Menolak hadits Dha’if dalam Keutamaan Amal, bolehkah..??
Adapun yang harus diperhatikan adalah memperingatkan tentang sejumlah kenyataan yang dapat menerangi masalah hadits yang banyak disalah fahami oleh orang. Dan dapat mencemari kemurnian ajaran agama yang dilakukan oleh mereka yang masih menghadapi massa kaum muslimin. Kenyataan itu adalah adanya sebagian ulama yang menolak secara umum tentang keabsahan hadits lemah walaupun dalam masalah anjuran dan peringatan.
Ini adalah sebuah kenyataan yang ada dari dulu sampai dengan sekarang bahwa ada sebagian ulama yang menyamakan antara hadits-hadits anjuran,peringatan, zuhud, penghambaan dengan hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah hukum. Mereka tidak menerima kecuali hadits shahih dan hasan saja.
Ibnu Rajab berkata dalam Syarhil ‘Ilal: “Yang jelas dari perkataan Muslim (wafat tahun 261 H) dalam muqaddimahnya adalah untuk tidak meriwayatkan hadits-hadits anjuran dan peringatan kecuali dari orang-orang yang meriwayatkan Hadits hukum”. Dalam muqaddimah shahihnya beliau mengecam orang-orang yang meriwayatkan hadits- hadits lemah dan riwayat-riwayat munkar.
Jelasnya, ini juga merupakan pendapatnya Imam al-Bukhari (wafat tahun 256 H) yang merupakan pendapat tokoh Jarh wat Ta’diil, Yahya bin Mu’in (wafat tahun 233 H). Orang lain yang sependapat dengan mereka adalah Ibnu Hazm dari mazhab Dhahiriyah (wafat tahun 456 H), al-Qadhi Ibnul ‘Arabi darimazhab Maliki (wafat Tahun 543 H) dan Abu Syamah dari mazhab Syafi’i. adapun ulama kontemporer yang sesuai dengan pandangan ini adalah Syekh Ahmad Muhammad Syakir dan Syekh Muhammad Nashiruddin Al- Albani.
Al-‘Allamah Syakir dalam bukunya Al-Baa’its al-Hadits yang menjelaskan buku ikhtisar Uluumil Hadits karangan Ibnu Katsir. Setelah beliau mengemukakan pendapat sebagian orang yang memperbolehkan meriwayatkan hadits lemah tanpa menjelaskan kelemahannya dengan syarat sebagaimana yang telah kita jelaskan, kemudian beliau mengatakan: “Saya berpendapat bahwa menjelaskan kelemahan hadits lemah adalah wajib bagaimanapun kondisinya. Karena jika tidak dilakukan maka akan memberikan kesan kepada pembacanya bahwa hadits tersebut adalah Shahih. Terutama bila yang mengutipnya termasuk ulama hadits yang ucapannya dijadikan rujukan banyak orang. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara yang berhuungan dengan hukum dan keutamaan perbuatan dan yang semisalnya dalam masalah berpegang kepada hadits lemah. Bahkan seseorang tidak boleh berargumentasi kecuali dengan hadits yang sudah terbukti kebenarannya berasal dari Rasulullah yaitu hadits shahih dan hadits hasan. Adapun yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal, Ibnu Mahdi dan Ibnu Muarak “dan bila kami meriwayatkan hadits yang berkenaan dengan keutamaan, kami tidak terlalu teliti....” maksudnya menurut pendapat yang paling kuat adalah berpegang dengan hadits hasan yang haditsnya tidak sampai pada derajat hadits shahih. Dan yang hasan pada masa mereka belum baku, bahkan mayoritas orang-orang terdahulu mendeskripsikan hadits hanya dengan predikat shahih atau lemah saja”.
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh al-Imam Ibnu al-Qayyim yang menginterpretasikan apa yang diriwayatkan dari al-Imam Ahmad bahwa ia berpegang dengan hadits lemah dan mengutamakannya dari pada pendapat atau pun qiyas. Kedua ulama tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah hadits hasan. Karena Imam at-Turmuzi adalah yang mempopulerkan tentang pembagian hadits hasan, sebagaimana yang teah kita ketahui.
Syekh Al-Albani telah menjelaskan secara panjang lebar dalam setiap muqaddimah buku-bukunya, terutama dalam buku Shahih Jam’i As-Shaghir wa iyaadatuhu dan juga buku Shahih at-Targhib wa at-Tarhiib.
Note:
Kutipan dari Buku: Metode Memahami Sunnah dengan Benar karangan Yusuf Al-Qardhawi