 'ilmiyah/taqlidiyah, Salafiyah Sururiyah, Salafi Jamiyah/Madakhilah, Salafiyah Jihadiyah/Takfiriyah dan salafiyah-salafiyah lain yang terlalu banyak untuk disebutkan.
Perbedaan dan saling mengingkari ini biasanya disebabkan oleh sikap mereka terhadap ulil amri/pemerintahan sah yang zalim antara keta'atan mutlak, kritis atau bahkan memberontak, tahdzir terhadap ahlul bid'ah, masalah jihad, sikap terhadap demokrasi dan interaksi dengannya melalui penggunaan hak suara dan lain-lain.
Menisbatkan seorang individu salafi kepada sebuah aliran salafi tertentu kadang tidak sepenuhnya tepat, mengingat mereka sendiri mengingkari penamaan ini dan dalam satu kelompok salafi saja terdapat beberapa aliran yang saling menafikan. Salafiyah Jamiyah misalnya terpecah dalam beberapa aliran diantaranya: Al-Madakhilah yaitu penisbatan kepada Syeikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali, Al-Haddadiyah nisbat kepada Syeikh Mahmud Al-Haddad, Al-'Ur'uriyah nisbat kepada Syeikh Adnan Al-'Ur'ur, Al-Hasaniyah nisbat kepada Abi Hasan As-Sulaimani, Al-Muqbiliyah nisbat kepada Syeikh Muqbil Al-Wadi'i dll. Secara umum, salafiyah jamiyah dikenal dengan sikapnya yang sangat loyal terhadap pemerintahan yang sah serta keras terhadap sesama salafi yg tertuduh mubtadi'.
Khusus dalam menyikapi sistem demokrasi, semua aliran salafi sepakat bahwa sistem demokrasi adalah sistem kufur yang bertentangan dengan islam, namun mereka berbeda pendapat sangat tajam dalam 'ta'amul ma'a ad-dimuqrathiyah atau interaksi dengan demokrasi melalui pemilu.
Salafiyah 'ilmiyah atau taqlidiyah atau masyaikhiyah dengan tokoh-tokoh besar seperti Syeikh Utsaimin, Syeikh Bin Baz, Syeikh Albani, Syeikh Jibrin, hai'ah kibar ulama KSA dan lain-lain misalnya menganggap bahwa sistem demokrasi bertentangan dengan islam. Namun mereka sepakat (dengan syarat-syarat tertentu) tentang bolehnya menggunakan hak suara dalam sistem demokrasi dengan alasan kemaslahatan, Al-akhdhu bi akhaff ad-dhararain dan lain-lain. Syeikh Utsaimin bahkan memfatwakan wajib menggunakan hak suara untuk memimilih anggota parlemen yang di anggap punya kemaslahatan bagi umat islam.
Adapun Salafiyah Sururiyah (nisbah kepada Syeikh Muhammad Surur Zainal Abidin) pendapat mereka hampir sama dengan salafiyah Taqlidiyah dimana mereka membolehkan masuk ke parlemen atas dasar maslahat. Hanya saja para tokoh-tokohnya berbeda dalam menakar kemaslahatan itu sendiri. Syeikh Surur sendiri menganggap bahwa pada kenyataannya seringkali kemaslahatan masuk ke parlemen lebih kecil ketimbang mudaratnya. Hal ini berbeda dengan tokoh-tokoh sururi lain seperti Syeikh Salman Al-Audah, Syeikh Safar Al-Hawali dll yang lebih terbuka dan menganggap bahwa ada maslahat yang lebih besar ketika aktifis islam masuk ke parlemen.
Salafiyah Jamiyah/Madakhilah walaupun tulisan para tokohnya dalam masalah ini sangat sedikit, secara umum bisa dikatakan bahwa mereka menentang demokrasi. Namun sejauh pemerintahan sebuah negara sah dan masih berdiri tegak mereka mewajibkan untuk ta'at kepada waliyul amri dan tentu saja ta'at ketika waliyul amri yang meminta rakyatnya untuk ikut pemilu melalui sistem demokrasi. Intinya, sepengetahuan saya (wallahu a'lam) para tokoh salafiyah Jamiyah tidak mengkafirkan orang yang menggunakan hak suara dalam pemilu.
Salafiyah Jihadiyah dengan berbagai variannya adalah yang paling keras sikapnya terhadap demokrasi dan berinteraksi dengannya baik masuk ke parlemen atau menggunakan hak suara dalam pemilu. Para tokoh salafiyah Jihadiyah seperti Syeikh Aiman Az-Zawahiri, Abu Qatadah, Abu Mus'ab As-Suriy, Syeikh Sulaiman Al-Ulwan dan muridnya Syeikh Sodiq Al-Hasyimi As-Sudani dan lain-lain rata-rata menthogutkan dan mengkafirkan para pemimpin negara islam, demokrasi dan penggunaan hak suara dalam pemilu. Meskipun diakui bahwa para tokoh jihadis ini berbeda dalam sikap takfir mereka, mulai dari takfir secara umum sampai takfir individu secara jelas. Sebagaimana mereka berbeda dalam mendukung gerakan jihad, mulai dari Jabha Nusra, Al-Qaeda sampai ISIS.
