Setiap zaman Lebih Buruk Dari Sebelumnya, Benarkah..???
Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya kepada Az-zubair bin Adi, Beliau berkata: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِيٍّ قَالَ أَتَيْنَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا نَلْقَى مِنْ الْحَجَّاجِ “(Kami mendatangi Anas bin Malik dan kamiadukan kepadanya perlakuan yang kami terima dari al-Hajjaj), Ia berkata: “bersabarlah kalian, karena sesungguhnya tidaklah datang suatu zaman kepada kalian melainkan yang sesudahnya adalah lebih buruk dari sebelumnya sehingga kalianmenemui tuhan kalian. Hal itu saya dengar dari Nabi Muhammad saw”. Sebagaimana Sabdanya:
"Bersabarlah, sebab tidaklah kalian menjalalni suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian menjumpai rabb kalian. Aku mendengar hadit ini dari Nabi kalian" (HR. Al-Bukhari: 6541)
Sebagian orang menjadikan hadits ini sebagai alasan untuk tidak melakukan suatu perbuatan, tidak berusaha melakukan perbaikan dan menyelamatkan orang lain dengan alasan hadits tersebut bahwa masalah selamanya tidak akan pernah selesai, satu kondisi yang hancur akan disusul oleh kondisi lain yang lebih buruk. Demikianlah perpindahan dari satu zaman kezaman lainnya dari yang parah kezaman yang lebih parah lagi sampai datangnya hari kiamat. Kondisi kiamat ini akan dialami oleh manusia yang paling jahat dan manusia yang lainnya telah menemui tuhannya (meninggal sebelumnya).
Sebagian orang menahan diri untuk menerima hadits ini.sebagian yang lain lagi terburu-buru menolaknya karena menurut dugaan mereka karena hadits tersebut menyerukan:
Adalah seharusnya kita mengatakan bahwa para ulama terdahulu telah memberikan kemutlakan terhadap Hadits ini. Maksudnya kemutlakan dari pemahaman hadits tersebut. Bahwa setiap zaman lebih buruk dari dari zaman sebelumnya. Sedangkan sebagian zaman tidak lebih buruk dari zaman sebelumnya. Walaupun zaman seperti itu hanya terjadi pada zaman Umar bin Abdul Azis, yaitu tidak jauh dari zaman al-Hajjaj yang penuh dengan kekejaman dan kedhaliman. Zaman Umar bin Abdul Azis dipenuhi dengan kebaikan dan keadilan. Bahkan bila dikatakan bahwa keburukan hampir tidak ada pada zaman Beliau memimpin. Hal itu tidakah berlebihan,, apalagi lebih buruk dari zaman sebelumnya.
Baca juga: Konsekwensi Meriwayatkan Hadits Lemah
Tentang masalah ini mereka memberikan jawaban:
Adapun dugaan orang yang mengatakan bahwa hadits tersebut berisikan seruan untuk bersikap diam dalam menghadapi kedhaliman dan sabar menghadapi para tiran, rela melihat kemungkaran dan kerusakan,memperkuat sikap negatif dalam menghadapi para penguasa tiran di muka bumi,maka bantahannya adalah sebagai berikut:
Pertama, orang yang mengatakan “bersabarlah kalian” adalah Anas sehingga bukan merupakan hadits marfu’, meainkan sebagai kesimpulan beliau sendiri. Setiap orang selain Nabi Muhammad, ucapannya bisa dijadikan pedoman dan bisa juga ditinggakan.
Kedua, Anas tidak memerintahkan untuk bersikap rela terhadap kedhaliman dan kerusakan,melainkan beliau memerintahkan untuk bersabar. Antara kedua sikap tersebut jelas ada perbedaan yang nyata. Rela dengan kekafiran adalah termasuk kafir, rela dengan kemungkaran adalah termasukperbuatan munkar. Adapun sikap sabar terhadap sesuatu hal sementara ia membencinya dan berusaha untuk merubahnya.
