Adakah Naskh Pada Hadits Nabawi..??
Masalah yang ada kaitannya dengan kontradiksi antara beberapa hadits ada juga yang berhubungan dengan masalah Naskh (penghapusan), Naasikh (yang menghapus), dan mansukh (Yang dihapus) pada hadits tertentu. Masalah nasakh itu ada hubungannya dengan ulumul qur’an sebagaimana juga berhubungan dengan ulumul hadits.
Di antara ahli tafsir ada yang berlebihan menyatakan adanya naskh dalamal-qur’an, sehingga ada di antara mereka yang menduga bahwa sebuah ayat yang mereka namakan dengan ayat pedang telah dinaskh dari kitab Allah lebih dari seratus ayat. Padahal mereka sendiri tidak sependapat dengan ayat pedang yang dimaksud.
Sebagian pakar hadits ada yang mengatakan bahwa teah terjadi naskh dalam hadits, bila upaya memadukan antara dua hadits yang kontradiktif tidak berhasil dilakukan. Maka hadits yang paling akhir dari keduanya akan menaskh hadits yang lebih dulu diucapkan oleh Nabi. Yang akhir kedudukannya sebagai Naasikh (yang menghapus), dan hadits yang lebih awal kedudukannya sebagai mansukh (Yang dihapus).
Baca juga: Hadits Tentang Keharaman Berpakaian Isbal
Sebenarnya klaim tentang adanya naskh dalam hadits adalah sangat sempit lingkupnya dibandingkan dengan klaim adanya naskh dalam al-qur’an. Padahal semestinya adalah kebalikannya karena pada dasarnya al-qur’an itu berlaku untuk umum dan sepanjang masa. Sementara as-sunnah tidak sebagaimana hal qur’an. Karena sebagaian dari as-sunnah hanya untuk memecahkan masalah yang sifatnya parsial dan situasi yang temporer, berdasarkan kepemimpinan Rasullulah terhadap umat yang mengatur urusan kehidupan mereka sehari-hari pada masa tersebut.
Hanya saja banyak hadits yang dikatakan telah dinaskh ternyata setelah diteliti dengan cermat hadits-hadits tersebut tidaklah mansukh. Terkadang sebagian hadits mengandung maksud azimah (kewajiban tertentu yang pasti) dan di antaranya ada hadits yang mengandung maksud rukhsah (keringanan hukum dalam kondisi tertentu). Kedua hukum tersebut tetap berlaku dan masing-masing pada tempatnya yang sesuai.
Tekadang juga ada sebagian hadits terikat dengan situasi tertentu, dan hadits yang lain juga berkenaan dengan situasi yang berbeda pula . Perubahan situasi tidak berarti adanya naskh, sebagai mana dikatakan tentang larangan menyimpan daging kurban setelah tiga hari kemudian ada hadits lain setelahnya yang membolehkan menyimpannya walaupun lebih dari tiga hari. Hal ini bukanlah naskh, meainkan larangan daam situasi tertentu dan membolehkan dalam situasi yang lain.
Baca juga: Syarat Diterima Hadits Dha'if Untuk Beramal
Adalah sebaiknya kita kutib apa yang dikatakan oleh al-Hafidh al-Baihaqi dalam bukunya Ma’rifatus Sunan wal Aatsaar dengan isnadnya dari Imam Asy-Syafi’i, beliau berkata: “Setiap kali dua buah Hadits memungkinkan keduanya untuk dipakai sekaligus, maka keduanya harus dipakai dan tidak boleh salah satu darinya membatalkan yang lainnya. Bila kedua hadits tersebut tidak memungkinkan dipakai karena kontradiksi maka dalam hal seperti ini ada dua kemungkinan:
- Salah satunya naasikh dan yang lainnya mansukh, maka yang dipakai adalah yang pertama dan yang kedua ditinggalkan.
- Keduanya tetap kontradiksi dan tidak ada petunuk yang mana yang menjadi naasikh dan yang mana dijadikan mansukh,maka kita tidak memakai salah satunya dan meninggakan yang lainnya, kecuali berdasarkan sebab yang menunjukkan bahwa yang dipakai lebih kuat dari pada yang ditinggalkan. Dan hal itu berarti salah satu dari kedua hadits tersebut lebih kokoh isinya dari pada yang lain. maka kitapun memakai hadits yang lebih kokoh. Atau lebih dekat dengan kitabullah atau sunnah Rasulullah lainnya yang lebih shahih yang selain dari dua hadits yang saling kontradiksi tersebut, atau juga karena lebih utama menurut penetahuan ahli ilmu, atau lebih benar dalam menganalogikannya atau yang lebih banyak diriwayatkan oleh shahabat dibanding dengan hadits lainnya.
Baca juga: Kontradiksi Hadits Tentang iarah Kubur
Dan dengan isnadnya, asy-Syafi’i berkata: “perpaduannya adalah bahwa yang diterima hanyalah hadits yang tsabit (kokoh) sebagaimana dalam kesaksian, yang diterima adalah kesaksian orang yang telah diketahui keadilannya. Maka bila hadits tersebut tidak diketahui asal usulnya atau orang yang membawanya tidak disukai. Maka hal itu seakan-akan orang itu tidak meriwayatkannya, karena hal itu tidak dikatakan sebagai tsabit".
Al-Baihaqi berkata: “yang seharusnya diketahui adalah bahwa Abu Abdillah (Al-Bukhari) dan Imam Muslim, masing-masing dari mereka berdua telah menyusun sebuah buku yang menghimpun hadits-hadits yang semuanya shahih. Dan masih ada hadits-hadits shahih yang lain yang tidak dikeluarkan oleh keduanya, karena menurut mereka tidak mencapai kriteria yang telah mereka berdua tetapkan".
Hadits-Hadits yang tidak memenuhi kriteria Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim itu ada yang dikeluarkan oleh Abu Daud Sulaiman bin al-asy’ats as-Sijistani. Juga dikeluarkan oleh Abu Isa Muhammad bin Isa at-Turmuzi. Juga dikeluarkan oleh Abu Abdirrahman Ahmad bin Syua’ib an-Nasa’i. juga dikeluarkan oleh Abu bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah. Dan masing-masing dari mereka semuanya adalah orang yang ahli dalam bidang Hadits dan mereka telah mengumpulkan dalam kitabnya nasing-masing tentang hadits sesuai dengan ijtihad mereka.
Dan hadits-hadits yang diriwayatkan itu secara umum ada tiga katagori:
- Hadits yang telah disepakati oleh para ahli hadits tentang keshahihannya. dan ini tidak dibenarkan bagi seorangpun untuk menentangnya.
- Hadits yang sudah disepakati tentang kelemahannya, yaitu tidak seorangpun dibenarkan untuk bersandar kepadanya.
- Hadits yang tidak disepakati keshahihannya, di antara mereka ada yang menilainya sebagai hadits lemah karena adanya cacat yang tampak jelas pada sebagian perawinya dan tidak memenuhi syarat untuk diterimanya hadits tersebut. Sementara orang yang lainnya menilai sudah memenuhi syarat untuk diterima hadits tersebut.