Problematika Suami Di Era Modern
Seringkali, kita mendengar kezaliman terhadap perempuan dalam rumah tangga. Hingga UU Penghapusan KDRT seolah-olah dibuat hanya untuk melindungi perempuan (padahal sebenarnya juga untuk melindungi laki-laki). Sebagai bagian dari ISTI (Ikatan Suami-suami Takut Istri) kita tentu tidak bisa menutup mata dari 'kezaliman' yang menimpa para suami. Harusnya Komnas Laki-laki juga perlu dibentuk sebagai wujud dari gerakan emansipasi hakiki (Bukan hanya Komnas Perempuan).
Banyak orang mengira bahwa para suami tidak terzalimi dalam kehidupan rumah tangga. Padahal, kezaliman terhadap suami tak lebih kurang dari yang terjadi terhadap wanita. Terutama dari sisi psikologis. Apalagi kalau gaji istri sama atau lebih besar dari suami Hmmmmm...
Celakanya, tak seorangpun mau mendengar teriakkan batin mereka..
Hanya, laki-laki biasanya lebih memilih diam, baik karena rasa malu ataupun rela mengorbankan perasaannya demi tetap berlangsungnya kehidupan rumah tangga.
Akan sangat berat bagi laki-laki untuk curhat kepada orang lain bahwa perempuan atau istrinya telah menguasai dan mengeksploitasinya, sebab hal tersebut bisa menjadi bahan tertawaan banyak orang, disamping memang ia sangat menjaga rahasia rumah tangganya.
Hal ini sangat berbeda dengan perempuan, dimana perempuan biasanya sangat gemar curhat, minimal kepada ibunya, saudara kandung atau teman dekatnya.
Ketika seorang perempuan mengomel bahwa suaminya hanya enak-enakan saja duduk manis di kantor atau tempat kerjanya sementara ia pontang-panting mengurusi rumah dan anak-anak, sebenarnya ia telah menzalimi sang suami.
Banyak perempuan tidak tau (lebih tepatnya tak mau tau) bagaimana beratnya tekanan sikologis yang dihadapi suami ditempat kerjanya, baik dari teman-teman kerja atau atasan.
Ketika seorang perempuan misalnya berbelanja ke mall 1 sampai 2 jam menghabiskan setengah gaji suaminya yang terduduk diam memandang dengan nanar sambil menelan ludah pahit bukankah itu sebuah kezaliman wahai ukhti?
Bukankah kalian yang menjadi penyebab banyak laki-laki menjadi durhaka kepada kedua orang tuanya ataupun sampai mendekam dalam penjara karena suap, korupsi hingga menzalimi dan memutuskan silaturahmi dengan kerabat-kerabatnya?
Lalu kalian teriak-teriak tentang kezaliman terhadap perempuan. Kesetaraan gender sampai menuntut laki-laki untuk hamil dan melahirkan?
Ada cerita tentang seorang perempuan karena termakan dengan hasutan-hasutan emansipasi dan kesetaraan gender dari perempuan-perempuan fanatik terhadap jenisnya ia akhirnya dengan congkak memutuskan untuk menghancurkan rumah tangganya dengan tangannya sendiri. Ketika harus memikul sendiri tanggung jawab besar, ketika ia kehilangan ayah untuk anak-anaknya dan pemimpi rumah tangga, barulah ia menyesal sejadi-jadinya dan menangisi keadaan (walaupun kadang gengsi untuk diakui). Nasi telah menjadi basi (bukan jadi bubur). Lalu iapun mulai sadar dan berbalik mengecam mereka yang dulu memprovokasinya untuk bercerai setelah kini merasakan pahitnya kesendirian.
Banyak perempuan tak menyadari betapa besar tanggungjawab seorang suami dihadapan sang Maha Kuasa untuk menjaganya dari api neraka. Maka, jika seorang duda pada akhirnya 'terpaksa' harus menikah lagi, bisa jadi itu adalah agar ia tidak menjumpai Allah dalam keadaan jomblo.
Ibnu Mas'ud Rda berkata:
"Seandainya tidak tersisa dari umurku kecuali hanya sepuluh hari, aku tetap ingin menikah agar tidak menjumpai Allah dalam keadaan jomblo" (atsar dari Ihya Ulumiddin).