Ketiga, orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melawan kedhaliman dan tirani.yang harus dilakukannya tidak lain dari bersabar dan berhati-hati. Sambil berusaha mempersiapkan segala sarana perbekalan, bekerja sama dengan yang seideologi, menggunaka setiap kesempatan yang ada untuk melawan kekuatan bathil dengan para penolong keadilan untuk meruntuhkan para penolong kedhaliman.
Nabi Muhammad telah bersabar selama tiga belas tahun di Mekkah dalam menghadapi berhala-berhala dengan para penyembahnya. Beliau shalat di Masjidil Haram dan tawaf mengeliingi ka’bah yang disekitarnya bertebaran tiga ratus enam puluh berhala. Bahkan pada tahun ketujuh Hijrah beliau bersama para shahabatnya tawaf daam suatu umrah. Beliau melihat berhala berhala-berhala tersebut tetapi sedikitpun tidak menyentuhnya, sampai datang pada waktu yang sesuai, yaitu pada hari kemenangan yang waktu itu beliaupun menghancurkannya.
Oleh karena itu para ulama kita menetapkan bahwa menghilangkan kemungkaran bila berakibat timbulnya kemungkaran yang lebih besar harus diurungkan sampai situasinya berubah. Berdasarkan ini wasiat untuk bersabar tersebut tidak boleh diartikan sebagai sikap menyerah terhadap kezaliman dan tirani. Akan tetapi menanti dan melakukan kontrol sampai datangnya keputusan Allah.
Keempat,sikap sabar tidak menghalangi untuk mengucapkan perkataan hak dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar di hadapan para tiran yang mengklaim sebagai tuhan . walaupun hal itu tidak diwajibkan kepada orang yang merasa khawatir terhadap keselamatan diri, keluarga dan lingkungannya, disebutkan dalam hadits:
Dan juga hadits lainnya:
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata melawan penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.”
اصْبِرُوا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Bersabarlah, sebab tidaklah kalian menjalalni suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian menjumpai rabb kalian. Aku mendengar hadit ini dari Nabi kalian" (HR. Al-Bukhari: 6541)
Sebagian orang menjadikan hadits ini sebagai alasan untuk tidak melakukan suatu perbuatan, tidak berusaha melakukan perbaikan dan menyelamatkan orang lain dengan alasan hadits tersebut bahwa masalah selamanya tidak akan pernah selesai, satu kondisi yang hancur akan disusul oleh kondisi lain yang lebih buruk. Demikianlah perpindahan dari satu zaman kezaman lainnya dari yang parah kezaman yang lebih parah lagi sampai datangnya hari kiamat. Kondisi kiamat ini akan dialami oleh manusia yang paling jahat dan manusia yang lainnya telah menemui tuhannya (meninggal sebelumnya).
Sebagian orang menahan diri untuk menerima hadits ini.sebagian yang lain lagi terburu-buru menolaknya karena menurut dugaan mereka karena hadits tersebut menyerukan:
- Sikap putus asa dari rahmat Allah
- Sikap negatif dalam menghadapi para tiran
- Menentang ideologi evolusi yang menjadi dasar sistem alam dan kehidupan yang silih berganti
- Menafikan realita sejarah kaum muslimin yang kadang kala maju dan di masa yang lain ada kemunduran
- Menentang hadits yang menerangkan akan munculnya seorang khalifah yang akan memenuhi bumi dengan keadilan yang dikenal dengan gelar Al-Mahdi. Begitu juga hadits yang menjelaskan tentang akan turunnya Nabi Isabin Maryam yang akanmendirikan Daulah Islam danmeninggikan kalimat Allah diseuruh permukaan Bumi.
