Zikir Shalat Terawih Antara Siir dan Jahar
Dalam obrolan khas kanak-kanak yang tulus, si Abdulrahim (bukan nama sebenarnya) mengatakan ke teman-temannya: ''Kami shalat tarawih setiap malam diajak Ayah ke tiga masjid sunnah saja''. Sembari menyebutkan nama tiga masjid sunnah itu, dengan polos dia mengatakan bahwa menurut ayahnya masjid sunnah itu adalah yang tata-laksana tarawihnya tidak memakai zikir-zikir seperti pengamalan masjid-masjid sekitar.
Dalam sebuah kajian, ada pula jamaah yang bertanya: ''Ustadz, kata Ustadz Abdullah (bukan nama sebenarnya) shalawat, bacaan-bacaan zikir dan taraddhi sahabat-sahabat Nabi yang dibaca oleh bilal di jeda shalat tarawih itu bid'ah, benarkah?''
Nalar fiqih, nalar hadis.
Bidang kajian rumpun ilmu syar'i memiliki karakternya masing-masing. Bila kita dalami, setidaknya bisa dibangun asumsi sederhana bahwa nalar pengkaji fiqih tidak sama dengan nalar pengkaji hadis. Dimana istidlal ahli fiqih dibangun di atas basis argumen dalil plus ra'yu. Dalil disini bisa jadi berupa Al-Qur'an, Hadis, Ijma', Qiyas dan seperangkat pemantik hukum lainnya dalam pendekatan nasshiy bayāni, ta'lili qiyasi ataupun ishtishlāhi. Tidak cukup sampai di sini, nalar fiqih pun masih membedah, bahwa bisa jadi sebuah perkara tidak diikat dengan dalil khusus, tapi kadang bisa saja dia bersinggungan dengan dalil umum.
Untuk memahami diksi nalar fiqih itu, kami ingin mengajak pembaca untuk mentelaah apa yang dihikayatkan oleh Imam Tajuddin al-Subki dalam Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra: “Seorang perempuan mendatangi majlis ilmu yang dihadiri oleh para Imam ahli hadis. Di antara mereka ada Imam Yahya ibn Ma'in, Imam Abu Khaitsamah, Khalaf ibn Salim, dan para imam lainnya. Mereka saling menyebutkan hadits, mentartibkan sanad-sanad, dan membincang keragaman matan.”
Ketika mereka sedang saling meriwayatkan hadits tersebut, tiba-tiba perempuan itu menyela. “Wahai para imam”, ujarnya, “saya adalah seorang wanita yang bekerja sebagai pemandi jenazah. Bagaimanakah hukumnya bagiku jika harus memandikan jenazah ketika aku sedang dalam keadaan haidh?”
Semua ‘ulama besar yang hadir saat itu tidak ada yang menjawab. Mereka jadi saling berpandangan satu sama lain. Dalam benak mereka, tak satupun hadis yang bisa dijadikan dalil secara khusus untuk menjawab persoalan itu.
Ketika majelis itu hening karena tetap tak ada jawaban yang dinantikan, masuklah Imam Abu Tsaur, salah satu murid terbaik Imam Syafi'i. Di antara ‘ulama yang ada di sana pun lalu menunjuk ke arah beliau sembari berkata kepada wanita tukang memandikan jenazah tersebut, "Tanyakanlah kepada orang yang baru datang itu, sebab dia adalah murid dari pemilik akal separuh penduduk dunia."
Perempuan itupun menoleh dan mendekat kepada sang Imam. Disodorkannya soal yang merisaukan dirinya itu, “Bolehkah wanita haidh memandikan jenazah?”
Imam Abu Tsaur tersenyum. “Tentu saja boleh, tidak ada masalah”, jawab beliau. “Kamu boleh memandikan jenazah itu dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh ‘Utsman bin Al Ahnaf, dari Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr, dari ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘Anha, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
إن حيضتك ليست في يدك
“Adapun haidh dirimu bukanlah berada di tanganmu.”
