Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perjalanan Hidup Najah Al-Attar

Perjalanan Hidup Najah Al-Attar

Dilahirkan dari sebuah keluarga alim ulama bermazhab Syafi'i yang turun menurun mengajar dan mengisi khutbah di mesjid Umawi, dua kakak beradik ini dikemudian hari memilih jalan hidup yang berbeda 180 derajat. Dan begitulah takdir nantinya menceritakan kepada kita betapa hubungan darah, keluarga dan latar belakang tak selalu menjamin untuk terus berjalan searah. Bahwa hidayah adalah semata-mata tergantung atas kehendak-Nya.
Inilah cerita tentang seorang perempuan cerdas yang di usia senjanya (87tahun) kini masih menjadi wakil presiden Suriah setelah sebelumnya menjadi menteri kebudayaan, jabatan paling tinggi untuk seorang wanita di Timur Tengah dan tentang saudara kandungnya Ustad Essam Al-Attar (92 tahun) muraqib 'Am IM Suriah yang kedua setelah Syeikh Musthafa As-Siba'i.

Jika Dr. Najah Al-Attar merupakan pengagum dan pelayan dinasti Assad dan Partai Ba'ats (Dr. Najah Al-Attar mengarang kitab 'Hafiz Al-Asad Al-Qaid Alladzi Shanaa At-Tarikh' untuk memuji Hafiz Al-Asad) kakak kandungnya; Ustad Essam Al-Attar justru menjadi salah satu musuh nomor wahid dan paling dicari rezim Assad.
Berulangkali intelijen Suriah mencoba melakukan upaya pembunuhan terhadapnya hingga ke tempat pelariannya di Achen Jerman.

***
Diceritakan, Tahun 1945 dibukalah Ma'had Al-Arabi Al-Islami dimana Essam Al-Attar menjadi salah seorang pengajar disana. Suatu hari diundanglah Syeikh Ali At-Thanthawi untuk memberikan kuliah yang dihadiri oleh mahasiswa dan para dosen. Syeikh Ali Thanthawi meminta hadirin untuk bertanya, menanggapi ataupun mengkritik ceramahnya. Kebetulah Essam Al-Attar memiliki pandangan yang berbeda dengan Ustad Ali At-Thanthawi dan mengutarakan pandangannya. Ustad Ali Ath-Thantawi kemudian meminta Essam Al-Attar untuk maju dan menggantikannya dalam memberi kuliah. Beliau berkata ke pihak Ma'had: "Bagaimana bisa kalian mengundangku kesini sementara bersama kalian ada seorang Alim dan sastrawan".
Pertemuan itu melahirkan sikap saling kagum antara keduanya, apalagi ayah Essam juga seorang Qadhi dan Sastrawan seperti halnya Ali At-Thanthawi. Dan seperti yang kita ketahui, Syeikh Ali At-Thantahawi kemudian menikahkan putrinya; Bannan At-Thanthawi dengan Essam.

Krisis hubungan antara IM dan Pemerintahan Partai Baa'ts kemudian memaksa Essam Al-Attar mengungsi ke Jerman. Intelijen Suriah terus melakukan pengejaran dan pada hari naas itu 5 butir peluru dimuntahkan oleh pembunuh pengecut nan hina di kepala dan dada Asy-Syahidah Bannan At-Thanthawi. Sebuah kematian yang kemudian menorehkan luka teramat dalam untuk Ustad Essam Al-Attar dan Syeikh Ali At-Thanthawi.

***
Tidak diketahui kapan awalnya mereka (Essam dan Najah) berada di persimpangan jalan. Kemungkinan sejak Najah Al-Attar menikah dengan suaminya yang berhaluan kiri dan dekat dengan Partai Baa'ts lalu melanjutkan study di Britania Raya. Pulang dari Skotlandia, Dr. Najah Al-Attar kemudian tampil tanpa jilbab hingga diusia tuanya saat ini.

50 tahun lebih di pengasingan merintis dakwah bersama para aktivis islam diantaranya Necmetin Erbakan (mantan PM Turki) tentu Syeikh Essam Al-Attar merindukan kampung halamannya sebagaimana Syeikh Ali At-Thantawi merindukan Damaskus yang begitu lekat dalam ingatannya. Namun, keengganan mereka berbasa basi dengan kezaliman membuat mereka pada akhirnya memilih hidup dan mati di tempat asing.