Adalah seharusnya kita mengatakan bahwa para ulama terdahulu telah memberikan kemutlakan terhadap Hadits ini. Maksudnya kemutlakan dari pemahaman hadits tersebut. Bahwa setiap zaman lebih buruk dari dari zaman sebelumnya. Sedangkan sebagian zaman tidak lebih buruk dari zaman sebelumnya. Walaupun zaman seperti itu hanya terjadi pada zaman Umar bin Abdul Azis, yaitu tidak jauh dari zaman al-Hajjaj yang penuh dengan kekejaman dan kedhaliman. Zaman Umar bin Abdul Azis dipenuhi dengan kebaikan dan keadilan. Bahkan bila dikatakan bahwa keburukan hampir tidak ada pada zaman Beliau memimpin. Hal itu tidakah berlebihan,, apalagi lebih buruk dari zaman sebelumnya.
Baca juga: Konsekwensi Meriwayatkan Hadits Lemah
Tentang masalah ini mereka memberikan jawaban:
- Al-Imamal-Hasan al-bashri mengartikan hadits tersebut sebagai mayoritas. Ketika beliau ditanyatentang Umar bin Abdul Azis yang hidup setelah zaman al-hajjaj, beliau mengatakan: “orang-orang bagaimanapun juga harus memiliki ventilasi”.
- Diriwatkan dari Ibnu Mas’ud sebuah Hadits yang mengomentari hadits“tidaklah kalian menjalalni suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian menjumpai rabb kalian”. Saya tidak bermaksud seorang penguasa lebih baikdariyang lainnya, tidak pula masyarakat umum lebih baik dari yang lainnya, akan tetapi para ulama dan ahli fikih kalian pada meninggal dunia kemudian kalian tidak akan mendapatkan penggantinya dan tiba saatnya sekelompok orang yang yang memberi fatwadengan pendapat mereka”. Dalam redaksi lainnya: “mereka menumpulkan islam dan menghancurkannya”. Al-Hafidh dalam Al-Fath menganggap lebih kuat penafsiran Ibnu Mas’ud terhadap pengertian kebaikan dan keburukan di sini dan pendapat tersebut lebih utama untuk diikuti. Akan tetapi pada kenyataannya hal itu tidak terlepas dari keraguan dari dasarnya. Nash-nash menunjukkan bahwa pada masa yang akan datang islam mengalami kejayaan gilang gemilang. Walaupun hanya terjadipada zaman al-Mahdi dan al-Masih di akhir zaman. Dan hal itu sudah cukup. Dan sejarah jugamenetapkan bahwa telah terjadi di alam ini masa stagnasi dan jumud yang disusul dengan masa pergerakan dan pembaharuan. Cukuplah kiranya sebagai contoh kemunculan ulama dan pembaharu di abad kedelapan. Setelah jatuhnya khilafah islamiyah dan kemunduran situasi pada abad ketujuh, seperti Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim dan sumlah murid beliau lainnya di Syam, juga Asy-Syathibi di andalusia, Ibnu Khaldun di Maghribi dan ulama lainnya yang sejarah hidupnya ditulis oleh Ibnu Hajar dalam bukunya Ad-durar al-Kaminah Fii Ayyaanil Mi’ah Ats-Tsaminah. Pada masa berikutnya kita dapatkan ulama seperti Ibnu Hajar as-Sayuthi di Mesir, Ibnu Al-wazir di Yaman, ad-Dahlawi di India, asy-Syaukani dan ash-Shan’ani di Yaman, Ibnu Abdil Wahab di Nejed, dan tokoh ulama pembaharu dan Mujtahid lainnya. Inilah yang membuat al-Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya berpendapat bahwa hadits Anas tidakah berlaku secara umum. Berdasarkan hadits yang menerangkan bakal datangnya al-Mahdi dan bahwa ia memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi dengan tirani.