Dan juga berdasarkan perkataan Ibu kita ‘Aisyah, "Aku pernah menyirami, membasuh, dan membersihkan kepala Rasulullah dengan air lalu menyelai rambut beliau, menyisir, serta memberinya minyak. Padahal waktu itu aku dalam keadaan haidh.”
Setelah membacakan dua hadis ini, Imam Abu Tsaur membangun logika fiqih yang diwarisinya dari Imam Syafi'i:
“Apabila kepala orang hidup saja, dan bahkan adalah Nabi”, simpul Imam Abu Tsaur, “Boleh disiram, dibasuh, dan dibersihkan oleh wanita yang sedang haidh, apalagi orang yang sudah mati. Tentu kebolehannya lebih jelas lagi.”
Mendengar jawaban yang jenius itu, serta-merta para ahli hadits yang hadir waktu tersebut berebutan membacakan hadits yang telah disebutkan oleh Abu Tsaur dari segala jalur periwayatan yang ada pada mereka. Salah satunya berkata, “Telah menceritakan si Fulan kepadaku..” Yang lain menimpali, “Kami mengenalnya melalui riwayat si Fulan..” Sampai akhirnya mereka membahas kedudukan berbagai macam riwayat hadits tersebut.
Melihat hal ini, wanita pemandi jenazah berujar heran, "Aduhai.. Ke mana saja kalian sebelum ini?"
Riwayat yang kami sajikan ini bukan hendak merendahkan ahli hadis, demi Allah tidak. Siapa kami dibanding mereka. Tapi ini hanya tamsilan penting koneksi dalil dan istidlal yang sedari awal kami sebut sebagai nalar fiqih. Karenanya, perihal fatwa kita tanyakan kepada ahli fiqih, sedangkan hukum-hakam hadis kita serahkan pula kepada ahlinya. Namun betapa ahsan bagi yang bisa menjamak keduanya, seperti gelar yang disematkan kepada Imam Syafi'i yang seorang ahli hadis yatafaqqah (alim hadis yang intelek).
Lalu apa hubungan tulisan di atas dengan hukum membaca shalawat, zikir, dan taraddhi terhadap sahabat Nabi SAW di setiap jeda rakaat shalat tarawih?
Dalam sebuah kajian, ada pula jamaah yang bertanya: ''Ustadz, kata Ustadz Abdullah (bukan nama sebenarnya) shalawat, bacaan-bacaan zikir dan taraddhi sahabat-sahabat Nabi yang dibaca oleh bilal di jeda shalat tarawih itu bid'ah, benarkah?''
Nalar fiqih, nalar hadis.
Bidang kajian rumpun ilmu syar'i memiliki karakternya masing-masing. Bila kita dalami, setidaknya bisa dibangun asumsi sederhana bahwa nalar pengkaji fiqih tidak sama dengan nalar pengkaji hadis. Dimana istidlal ahli fiqih dibangun di atas basis argumen dalil plus ra'yu. Dalil disini bisa jadi berupa Al-Qur'an, Hadis, Ijma', Qiyas dan seperangkat pemantik hukum lainnya dalam pendekatan nasshiy bayāni, ta'lili qiyasi ataupun ishtishlāhi. Tidak cukup sampai di sini, nalar fiqih pun masih membedah, bahwa bisa jadi sebuah perkara tidak diikat dengan dalil khusus, tapi kadang bisa saja dia bersinggungan dengan dalil umum.
Untuk memahami diksi nalar fiqih itu, kami ingin mengajak pembaca untuk mentelaah apa yang dihikayatkan oleh Imam Tajuddin al-Subki dalam Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra: “Seorang perempuan mendatangi majlis ilmu yang dihadiri oleh para Imam ahli hadis. Di antara mereka ada Imam Yahya ibn Ma'in, Imam Abu Khaitsamah, Khalaf ibn Salim, dan para imam lainnya. Mereka saling menyebutkan hadits, mentartibkan sanad-sanad, dan membincang keragaman matan.”
