Ibrah Bagi NKRI dari Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani
Runtuhnya Dinasti Ottoman disebabkan oleh banyak hal; mulai dari kezaliman sebagian penguasa Ottoman sendiri, nasionalisme Turki yang kebablasan, revolusi Arab, perang dunia pertama, konspirasi internasional dan sebab-sebab lain yang kompleks.
Betapapun runtuhnya khilafah Utsmaniyah menyisakan luka mendalam dan menjadi sebab melemahnya kekuatan dan persatuan umat Islam secara umum, kita harus mengakui dengan jujur bahwa para penguasa Utsmani tertentu di wilayah-wilayah Arab telah melakukan kezaliman-kezaliman yang kemudian direspon dengan perlawanan rakyat, hingga sebagian sejarawan dan para orientalis 'menuduh' bahwa kekuasaan Daulah Utsmaniyah di negeri-negeri Arab tak ada bedanya dengan kolonialisme/imperialisme Barat. Revolusi Al-Mahdi di Sudan melawan pemerintahan Khadewi Mesir (yang dalam batas-batas tertentu tunduk kepada Dinasti Ottoman) pada tahun 1881 adalah salah satu contoh gamblangnya.
Ketika Sultan Abdul Hamid II masih hidup, ia berusaha semampunya menyatukan umat Islam dibawah kekhalifahan Utsmani dengan IKATAN AKIDAH. Dalam hal ini ia meminta bantuan Jamaluddin Al-Aghani untuk menghidupkan ide persatuan Islam, ia berusaha menerapkan prinsip-prinsip Islam dan salah satu usahanya juga adalah merealisasikan ide pembangunan jalur kereta api Hijaz yang membentang dari Damaskus sampai Madinah. Namun gerakan Turki Muda yang terpengaruh dengan paham nasionalisme yang menjamur di Eropa menganggap bahwa ikatan akidah saja tak cukup kuat untuk menjaga kekuasaan Turki Utsmani yang begitu luas dengan berbagai ras dan agama. Nasionalisme Turki ini terlihat dari kebijakan pengelolaan administrasi dan jabatan-jabatan tinggi negara hanya diberikan kepada etnis Turki. Sedangkan, bangsa Arab adalah bangsa kelas dua atau bahkan kata Arab terkadang diidentikkan oleh nasionalis radikal Turki sebagai budak. Dikemudikan hari kita tau bahwa ikatan nasionalisme yang kadang cenderung rasis ini tak bisa mempertahankan eksistensi Imperium Turki Utsmani yang pernah berjaya selama 6 abad.
Fanatisme Turki ini makin menjadi-jadi ketika kaum Turki Muda berhasil mengkudeta kekuasaan Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1909. Untuk menutupi biaya perang dunia pertama, pajak-pajak tinggi dibebankan kepada bangsa Arab khususnya Syam dan para pemuda dipaksa ke Medan perang hingga terjadilah bencana kelaparan Syam tahun 1915. Sementara itu, kaum terpelajar Arab yang gerah dengan kezaliman sebagian penguasa Ottoman di daerah-daerah juga tergerak untuk mengkampanyekan keutamaan bangsa Arab dan bahasa Arab. Mereka menentang kezaliman gubernur-gubernur Utsmani dan menuntut hak yang sama sebagai warga negara. Dikalangan para ulama, ada nama-nama seperti Syeikh Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha, Abdurrahman Al-Kawakibi serta Muhibbuddin Al-khatib dll yang menyuarakan penentangan terhadap kebijakan zalim Ottoman. Sebagian mereka bahkan pernah ikut bekerjasama dengan organisasi Freemason (tanpa mengetahui hakekat Freemason) dalam melawan kezaliman terhadap bangsa Arab. Secara tidak sadar dan langsung (disamping pemberontakan Arab yang dimulai oleh Syarif Husain di Hijaz dengan bantuan Inggris), 'mereka ikut memberikan sumbangsih' terhadap runtuh berkeping-kepingnya kekhalifahan Utsmani menjadi Nation state yang kecil dan lemah. Al-'Allamah Muhibbuddin Al-Khatib dengan menyesal kemudian mengakui, tak pernah terbersit dalam keinginannya dan para pemuda Arab yang menentang kezaliman untuk berpisah dari kekhalifahan Turki Utsmani.
Btw, tokoh-tokoh ulama yang saya sebutkan diatas punya pengaruh besar terhadap As-Syahid Hasan Al-Banna yang kemudian 'bermimpi' menyatukan kembali kekuatan umat Islam paska runtuhnya khilafah agar tak menjadi bahan obok-obok Barat yang Imperialis.
Akhir-akhir ini, pertentangan tentang agama dan Pancasila, isu tentang ukhuwah Islamiyyah dan ukhuwah Wathaniyah, tentang khilafah dan NKRI kembali menghangat. Ketika umat dan gerakan Islam sudah selesai dengan perdebatan konstitusi negara dan menerima Pancasila sebagai kesepakatan para pendiri bangsa, masih saja ada suara-suara yang mempertentangkan antara agama dan Pancasila. Sementara itu kezaliman terus dipertontonkan oleh sebagian pemangku jabatan, ketidakadilan masih dirasakan oleh mereka yang jauh dari pusat pemerintahan. Disisi lain, sebagian ormas rajin menyerukan pentingnya ukhuwah Wathaniyah namun diwaktu yang sama kadang abai terhadap hak-hak ukhuwah Islamiyyah. Islam dan Nusantara dijajakan seolah Nusantara hanya berdasarkan klaim sebagian masyarakat di wilayah teritorial tertentu, padahal Indonesia identik dengan keberagaman. Penolakan terhadap orasi tokoh Islam dan pembubaran pengajian dilakukan dibeberapa tempat dengan alasan menjaga keutuhan negara hingga menimbulkan reaksi serupa di pulau dan daerah lain, 'para penjaga NKRI' dihadang dan acaranya balik dibubarkan. Ironis memang, benih-benih perpecahan justru ditaburkan tanpa sadar oleh mereka yang mengajak kepada persatuan.
~~
Kita dan setiap jiwa yang merdeka tentunya benci dan mengutuk setiap kezaliman baik yang dilakukan penguasa atau siapapun, adalah hal yang wajar ketika kita geram dan jengkel dengan premanisme sebagian ormas yang merasa paling pancasilais dan paling Nusantara. Namun, siapa tau, jika suatu hari negara kesatuan ini ditakdirkan bubar terpecah belah menjadi negara kecil yang lemah, bisa jadi kita adalah orang pertama yang menyesali dan meratapinya serta ingin menyatukannya kembali. Sebab, apa yang bisa diandalkan dari negara kecil dan lemah dalam percaturan politik global yang ruwet? Saat itu, mungkin kita baru akan memaklumi sikap dan ekspresi berlebihan para pendaku NKRI. Dan saat itu, bisa jadi kaum Nasionalis sekulerpun akan menyesali sikap mereka yang mengabaikan hak-hak mayoritas umat Islam yang terbukti paling tulus mencintai negeri ini.