Jika Salafiyah Jamiyah menuduh Salafiyah Sururiah sebagai ahlul bid'ah dan hizbiyah, sementara Sururiyah menuduh Jamiyah sebagai Murjiah maka Salafiyah Jihadiyah menuduh semua kelompok Salafi yang bukan Jihadis sebagai Murjiah, antek Thogut dan sebutan-sebutan jelek lain. Biasanya, kosakata Thogut, kufr bawwah dan jahiliyah amat sering ditemukan dalam tulisan atau ceramah jihadis. Karena sikapnya yang keras ini para masyaikh salafi tidak menerima penisbatan kata salafi kepada kelompok ini, mereka menganggap bahwa Salafiyah Jihadiyah adalah neo-Khawarij.
Jika para ulama besar Salafi bahkan non salafi yang mu'tabar menganggap masalah menggunakan hak suara adalah masalah furu'iyah fiqhiyah tentang mana yang lebih maslahat, maka Salafiyah Jihadiyah menganggap masalah 'mencoblos' sebagai masalah akidah bahkan usul aqidah dengan menyeretnya ke pembahasan Al-wala' wal Bara' dimana Ta'amul ma'a Ad-Dimuqrathiyah (dengan menyoblos dan masuk parlemen) dianggap sebagai kekufuran yang mengeluarkan dari islam. Sikap mereka yang tidak membedakan antara hukum terhadap demokrasi sebagai sebuah sistem dan hukum berinteraksi dengan sistem demokrasi ini menjadi pangkal masalah dimana diskusi kedepannya tentang interaksi dengan demokrasi menjadi tidak nyambung.
Dan ketika para ulama besar Salafi yang mu'tabar menganggap dan menimbang bahwa jika aktivis islam masuk ke parlemen maka mafsadatnya lebih kecil ketimbang membiarkan parlemen dikuasai oleh orang liberal, sekuler, para pengikut hawa nafsu sampai orang atheis, Salafiyah Jihadiyah malah membenturkan mafsadat masuk ke parlemen dengan mafsadat kufurnya demokrasi dan 'nyoblos'.
Ketika sampai di tempat kaum Khawarij, Ibnu Abbas Rda yang memang sengaja datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan mereka ditanya: "Apa tujuanmu datang kemari?"
Ibnu Abbas rda menjawab: "aku datang kepada kalian dari sisi/pihak amirul mu'minim Ali bin Abi Thalib rda, dari sisi/pihak para sahabat Rasulullah Saw, dari sisi/pihak kaum muhajirin dan anshar, sementara aku tidak melihat salah seorangpun dari mereka (para sahabat) bersama kalian, padahal Al-Quran turun kepada mereka dan mereka adalah orang yang paling memahami tafsir Al-Qur'an ketimbang kalian dan nyatanya tidak seorangpun dari mereka bersama kalian.... (Dan kemudian Ibnu Abbas berdiskusi dengan kaum Khawarij, membantah hujjah mereka satu persatu hingga 2000 ribu orang dari mereka bertobat dan sisanya 4000 ribu orang tetap memberontak dan mati terbunuh ditangan kaum muhajirin dan anshar).
Dari muqaddimah diskusi Ibnu Abbas rda diatas kita bisa melihat bagaimana Sang Turjumanul Qur'an ingin mengkritik pondasi manhaj berpikir kaum Khawarij. Bahwa mereka yang merasa paling sholeh dan paham tentang Al-Quran dan agama ini sebenarnya pemahaman mereka dibangun atas argumen rapuh yang berbeda dengan para sahabat Rasulullah Saw yang lebih alim dan membersamai Rasulullah Saw ketika wahyu turun.
Dan walaupun tulisan ini tidak cukup untuk meyakinkan sebagian para penuntut ilmu yang terpengaruh dengan pemahaman khawarij saya berharap mereka merekonstruksi kembali cara berpikir mereka ketika mereka mengkafirkan umat islam karena sekadar 'menyoblos' dalam sistem demokrasi. Bahwa pendapat ekstrim mereka menyalahi apa yang ditetapkan para ulama kibar salafiyah seperti Syeikh Bin Baz, Syeikh Utsaimin, Syeikh Albani, Syeikh Ibnu Jibrin, haiah kibar ulama KSA dan para ulama salafiyah lain diseluruh negara islam yang sangat banyak untuk disebutkan satu persatu. Belum lagi jika dibandingkan dengan para ulama lain diluar komunitas salafiyah yang mereka adalah mayoritas para muhaddis, mufassir, fuqoha yang kapabel di bidangnya masing-masing.