Ketika mereka sedang saling meriwayatkan hadits tersebut, tiba-tiba perempuan itu menyela. “Wahai para imam”, ujarnya, “saya adalah seorang wanita yang bekerja sebagai pemandi jenazah. Bagaimanakah hukumnya bagiku jika harus memandikan jenazah ketika aku sedang dalam keadaan haidh?”
Semua ‘ulama besar yang hadir saat itu tidak ada yang menjawab. Mereka jadi saling berpandangan satu sama lain. Dalam benak mereka, tak satupun hadis yang bisa dijadikan dalil secara khusus untuk menjawab persoalan itu.
Ketika majelis itu hening karena tetap tak ada jawaban yang dinantikan, masuklah Imam Abu Tsaur, salah satu murid terbaik Imam Syafi'i. Di antara ‘ulama yang ada di sana pun lalu menunjuk ke arah beliau sembari berkata kepada wanita tukang memandikan jenazah tersebut, "Tanyakanlah kepada orang yang baru datang itu, sebab dia adalah murid dari pemilik akal separuh penduduk dunia."
Perempuan itupun menoleh dan mendekat kepada sang Imam. Disodorkannya soal yang merisaukan dirinya itu, “Bolehkah wanita haidh memandikan jenazah?”
Imam Abu Tsaur tersenyum. “Tentu saja boleh, tidak ada masalah”, jawab beliau. “Kamu boleh memandikan jenazah itu dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh ‘Utsman bin Al Ahnaf, dari Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr, dari ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘Anha, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
إن حيضتك ليست في يدك
“Adapun haidh dirimu bukanlah berada di tanganmu.”
Dan juga berdasarkan perkataan Ibu kita ‘Aisyah, "Aku pernah menyirami, membasuh, dan membersihkan kepala Rasulullah dengan air lalu menyelai rambut beliau, menyisir, serta memberinya minyak. Padahal waktu itu aku dalam keadaan haidh.”
Setelah membacakan dua hadis ini, Imam Abu Tsaur membangun logika fiqih yang diwarisinya dari Imam Syafi'i:
“Apabila kepala orang hidup saja, dan bahkan adalah Nabi”, simpul Imam Abu Tsaur, “Boleh disiram, dibasuh, dan dibersihkan oleh wanita yang sedang haidh, apalagi orang yang sudah mati. Tentu kebolehannya lebih jelas lagi.”
Mendengar jawaban yang jenius itu, serta-merta para ahli hadits yang hadir waktu tersebut berebutan membacakan hadits yang telah disebutkan oleh Abu Tsaur dari segala jalur periwayatan yang ada pada mereka. Salah satunya berkata, “Telah menceritakan si Fulan kepadaku..” Yang lain menimpali, “Kami mengenalnya melalui riwayat si Fulan..” Sampai akhirnya mereka membahas kedudukan berbagai macam riwayat hadits tersebut.
Melihat hal ini, wanita pemandi jenazah berujar heran, "Aduhai.. Ke mana saja kalian sebelum ini?"
Riwayat yang kami sajikan ini bukan hendak merendahkan ahli hadis, demi Allah tidak. Siapa kami dibanding mereka. Tapi ini hanya tamsilan penting koneksi dalil dan istidlal yang sedari awal kami sebut sebagai nalar fiqih. Karenanya, perihal fatwa kita tanyakan kepada ahli fiqih, sedangkan hukum-hakam hadis kita serahkan pula kepada ahlinya. Namun betapa ahsan bagi yang bisa menjamak keduanya, seperti gelar yang disematkan kepada Imam Syafi'i yang seorang ahli hadis yatafaqqah (alim hadis yang intelek).
Lalu apa hubungan tulisan di atas dengan hukum membaca shalawat, zikir, dan taraddhi terhadap sahabat Nabi SAW di setiap jeda rakaat shalat tarawih?
