Hadits Memasukkan Alat Pertanian Kedalam Rumah Adalah Kehinaan, Benarkah..?
Ada satu hadits dalam kitab shahih al-Bukhari dalam bab tentang pertanian riwayat dari Abu Umamah al-Bahili ketika beliau melihat alat pembajak tanah,maka beliau mengatakan: “Saya mendengar Rasulullah Bersabda:
«لاَ يَدْخُلُ هَذَا بَيْتَ قَوْمٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ الذُّلَّ»، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: «وَاسْمُ أَبِي أُمَامَةَ صُدَيُّ بْنُ عَجْلاَنَ»
“tidaklah alat-alat ini masuk ke dalam rumah sebuah kaum kecuali Allah akan masukkan kehinaan kepada mereka“. Abu Abdillah berkata: “nama dari Abu Umamah adalah Suday bin ajlan. Hadits ini tampaknya mengandung pengertian bahwa Rasulullah tidak menyenangi pertanian dan peralatannya yang menyebabkan hinanya orang yang melakukannya. Beberapa orientalis berusaha memanfaatkan hadits ini untuk mengacau balaukan sikap Islam terhadap pertanian.
Lalu apakah pengertian hadits hadits tersebut yang dimaksudkan..??? dan apakah Islam membenci pertanian..???
Ini tentunya sangat bertentangan dengan nash-nash shahih lainnya yang memiliki pengertian yang jelas. Kaum anshar adalah ahli dalam masalah pertanian dan Rasulullah tidak pernah memerintahkan kepada mereka untuk meninggalkan profesi tersebut. Bahkan dalam sunnah dan fikih Islam menjelaskan dengan rinci hukum-hukum pertanian, irigasi, mengidupkan tanah mati dan juga yang berhubungan dengan hak dan kewajiban dalam masalah tersebut.
Muslim dan lainnya telah meriwayatkan hadits dari Rasulullah:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْساً إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لهُ صَدَقَةً، وَمَا سُرِقَ مِنْه لَهُ صَدَقَةً، وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً
Tiada seorang muslimpun yang menanam suatu tanaman, melainkan apa saja yang dapat dimakan dari hasil tanamannya itu, maka itu adalah sebagai sedekah baginya, dan apa saja yang tercuri daripadanya, itupun sebagai sedekah baginya. Dan tidak pula diambil oleh seseorang, melainkan itupun sebagai sedekah baginya". (HR. Muslim dari Jabir) Hadits yang lain juga dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا, أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَة ٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
“Tidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian pohon/ tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Imam Bukhari) Hadits yang lain juga dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah masuk ke kebun Ummu Ma’bad yang dipagari kemudian beliau bertanya: Wahai Ummu Ma’bad, siapa yang menanam pohon kurma ini..? Muslim ataupun kafir..! Ummu Ma’bad menjawab: Yang menanamnya adalah seorang Muslim. Kemudian Rasulullah bersabda:
فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَ لاَ دَابَّةٌ وَ لاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang ataupun burung melainkan tanaman itu menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat.” (HR. Imam Muslim) Orang tersebut di sisi Allah mendapat pahala sedekah. Sebagai balasan terhadap sebagian hasil tanamannya yang hilang walaupun ia tidak berniat sedekah, baik karena dimakan binatang liar, burung ataupun dicuri oleh orang. Sedekah tersebut adalah adalah sedekah abadi yang pahalanya tidak putus-putus selama ada makhluk hidup yang memanfaatkan tanaman atau pertanian ini.
Maka keutamaan apa yang melebihi keutamaan pertanian ini..??? adakah anjuran yang meebihi anjuran untuk bertani yang lebih kuat dari hadits ini..???.
Inilah hadits yang menjadikan para ulama dahulu berpendapat bahwa bertani adaah cara mencari nafkah yang paling baik. Hadits yang menganjurkan bercocok tanam dan pertanian yang paling menakjubkan adalah yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dan al-Bukhari dalam Adabul Mufrad dari Anas:
إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَ فِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيْلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ تَقُوْمَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sementara di tangan salah seorang di antara kalian terdapat pohon kurma yang masih muda maka kalau bisa ia menanamnya sebelum terjadinya kiamat maka hendaklah dia menanamnya.” (HR. Imam Ahmad, Imam Bukhari).
Ini merupakan sebuah penghormatan terhadap pekerjaan tersebut yang tujuannya untuk memakmurkan bumi itu sendiri. Walaupun orang yang menanamnya tidak mendapatkan keuntungan di balik itu, atau orang lain setelahnya karena tidak ada harapan bagi seorangpun dari pekerjaan menanam pohon pada saat kiamat terjadi. Bahkan ada anjuran dari Rasulullah untuk bercocok tanam dan berproduksi selama hayat masih dikandung badan. Karena manusia diciptakan untuk menyembah Allah, kemudian untuk berkarya meramaikan bumi dan untuk selamanya hingga datangnya hari kiamat.
