Syarat Diterimanya Hadits Da'if Sebagai Sandaran Amal
Bila kita berpegang dengan pendapat mayoritas para ulama tentang dibolehkannya meriwayatkan hadits lemah dalam hal memberi anjuran dan peringatan dengan tiga syarat sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafidh Ibnu Hajar yang dikutip oleh al-Hafidh As-suyuthi dalam bukunya Tadriibur Raawii:
- Disepakati bersama, yaitu tidak terlalu lemah,sehingga orang-orang pendusta dan dituduh dusta dan terlalu banyak melakukan kesalahan dianggap tidak memenuhi syarat ini.
- Hendaknya dibawah pokok yang umum, sehingga Hadits rekaan yang tidak ada as-usulnya dianggap tidak memenuhi syarat ini.
- Ketika mengimplementasikannya tidakmeyakini bahwa Hadits tersebut teah terbukti kebenarannya, agar tidak dihubungkan kepad Nabi Muhammad sementara Beliau tidak pernah mengatakannya. Yang harus diyakini adalah jaga-jaga kalau Hadits tersebut ternyata berasal dari beliau.
Yang pertama, adalah tidak mengandung hal-hal yang berlebihan dan luar biasa yang diterima akal, syara’ atau bahasa. Para pakar hadits itu sendiri telah menetapkan bahwa hadits palsu dapat diketahui lewat indikatornya baik dalam perawi ataupun yang diriwayatkannya. Di antara indikator dalam meriwayatkannya, bahkan keseluruhan indikator kepalsuannya, adalah bertentangan dengan akal pikiran. Dimana tidak dapat ditakwilkan, di samping perasaan dan kenyataan menolaknya. Atau bisa jadi bertentangan dengan dalil al-Qur’an yang pasti atau As-sunnah an-Nabawiyah ataupun ijma’ yang pasti, atau kontradiksi yang tidak mungkin digabungkan, atau merupakan sebuah hadits tentang hal yang besar dan motifasi untuk meriwayatkannya begitu lengkap untuk diriwayatkan oleh sejumlah orang kemudian mereka tidak meriwayatkannya kecuali seorang saja.
Di antaranya lagi adalah berlebih-lebihan dalam ancaman yang berat untuk hal yang kecil, atau janji yang besar untuk sebuah amalan yang tidak seberapa. Dan ini banyak terdapat dalam buku hadits tukang cerita. Yang sangat disayangkan adalah banyak pakar hadits tidak menerapkan kaidah-kaidah ini ketika mereka meriwayatkan hadits-hadits tentang anjuran, peringatan dan hal lainnya yang berkenaan dengan itu. Mungkin mereka mempunyai alasan yang sesuai dengan zamannya. Adapun mentalitas zaman kita tidaklah menerima hal yang berlebihan dan tidak rasional.
Di antara hadits yang ditolak secara bahasa adalah hadits yang diriwayatkan oleh tukang cerita, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abus Samah ketika menafsirkan kalimat al-qur’an yang mempunyai pengertian leksikal yang jelas dalam bahasa. Ia meriwayatkanpenafsiran yang sangat ganjil dan jauh dari pengertian bahasa. Di antaranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu al-Haitsum Abu Sa’id secara marfu’:
وَيْلٌ: وَادٍ فِي جَهَنَّمَ، يَهْوِي فِيهِ الْكَافِرُ أَرْبَعِينَ خَرِيفًا قَبْلَ أَنْ يَبْلُغَ قَعْرَهُ
“Wail adalah sebuah lembah di dalam neraka jahannam. Yang mana orang kafir akan masuk ke dalamnya sepanjang 40 tahun lamanya sebelum mereka sampai ke dalam keraknya” (HR. Ahmad, at-Turmuzi dan Ibnu Hibban)
Hanya saja ia mengatakan (Sab’iina Khariifan= tujuh puluh musim gugur), sedangkan perkataan (Wailun=celakalah) adalah perkataan yang berisikan ancaman kebinasaan yang dikenal sebelum Islam dan setelahnya.
Seperti itu juga kita dapatkan dalam hadits at-Thabrani dan Baihaqi dari Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan perkataan “Al-Ghayy” dalam firman Allah:
فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً ﴿٥٩
“maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (Q.S. Maryam:59) Beliau mengatakan: “Sebuah lembah di neraka jahannam”. Dalam riwayat lain dikatakan: “sebuah sungai di dalam neraka jahannam”. Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh a-Baihaqi dan lainnya dari Anas bin Malik dalammenafsirkan firman Allah:
وَجَعَلْنَا بَيْنَهُم مَّوْبِقاً
“. . . Dan kami adakan untuk mereka tempat kebinasaan” (Q.S. Al-Kahfi: 52) Beliau mengatakan artinya adalah sebuah lembah yang terdiri dari nanah dan darah. Dan yang lebih ganjil lagi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abiddunya dari Syafi bin Mani’ bahwa dineraka jahannam terdapat sebuah lembah yang disebut Atsaamaa di dalamnya terdapat bayak ular dan kala jengking, . . . .dan seterusnya, mengisyaratkan kepada firman Allah:
وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً
“Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapatkan pembalasan dosanya” (QS. A-Furqan: 68). Dan yang sangat disayangkan, Al-Imam al-Munziri menyebutkan hadits ini dalam bukunya At-Targhib wat Tarhib.
Yang kedua, tidak bertentangan dengan dalil syar’i yang lebih kuat dari padanya. Sebagai contoh adalah hadits lemah yang diriwayatkan tentang keadaan Abdurrahman bin ‘Auf bahwa beliau masuk surga dengan merangkak karena kekayaannya.
Ada yang mengatakan hadits seperti ini berada dibawah pokok peringatan dari malapetaka harta dan kekayaan yang berlebihan. Akan tetapi yang harus diingat bahwa hal itu bertentangan dengan hadits shahih yang menjelaskan bahwa Abdurrahman bin ‘Auf adalah termasuk di antara sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah. Di samping kenyataan lainnya dan banyak riwayat yang menetapkan bahwa ia termasuk umat Islam pilihan, tokoh orang yang bertaqwa, dan sebagai orang yang mewakili orang kaya yang pandai bersyukur. Oleh karena itu ketika Rasululah hendak meninggal dunia beliau merasa senang kepadanya. Umar bin Khattab menjadikan Abdurrahman bin ‘Auf sebagai salah seorang anggota lembaga permusyawaratan dan lebih memperhatikan pandangan beliau ketika semua anggota yang lain memiliki pandangan yang sama.
Oleh karena itu al_hafidh Al-Munziri menolak riwayat yang tidak semestinya itu dan hadits yang bersumber dari kelompok shahabat tentang tentang keadaan Abdurrahman bin ‘Auf bahwa beliau masuk surga dengan merangkak karena kekayaannya. Ia mengatakan bahwa hadits tersebut tidak mencapai tingkatan hasan. Harta Abdurrahman bin ‘Auf ini ole Rasulullah dikatakan sebagai:
نعم المال الصالح للرجل الصالح
“Sebaik-baik harta adalah yang dimiliki oleh orang yang shaleh”.
Maka bagaimana mungkin derajatnya di akhirat berkurang atau lebih rendah dari orang muslim yang kaya lainnya.?