Baca juga: Sifat lemah yang muncul dalam Bulan ramadhan
Berikut di antara dalil dan argumen yang disampaikan oleh ahli fiqih:
***
- Secara umum, zikir selepas shalat dianjurkan oleh Allah SWT. Ini disebutkan dalam firman-Nya:
فإذا قضيتم الصلاة فاذكروا الله قياما و قعودا و على جنوبكم..
'' apabila kalian selesai shalat, maka ingatlah Allah dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring..
Dari ayat ini dibangun argumen bahwa tasbih yang diucapkan setelah shalat tarawih itu adalah bagian dari zikir yang diperintahkan untuk dibaca setelah shalat.
- Hadis Riwayat Imam Muslim dimana Nabi SAW menganjurkan untuk tidak menyambung satu shalat ke shalat berikutnya sampai berpindah tempat atau setidaknya berbincang.
Dari hadis ini ahli fiqih menyelaraskan -dalam shalat tarawih- berbincang itu dalam arti mengucap bacaan zikir, shalawat dan kalimat-kalimat baik lainnya. Sebab, jika mengamalkan kesunnahan berpindah tempat, tentu berpotensi ketidakrapian shaf dalam pelaksanaan tarawih.
- Dalam riwayat Imam Nasāi, seusai shalat witir Nabi pernah mengucapkan -secara jahar- zikir :
سبحان الملك القدوس
Dari hadis ini dibangun argumen tentang kebolehan menjaharkan zikir setelah menunaikan shalat, termasuk tarawih.
- Hadis riwayat Imam Bukhari tentang kebiasaan salah seorang sahabat yang merutinkan membaca surat Al-Ikhlas dalam shalatnya.
Mengomentari riwayat ini, Imam Ibn Hajar al-'Asqalani mengatakan bolehnya mewiridkan membaca surat-surat -dan juga zikir-zikir- tertentu yang dengannya hati kita nyaman dan tentram. Tentu tak terkecuali dalam jeda shalat tarawih. Maka dalam pemaknaan ini, Syaikh Ibn Taimiyah melestarikan bacaan zikir Ya Hayyun Ya Qayyum setiap waktu sahur sampai terbit fajar, begitu juga beliau selalu mewiridkan al-Fatihah sebakda subuh sampai terbitnya matahari sebagaimana yang disebutkan oleh al-Bazzār Shohibul Mushannaf.
- al-Hafidz Murtadha Zabidi menyebutkan bahwa kebiasaan membaca zikir-zikir antara rakaat tarawih ini telah diamalkan oleh para salaf di Hadramaut, Mesir dan Bukhara.
- Fatwa Imam Ibnu Hajar al-Haitami:
(وَسُئِلَ) فَسَّحَ اللَّهُ فِي مُدَّتِهِ هَلْ تُسَنُّ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بَيْنَ تَسْلِيمَاتِ التَّرَاوِيحِ أَوْ هِيَ بِدْعَةٌ يُنْهَى عَنْهَا؟
(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ الصَّلَاةُ فِي هَذَا الْمَحَلِّ بِخُصُوصِهِ. لَمْ نَرَ شَيْئًا فِي السُّنَّةِ وَلَا فِي كَلَامِ أَصْحَابِنَا فَهِيَ بِدْعَةٌ يُنْهَى عَنْهَا مَنْ يَأْتِي بِهَا بِقَصْدِ كَوْنِهَا سُنَّةً فِي هَذَا الْمَحَلِّ بِخُصُوصِهِ دُونَ مَنْ يَأْتِي بِهَا لَا بِهَذَا الْقَصْدِ كَأَنْ يَقْصِدَ أَنَّهَا فِي كُلِّ وَقْتٍ سُنَّةٌ مِنْ حَيْثُ الْعُمُومُ ..
