Hadits Larangan Bagi Wanita Melihat Lelaki Bukan Mahram, Shahihkah..???
Pada dasarnya nash-nash syari’ah yang telah terbukti kebenarannya tidak mengandung kontradiksi. Karena kebenaran tidak akan kontradiksi dengan kebenaran. Maka bila tampaknya ada kontradiksi, maka hal itu hanya penglihatan sepintas yang pada hakikatnya tidak demikian halnya. Adalah kewajiban kita untuk menghilangkan kontradiksi semu tersebut.
Bila mungkin menghilangkan kontradiksi tersebut dengan memadukan antara dua nash, dengan kedua nash tersebut dapat diberlakukan keduanya maka itu lebih baik ketimbang mentarjihkan antara keduanya dengan mengambil salah satu nash tersebut. Karena mentarjih itu berarti mengesampingkan salah satu dari kedua nash dan lebih mengutamakan yang lainnya.
Ini adalah salah satu hal yang penting dalam upaya memahami as-Sunnah dengan baik, yaitu dengan cara memadukan antara hadits-hadits shahih yang tampaknya kontradiktif, yang sekilas maknanya berlainan. Hadits-Hadits tersebut digabung, masing-masing ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya sehingga saing menopang, saling melengkapi dan tidak bertentangan.
Kita katakan tadi hadits-hadits shahih , hal itu karena hadits-hadits lemah tidak termasuk ke dalam permasalahan ini. Kita tidak dituntut untuk memadukan dengan hadits-hadits shahih yang telah terbukti keshahihannya, bila hadits tersebut bertentangan, kecuali sekedar sebagai pelengkap saja. Oleh karena itu ulama peneliti menolak hadits Ummu salamah, dari Abu Darda’ riwayat Imam Turmuzi, yang mengharamkan kepada wanita melihat lelaki walaupun lelaki tersebut buta (Apakah kalian berdua buta..?) dengan hadits Aisyah Ummul Mukminin dan hadits Fatimah binti Qais dan keduanya tercantum Ash-Shahih.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah, beliau berkata: “Saya berada dekat Rasulullah dan disamping beliau duduk Maimunah. Kemudian datang Ibnu Ummi Makhtum,dan peristiwa ini setelah beliau memerintahkan kepada kami untuk mengenakan hijab. Nabi Bersabda:
احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لَا يُبْصِرُنَا وَلَا يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا لِأَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّةً أَلَا تَرَى إِلَى اعْتِدَادِ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِفَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ عِنْدَهُ
"Berhijablah kalian berdua darinya." Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah ia buta sehingga tidak bisa melihat dan mengenal kami?" Nabi balik bertanya: "Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua dapat melihat dia?" (HR. Abu Dawud dan Turmuzi, Hadits Hasan Shahih)
Hadits ini walaupun at-Turmuzi menilainya shahih dalam sanadnya tedapat Nabhan, Maula Ummu Salamah. Orang tersebut Majhul yang tidak dapat dipercaya kecuai oleh Ibnu Hibban. Karenanya Ad-Dzahabi dalam Al-Mughni mengkatagorikannya sebagai orang lemah.
Hadits ini kontradiksi dengan dengan Hadits yang tercantum dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, yang menunjukkan dibolehkannya wanita melihat lelaki yang bukan Muhrimnya. Riwayat dari Aisyah berkata:
رأيت النبي يسترني بردائه وأنا أنظر إلى الحبشة يلعبون في المسجد
“ Saya melihat Nabi menutupku dengan selendangnya sementara saya melihat orang-orang Habasyah bermain di Masjid” Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Hadits ini mengandung pengertian dibolehkannya wanita melihat perbuatan lelaki yang bukan Muhrimnya . yang tidak dibolehkan adalah melihat dan menikmati kegantengannya”.
Al-Bukhari meriwayatkan Hadits ini dalam bab Wanita melihat orang Habasyah dan lainnya tanpa curiga”. Hal itu diperkuat oleh riwayat al-Bukhari dari Hadits Fatimah binti Qais bahwa Nabi Berkata kepadanya ketika ia ditalak tiga oeh suaminya dengan Sabda Beliau:
اعتدى في بيت ابن أم مكتوم فإنه رجل أعمى تضعين ثيابك ولايراك
“Tinggallah di rumah Ummi Makhtum, karena ia seorang yang buta, kamu tanggalkan pakaian ia tidak melihatmu” Rasulullah menyuruhnya untuk tinggal di rumah Ummu Syarik, kemudian beliau berkata: “wanita tersebut sering kedatangan para shahabatku, tinggallah di rumah Ibnu Ummi Makhtum ...”, maka hadits Ummu Shalah yang mengandung kelemahan itu tidak bisa menandingi hadits-hadits shahih ini. Hanya saja sekedar pendukung boleh mengusahakan penggabungan antara hadits lemah dengan hadits shahih walaupun tidak wajib dilakukan.
Oleh karenaitu Imam al-Qurthubi dan lainnya berkomentar tentang hadits Ummu Salamah tersebut: “Anggaplah hadits itu shahih, maka hal itu adalah larangan keras untuk istri-istrinya agar menjaga kehormatan mereka sebagaimana halnya kewajiban mengenakan hijab". Sebagaimana diisyaratkan oleh Abu Daud dan lainnya, dan tinggallah penertian hadits shahih yaitu bahwa Nabi Muhammad menyuruh Fatimah binti Qais untuk tinggal dirumah Ummu Syarik, kemudian bersabda:
تِلْكَ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ عِنْدَهُ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ
"Dia adalah wanita yang sering dikunjungi oleh para sahabatku. Maka tunggulah masa iddahmu di rumah Abdullah bin Ummi Maktum, dia adalah seorang yang buta, sehingga kamu dapat meletakkan pakaianmu di sisinya”. Al-Quthubi berkata: “Beberapa ulama menjadikan hadits ini sebagai argumentasi bahwa wanita boleh melihat bagian-bagian tubuh laki-laki yang sama bolehnya laki-laki dilihat dari wanita seperti kepala dan bagian lainnya yang dibolehkan syari’at. Adapun bagian telinga tempat anting-anting adalah aurat maka tak boleh dilihat. Rasulullah menyuruhnya pindah dari rumah Ummu Syarik kerumah Ibnu Ummi Makhtum karena hal itu lebih baik baginya dari pada tetap tinggal dirumah Ummu Syarik. Walaupun sesama wanita. Karena Ummu Syarik sering kedatangan tamu yang laki-laki, sehingga akan banyak orang yang melihat dirinya. Sementara di rumah Ibnu Ummi Makhtum tak seorangpun yang akan melihat dirinya. Maka lebih terjaga kehormatannya, karenanya Rasulullah memberikan keringanan baginya untuk tinggal dirumah Ibnu Ummi Makhtum.