Inilah yang dipahami oleh shahabat dan kaum Muslimin di abad-abad pertama Islam. Inilah yang mendorong mereka untuk memakmurkan bumi dengan pertanian dan menghidupkan tanah yang mati. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ammarah bin Khuzaimah bin Tsabit, ia berkata: “ Saya mendengar Umat bin Khattab berkata kepada ayahku: “apa yang menghalangimu untuk bercocok tanam ! Umar berkata: “Aku mengajak anda untuk bercocok tanam”. Aku melihat Umar bin Khattab mengolah tanah dengan tangannya sendiri bersama ayahku” (dalam Jami’ Al-Kabir karangan ImamSayuthi).
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Darda’ bahwa ada seorang laki-laki lewat dihadapannya sementara ia sedang bercocok tanam di Damaskus. Lelaki itu berkata kepadanya: “Kenapa engkau mau melakukan pekerjaan ini padahal engkau adalah Shahabat Rasulullah.??”. Abu darda’ berkata: “jangan terburu-buru menilai, saya mendengar Rasulullah bersabda:
من غرس غرسا لم يأكل أدمي ولا خلق من خلق الله إلا كان له به صدقة
“Barangsiapa yang bercocok tanam yang hasilnya tidak dimakan manusia dan tidak juga salah satu dari makhluk Allah lainnya melainkan ia juga mendapat pahala sedekah”. Kalau begitu bagaimana ta’wil dari hadits Abu Umamah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari yang kita sampaikan di awal pembahasan..???
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dalam bab peringatan dari akibat menyibukkan diri dengan perkakas pertanian atau melampaui batas yang telah ditentukan.
Al-Hafidh berkata dalam Al-Fath: “Al-Bukhari telah mengisyaratkan dengan terjemah untuk menggabungkan antara hadits Ummu Umamah dan hadits yang menerangkan keutamaan bercocok tanam dan pertanian, dan hal-hal lainnya dengan salah satu dari dua hal: hadits yang berisikan kecaman dibawa kepada akibatknya dan tempatnya adalah bila ia menyibukkan diri dengannya sehingga sebagai akibatnya ia menyia-nyiakan apa yang diperintahkan untuk dipelihara (seperti menyia-nyiakan masalah jihad yang wajib) ataupun dibawa kepada hal-hal yang tidak disia-siakan, hanya saja melampaui batas.
Sebagian pensyarah mengatakan: “Ini bagi yang dekat dengan musuh, karena bila ia disibukkan dengan bercocok tanam dan tidak sibuk latihan menunggang kuda untuk berperang, maka musuh akan dengan mudah mengalahkannya. Maka yang harus mereka lakukan adalah latihan menunggang kuda dan juga mencukupi kebutuhan hidupnya baik dengan bercocok tanam maupun pekerjaan lainnya.
Yang lebih membuat terangnya maksud hadits tersebut adalah dengan memahami hadits riwayat Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Umar secara Marfu’:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرَعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُم
‘Bila kalian berjual beli dengan cara ‘ayyinah, mengikuti ekor-ekor sapi, dan lebih bersenang-senang dengan bercocok tanam dan meninggalkan jihad, maka Allah akan kuasakan/timpakan kehinaan kepada kalian, tidak akan dicabut/dihilangkan kehinaan tersebut hingga kalian kembali kepada agama kalian’.”Hadits ini mengungkapkan sebab diturunkannya kehinaan kepada umat sebagai balasan yang sesuai dengan kelengahan mereka terhadap masalah agama dan tidak mengindahkan urusan dunia yang wajib dipelihara.
Berjual beli dengan cara ‘ayyinah menunjukkan adanya penyepelean terhadap apa yang diharamkan oleh Allah di mana pelakunya mendapat pernyataan perang dari Allah dan Rasulnya, yaitu perbuatan riba. Kemudiaperbuatan ini dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampaknya halal sementara dalamnya tetap haram.
Sebagaimana mengikuti ekor sapi dan lebih mementingkan bercocok tanam menunjukkan membatasi diri dengan pertanian dan pekerjaan tertentu serta meremehkan pekerjaan lainnya yang lebih penting daam agama seperti berkenaan dengan industri pengadaan perlengkapan perang dan lainnya. Adapun meninggalkan jihad adalah sebagai akibat logis dari hal-hal di atas.
Dengan adanya sebab ini umat berhak mendapatkan kehinaan, selama mereka tidak kembali kepada ajaran agama yang sebenarnya.
Berjual beli dengan cara ‘ayyinah menunjukkan adanya penyepelean terhadap apa yang diharamkan oleh Allah di mana pelakunya mendapat pernyataan perang dari Allah dan Rasulnya, yaitu perbuatan riba. Kemudiaperbuatan ini dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampaknya halal sementara dalamnya tetap haram.
Sebagaimana mengikuti ekor sapi dan lebih mementingkan bercocok tanam menunjukkan membatasi diri dengan pertanian dan pekerjaan tertentu serta meremehkan pekerjaan lainnya yang lebih penting daam agama seperti berkenaan dengan industri pengadaan perlengkapan perang dan lainnya. Adapun meninggalkan jihad adalah sebagai akibat logis dari hal-hal di atas.
Dengan adanya sebab ini umat berhak mendapatkan kehinaan, selama mereka tidak kembali kepada ajaran agama yang sebenarnya.