(ابن حجر الهيتمي ,الفتاوى الفقهية الكبرى ,1/186)
'' Apakah disunnahkan bershalawat antara jeda salam shalat tarawih itu ataukah ia bid'ah yang terlarang?Beliau menjawab: Tak kami dapati persoalan ini secara khusus dalam hadis Nabi begitu juga dari ungkapan para ulama. Maka bershalawat secara khusus di tempat ini dengan anggapan ia merupakan sunnah tentu tidak boleh. Namun jika dianggap hanya sebagai kesunnahan secara umum maka tidak mengapa..''
- Fatwa Syaikh 'Athiyyah Shaqr, Mufti al-Azhar:
«ليس هناك نصٌّ يمنع من الذكر أو الدعاء أو قراءة القرآن، في الفصل بين كل ركعتين من التراويح، أو كل أربع منها مثلا، وهو داخل تحت الأمر العام بالذكر في كل حال . وكون السلف الذين يؤخذ عنهم التشريع لم يفعلوه لا يدل على منعه، إلى جانب أن النقل عنهم في منع الذكر المذكور غير موثوق به.
وهذا الفاصل يشبه ما كان يفعله أهل مكة من قيامهم بالطواف حول البيت سبعا بين كل ترويحتين، الأمر الذي جعل أهل المدينة يزيدون عدد التراويح على العشرين، تعويضا عن هذا الطواف.
وهو أسلوب تنظيمي يعرفون به عدد ما صلَّوه، إلى جانب ما فيه من تنشيط للمصلي، فلا مانع مطلقا، وبهذا لا يدخل تحت اسم البدعة، فالنصوص العامة تشهد له، فضلًا عن سبق معارضته لها، ولئن يسمى بدعة؛ فهو على نسق قول عمر رضى الله عنه: نعمت البدعة هذه، عند ما رأى تجمّع المسلمين لصلاة التراويح خلف أبي بن كعب» (أحسن الكلام في الفتاوى والأحكام (3/470).
'' Tidak ada teks yang melarang untuk berzikir, bershalawat maupun membaca Al-Qur'an di jeda antara dua ataupun empat rakaat Shalat tarawih. Semuanya itu termasuk dalam perintah umum untuk berzikir di kondisi apapun. Jika ternyata salaf tidak melakukannya, itu tidak lantas terlarang.Mengisi jeda ini sama halnya dengan tawaf yang dilakukan oleh penduduk Makkah atau tambahan shalat ringkas penduduk Madinah sehingga jadinya lebih dari 20 rakaat, dengan maksud mengimbangi pahala penduduk Makkah dengan tawafnya.
Bacaan-bacaan ini semacam pengaturan sekedar untuk mengetahui jumlah rakaat dan demi tujuan baik untuk menyemangati semua yang hadir. Maka tidak bisa disebut bid'ah. Jikapun ingin disebut bid'ah, maka ia masuk kategori bid'ah hasanah sebagaimana yang disebutkan Umar Ibn Khattab tatkala melihat shalat tarawih berjamaah yang diimami Ubay Ibn Ka'ab.''
***
Lalu bagaimana pula dengan Taraddhi sahabat-sahabat Nabi SAW dalam jeda tarawih itu?
Izinkan kami memberikan tajuk pembahasan ini dengan: Mengawal Benteng Awam.
Betapa muslimin Nusantara ini tertuduh pelaku bid'ah dalam shalat tarawihnya karena menambahkan hal-hal yang -menurut penuduh- sama sekali tanpa tuntunan dari Rasulullah SAW.
Misalnya adalah, dalam rehat setiap dua raka'at, setelah shalawat untuk Nabi, ada peran yang disebut "Bilal", bertugas menyerukan nama para Khalifah.
Di jeda setiap rakaat itu dia berseru: "Al Khalifatul Awwal Sayyiduna Abu Bakrinish Shiddiq Radhiyallahu 'Anhu, Atardhauna 'Anhu? (Khalifah pertama adalah junjungan kita Abu Bakar al-Shiddiq semoga Allah meridhainya; apakah kalian ridha padanya?)"
