Kisah Najmuddin Ayyub Dengan Visi Besarnya
Saat itu, Baitul Maqdis (Al Aqso) dalam keadaan dijajah oleh para pasukan salib. Najmuddin Ayyub terus memikirkan bagaimana cara membebaskan baitul Maqdis. Ialah penguasa Tikrit di Iraq. Keinginannya untuk membebaskan baitul maqdis dari belenggu penjajahan dan kedzaliman selalu membuncah.
Najmuddin adalah salahsatu pemimpin yang disegani karena keshalihannya, namun hingga ia menjadi pemimpin besar di Tikrit, ia tak kunjung menikah. Hal ini lantas membuat Asaduddin Syerkuh, saudaranya khawatir. Ia memberanikan diri menanyakan pada Najmuddin. “Wahai saudaraku, mengapa engkau belum kunjung menikah. Sementara menikah adalah sebagian dari sunnah Rasul kita?”
“Aku belum menemukan yang cocok untukku.” Jawab Najmuddin singkat. Asaduddin pun sudah beberapa kali menawarkan calon padanya. Dari mulai puteri Sultan dari bani Saljuk, hingga puteri Nizamul Malik, menteri dari para menteri agung pada dinasti abbasiyah. Semuanya ditolak mentah oleh Najmuddin. Hingga suatu ketika Najmuddin berkata Aku menginginkan istri yang salihah yang bisa menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia tarbiyah dengan baik hingga jadi pemuda dan ksatria serta mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin.”
Sebuah jawaban yang sulit direalisasikan, namun ia tetap berazzam untuk menemukn yang demikian.
Suatu ketika, Najmuddin duduk dalam majelis bersama seorang syaikh di masjid Tikrit. Tiba-tiba terdengar suara seorang gadis memanggil syaikh dan berbincang. Gadis itu baru saja menolak pinangan seorang laki2 yang datang padanya. “Kenapa kau tolak utusan yang datang ke rumahmu untuk meminangmu?” Gadis itu menjawab, “Wahai, Syaikh. Ia adalah sebaik-baik pemuda yang punya ketampanan dan kedudukan, tetapi ia tidak cocok untukku.” Syaikh berkata, “Siapa yang kau inginkan?”
Mendengar hal itu sang gadis menjawab dengan lantang , “Aku ingin seorang pemuda yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin.”
Bagai hujan di musim kemarau, Najmuddin tercengang mendengar itu. Tambatan hari yang dicari kini ia temukan di balik tirai itu.
Seketika itu Najmuddin berdiri dan memanggil sang Syaikh, “Aku ingin menikah dengan gadis ini, ini yang aku inginkan. Aku ingin istri salihah yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia didik jadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin.”
Visi besar yang dibangun dan dirajut masing-masing, ditambah kebulatan tekad untuk menolong agama Allah rupanya langsung didengar oleh Allah swt. Mereka dipertemukan karena dua visi yang besar dalam bingkai keikhlasan.
Singkat cerita, dari mereka lahir lah seorang pejuang tangguh, pembebas baitul Maqdis. Ialah Shalahuddin Al Ayyubi. Seorang panglima yang berhasil menorehkan tinta emas dalam sejarah perjuangan islam. Ya, visi besar yg pernah dibangun itu tercatat sebagai sebuah goresan besar.
Kita sering kali meremehkan sebuah visi dalam membangun kehidupan kita. Kita ingin hidup sebagai pejuang, namun tak memiliki visi perjuangan. Kita ingin membangun kehidupan yang penuh kemuliaan, namun nihil dari cita yang mulia. Setidaknya, sebelum terlambat, bangunlah visi itu. Jadikan visi itu sebagai pondasi yang kokoh dalam sendi kehidupan kita. Bukan justru menjadikan kehidupan kita kosong dan hampa tanpa tujuan.
Selamat menentukan visi dan mewujudkannya bersama mereka yang memiliki visi sama dengan kita.