Sikap Politik Sudan Pasca Kudeta Terhadap Al- Basyir
Setelah memerintah selama 30 tahun, Omar Hasan Al Basyir resmi dikudeta oleh militer Sudan. Basyir yang dituntut mundur oleh hampir seluruh elemen masyarakat Sudan bahkan oleh unsur gerakan islam (tak terkecuali Dr. Abdul Hayyi Yusuf; Dekan Fakultas Dirosat Islamiyah Universitas Internasional Afrika yang dekat dengan Basyir) adalah 'diktator' yang paling lama menguasai sebuah negara di Timur Tengah. Pemerintahan transisi selanjutnya diserahkan ke jenderal Ahmed Awad Bin Auf. Namun demonstran menuntut Ahmed Awad yang dianggap sebagai kaki tangan Basyir untuk mengundurkan diri. Tiga hari kemudian Ahmed Awad mundur dan digantikan Abdul Fattah Burhan. Demonstrasi menuntut agar pemerintahan transisi diserahkan ke sipil terus berlangsung meskipun di bulan Ramadhan yang panas. Tepat sehari sebelum idul fitri, sebuah kesatuan dibawah aparat keamanan Sudan yang merupakan milisi suku Arab atau yang lebih dikenal dengan milisi Janjaweed yang dikenal sadis (terutama saat konflik Darfour) melakukan pembantaian didepan Kementerian Pertahanan Sudan. Lebih dari 100 demonstran terbunuh dalam pembantaian yang dikenal dengan The Khartoum massacre itu.
Agustus 2019 Abdul Fattah Burhan diangkat sebagai Ketua Dewan Kedaulatan Sudan lembaga kolektif (militer dan sipil) dalam pemerintahan transisi di Sudan dimana Abdalla Hamdok sebagai perdana menterinya. Pemerintahan transisi ini menjadi titik awal sekulerisme Sudan dan 'perang' terhadap undang-undang Islam serta gerakan Islam.
Wala Al-Busyi yang diangkat Hamdok sebagai menteri Pemuda dan Olahraga langsung 'menggebrak' dengan liga sepakbola wanita Sudan. Hal yang ditentang keras oleh Dr. Abdul Hayyi Yusuf. Wala Al-Busyi yang merupakan putri dari Esham Al-Busyi (tokoh republikan teman dekat Mahmoud Mohammed Taha pendiri partai republik yang divonis murtad dan dihukum mati di era Presiden An-Numeri) balik menyerang Syeikh Abdul Hayyi. Hingga konflik keduanya kemudian dikenal dengan 'Harb Arriddah' perang melawan kemurtadan merujuk kepada perang Sayyidina Abu Bakar melawan orang-orang murtad.
September 2019 Menteri agama dan waqaf Sudan Nasruddin Mufrah mengajak warga Yahudi asli Sudan yang meninggalkan Sudan mulai dari perang Arab Israel 1948 hingga era Basyir untuk kembali ke Sudan demi sama-sama membangun Sudan.
November 2019, Pemerintahan transisi menyetujui undang-undang yang mencabut hak politik serta pembekuan National Congress Party yang didirikan Basyir sekaligus menyita semua harta kekayaan partai. Sekalipun NCP adalah pecahan IM, kenyataannya undang-undang ini tetap menyasar semua gerakan Islam dan tokoh-tokohnya.
Februari 2020, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu mengadakan pertemuan selama 2 jam dengan ketua dewan kedaulatan Sudan Abdel Fattah Burhan di Uganda. Dalam pertemuan itu, Netanyahu mengajukan proposal normalisasi Sudan-Israel. Tak lama kemudian, Pesawat terbang Israel resmi menggunakan wilayah udara Sudan dengan izin pemerintahan transisi.
Juli 2020 Menteri Kehakiman Sudan Nasruddin Abdul Bari mencabut undang-undang hukuman mati terhadap orang murtad, mencabut hukuman cambuk didepan umum, mengizinkan minuman keras untuk non muslim serta melarang khitan perempuan. Abdul Bari mengaskan bahwa ia akan mencabut semua 'hukum-hukum yang bertentangan dengan HAM'.
Dan yang masih hangat diperbincangkan adalah ketika 23 Oktober lalu Sudan dan Israel resmi menandatangani perjanjian untuk melakukan normalisasi. Konferensi Khartoum -+ 53 tahun lalu dengan resolusinya yang terkenal; tidak ada pengakuan terhadap Israel, tidak ada perundingan dengan Israel dan tidak perdamaian dengan Israel kini hanya tinggal kenangan.