Jama'ah menjawab, "Radhiyallahu 'Anhu (Allah ridha padanya)."
Begitulah dia berseru di setiap rehat raka'at: "Al Khalifatuts Tsani Amirul Mukminin Sayyiduna 'Umar Ibn al-Khattab Radiyallahu ‘Anhu; Atardhauna 'Anhu? (Khalifah kedua adalah pemimpin kaum mukminin, junjungan kita Umar ibnul Khattab semoga Allah meridhainya; apakah kalian ridha padanya?)"
Jama'ah menjawab, "Radhiyallahu 'Anhu. (Allah ridha padanya)."
dia berseru kembali setelah dua rakaat berikutnya: "Al Khalifatuts Tsalits Amirul Mukminin Sayyiduna 'Utsman ibn 'Affan Radiyallahu ‘Anhu; Atardhauna 'Anh? (Khalifah ketiga adalah pemimpin kaum mukminin, junjungan kita 'Utsman ibn 'Affan semoga Allah meridhainya; apakah kalian ridha padanya?)"
Jama'ah menjawab, "Radhiyallahu'Anhu. (Allah ridha padanya)."
Setelah raka'at berikutnya dia berkata lagi: "Al Khalifatur Rabi' Amirul Mukminin Sayyiduna 'Ali ibn Abi Thalib Radiyallahu ‘Anhu; Atardhauna 'Anhu? (Khalifah keempat adalah pemimpin kaum mukminin, junjungan kita 'Ali ibn Abi Thalib semoga Allah meridhainya; apakah kalian ridha padanya?)"
Jama'ah menjawab, "Radhiyallahu 'Anhu (Allah Ridha padanya)."
Demikianlah seterusnya, bahkan -di sebagian daerah- adapula yang sampai menyebutkan nama-nama sepuluh sahabat Nabi yang telah dijanjikan syurga; ini bagi yang melaksanakan tarawih 20 raka'at.
Kepada salah seorang rekan kami pernah menyampaikan: ''Rupanya setelah dilacak secara historis, praktek ini mulanya adalah sebuah ikhtiyar luhur untuk membentengi kaum 'awam ummat dari sebuah keyakinan dan pemahaman yang amat merusak!''
"Keyakinan apakah itu?", tanyanya.
"Keyakinan yang menolak kepemimpinan tiga Khalifah sebelum Sayyidina 'Ali, mengajak membenci para sahabat, mengajak melaknat Sayyidina Abu Bakr dan Sayyidina 'Umar beserta kedua putri agung mereka, serta merendahkan Sayyidina 'Utsman."
"Syi'ah?", tanyanya.
"Rafidhah", tegas kami.
Seperti para penguasa Daulah' Utsmaniyah memasang nama-nama mulia ini di bawah kubah raksasa Masjid-masjid mereka, para 'ulama Nusantara merasa perlu menjaga cinta kepada para sahabat Rasulullah ini bahkan dengan terus-menerus meyakinkan ummat untuk ridha kepada Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman, dan 'Ali di sela Qiyam Ramadhan !
Bid'ahkah?
Sebagaimana logika fiqih yang disampaikan Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa Kubra-nya, bahwa jika shalawat -dan semua jenis zikir atau taraddhi- itu kita anggap hanya setakat ungkapan cinta kepada Nabi, Khulafa'urrasyidin dan seluruh sahabat, bukan sebagai do'a khusus, dan tak diyakini sebagai bagian dari ibadah shalat tarawihnya, ia sungguh bukanlah bid'ah tercela.
Dalam ibadah yang pure (murni), tujuan memang tidak membebaskan pelbagai cara. Tapi ini hanyalah sebentuk amal shaleh yang tidak terikat waktu tertentu dengan cara tertentu. Maka memahami latar belakang seharusnya membuat kita mengerti, menghargai, dan menyikapi dengan hikmah yang jernih.
Wallahu a'lā wa a'lam.