- Oleh karena itu saya anggap penafsiran al-Hafidh daam al-Fath terhadap hadits tersebut lebih kuat. Ia mengatakan: “Ada kemungkinan yang dimaksud dengan zaman tersebut adalah zamannya para shahabat. Dilihat dari kenyataan bahwa merekalah yang menjadi objek pembicaraan dengan hadits tersebut sehingga hadits itu khusus untuk mereka. Zaman setelah zaman mereka bukanlah yang dimaksud dengan hadits, akan tetapi Anas memahami secara generalisasi. Oleh karena itu ketika datang orang yang mengadukan kekejaman al-Hajjaj memberikan jawaban seperti itu dan memerintahkan untuk bersabar, danmereka – atau semuanya – adaah dari golongan Tabi’in. Ucapan Ibnu Mas’ud juga diartikan dengan penafsiran ini. Yaitu khusus dengan zaman para Shahabat dan tabi’in yang menjadi obek pembicaraan Hadits, dan beliau meninggal dunia padazaman Ustsman.
Baca juga: Studi Kritis Memahami Hadits Dha'if
Adapun dugaan orang yang mengatakan bahwa hadits tersebut berisikan seruan untuk bersikap diam dalam menghadapi kedhaliman dan sabar menghadapi para tiran, rela melihat kemungkaran dan kerusakan,memperkuat sikap negatif dalam menghadapi para penguasa tiran di muka bumi,maka bantahannya adalah sebagai berikut:
Pertama, orang yang mengatakan “bersabarlah kalian” adalah Anas sehingga bukan merupakan hadits marfu’, meainkan sebagai kesimpulan beliau sendiri. Setiap orang selain Nabi Muhammad, ucapannya bisa dijadikan pedoman dan bisa juga ditinggakan.
Kedua, Anas tidak memerintahkan untuk bersikap rela terhadap kedhaliman dan kerusakan,melainkan beliau memerintahkan untuk bersabar. Antara kedua sikap tersebut jelas ada perbedaan yang nyata. Rela dengan kekafiran adalah termasuk kafir, rela dengan kemungkaran adalah termasukperbuatan munkar. Adapun sikap sabar terhadap sesuatu hal sementara ia membencinya dan berusaha untuk merubahnya.
Ketiga, orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melawan kedhaliman dan tirani.yang harus dilakukannya tidak lain dari bersabar dan berhati-hati. Sambil berusaha mempersiapkan segala sarana perbekalan, bekerja sama dengan yang seideologi, menggunaka setiap kesempatan yang ada untuk melawan kekuatan bathil dengan para penolong keadilan untuk meruntuhkan para penolong kedhaliman.
Nabi Muhammad telah bersabar selama tiga belas tahun di Mekkah dalam menghadapi berhala-berhala dengan para penyembahnya. Beliau shalat di Masjidil Haram dan tawaf mengeliingi ka’bah yang disekitarnya bertebaran tiga ratus enam puluh berhala. Bahkan pada tahun ketujuh Hijrah beliau bersama para shahabatnya tawaf daam suatu umrah. Beliau melihat berhala berhala-berhala tersebut tetapi sedikitpun tidak menyentuhnya, sampai datang pada waktu yang sesuai, yaitu pada hari kemenangan yang waktu itu beliaupun menghancurkannya.
Oleh karena itu para ulama kita menetapkan bahwa menghilangkan kemungkaran bila berakibat timbulnya kemungkaran yang lebih besar harus diurungkan sampai situasinya berubah. Berdasarkan ini wasiat untuk bersabar tersebut tidak boleh diartikan sebagai sikap menyerah terhadap kezaliman dan tirani. Akan tetapi menanti dan melakukan kontrol sampai datangnya keputusan Allah.
Keempat,sikap sabar tidak menghalangi untuk mengucapkan perkataan hak dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar di hadapan para tiran yang mengklaim sebagai tuhan . walaupun hal itu tidak diwajibkan kepada orang yang merasa khawatir terhadap keselamatan diri, keluarga dan lingkungannya, disebutkan dalam hadits:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Sebaik-baik Jihad adalah mengatakan kebenaran (perkataan yang hak) di hadapan penguasa yang tiran.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dan juga hadits lainnya:
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata melawan penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.”