Tidak Ada Zakat Pada Sayur-Mayur, Benarkah..??
Untuk memahami sunnah dengan benar, jauh dari penyimpangan dan kesalahan dalam menta’wilkan harus dilakukan di bawah naungan Al-Qur’an, dalam lingkup orientasi rabbani yang benar dan adil. Sebagaimana dalam firman Allah surat al-An’am ayat ke 115:
Artinya: Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur'an, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Al-qur’an adalah ruh eksistensi Islam, fondasi bangunannya, dan ia merupakan konstitusiasli yang menjadi rujukan semua perundang-undangan dalam Islam. As-Sunnah an-Nabawiyah adalah yang menjelaskan dan memperinci konstitusi tersebut. Ia berfungsi sebagai penjelasan teoritis dan implementasi praktis terhadap al-Qur’an. Tugas Rasulullah adalah menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.
Dan tidaklah penelasan akan bertentangan dengan yang dijelaskan. Tidak pula cabang bertentangan dengan pokok. Maka penjelasan Nabi Muhammad selamanya berkisar dalamcakrawala Al-Qur’an dan tidak pernah melampauinya. Oleh karena itu tidakada satupun sunnah yang shahih bertentangan dengan ayat-ayat muhkam Al-qur’an dan penjelasan-penjelasannya yang nyata.
Bila sebagian orang mengira adanya kemungkinan tersebut,maka dapat dipastikan As-Sunnahnya tidakshahih atau pemahaman kita terhadap hadits tersebut tidak benar. Ataupun kontradiksinya sekedar dugaan belaka dan bukannya realita. Ini artinya, as-Sunnah harus dipahami di bawah naungan al-Qur’an. Oleh karena itu hadits gharaniq (burung bangau) yang disuga mardud (tertolak) secara pasti,karena bertentangan dengan Al-Qur’an, dan tidak dapat dibayangkan hadits tersebut dikatakan dalamkonteks di mana al-Qur’an mengancam tuhan-tuhan palsu. Sebagaimana yang Allah jelaskan dalam surat An-Najm ayat yang ke 19 sampai dengan ayat ke 23.
Baca juga: Syarat diterima Hadits Dha'if
Bagaimana mungkin ke dalam konteks ayat yang mengingkari dan mengancam berhala-berhala ini masuk perkataan yang memujinya dengan mengatakan: “Mereka adalah burung-burung bangau yang tinggi, dan sesungguhnya syafa’atnya diharapkan”. Sebagai contoh yang lain adalah firman Allah dalam surat al-An’am ayat yang ke 141. Ayat yang mulia ini ditunkan dikota Mekkah memiliki kandungan yangglobal dan terperinci, tidaklah membiarkan sesuatupun yang ditumbuhkan bumi melainkan memberikan kepanya haknya itu. Hak yang diperintahkan untuk diberikan yang terkandung secara global dalam ayat ini adalah yang diperinci oleh al-Qur’an dan sunnah setelah itu di bawah judul zakat.
Walaupun demikian kita dapatkan sebagian pakar fikih yang membatasi zakat dengan apa yang dikeluarkan Allah dari bumi dalam empat golongan saya yang berupa biji-bijian dan buah buahan, atau bahan makanan pokok dalam kondisi hanya satu pilihan atau yang dapat dikeringkan , ditakar dan disimpan. Mereka tidak memasukkan buah-buahan, sayur mayur, perkebunan kopi dan teh, perkebunan apel dan mangga,kapas dan tebu, dan hasil bumi lainnya kedalam hasil bumi yang wajib dizakati. Padahal para pemiliknya dapat memperoleh penghasilan jutaan bahkan miliaran rupiah. Sehingga dari kondisi seperti ini ada sebagian orang yang menuduh bahwa fiqh islam atau syari’ah Islam membebankan zakat hanya kepada para petanikecil dan ada kemungkinan tanah yang mereka yang mereka garap adalah tanah sewaan bukannya tanah milik mereka sendiri. Sementara para pemilik kebun kelapa, teh,karet, sawit, dan hasil bumi lainnya bebas dari kewajiban membayar zakat.
Baca juga: Bahaya Hadits Palsu
Dari sini kita salut terhadap al-Imam Abu Bakar bin al-‘arabi tokoh mazhab Maliki pada zamannya yang telah menjelaskan ayat di atas dari surat al-An’am ayat yang ke 141 dalam bukunya Ahkaamul Qur’an, beliau menjelaskan ketiga mazhab para ahli fikih, Malik, Syafi’i dan Ahmad, tentang hasil bumi yang wajib dikeluaran zakatnya dan yang tidak wajib zakat. Akan tetapi beliau dengan sikap adil dan ilmunya yang dalam menganggap lemah semuanya. Kemudian beliau berkata: “Abu Hanifah menjadikan ayat tersebut sebagai cerminnya sehingga ia melihat kebenaran, antaran itu ia mewajibkan zakat terhadap semua bahan makanan baik yang pokok ataupu yang lainnya”. Dan Nabi Muhammad menjelaskan hal ini dalam keumuman sabdanya:
Pendapat Ahmad bahwa hasil bumi yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang dapat ditakar, berdasarkan sabda Rasulullah:
Baca juga: Fatwa Ibnu Hajar Tentang Hadits Dha'if
Maka bagaiman Allah menyebutkan nikmatnya dalam makanan pokok dan buah-buahan dan mewajibkan hak di dalamnya semuanya terhadap bermacam-macam kondisinya seperti anggur, kurma. Kemudian bermacam-macam jenisnya seperti tumbu-tumbuhan, yang selain dari makanan pokok juga berupa hiasan yang melengkapi kenikamatan dan kesenangan dengan nyamannya pandangan mata.
Kemudian Ibnu al-‘Arabi berkata: “ Bila ada yang mengatakan, kenapa tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Muhammad bahwa beliau mengambil zakat dari sayur-mayur Madinah dan juga tidak dari Khaibar? Maka Yusuf Al-Qaradhawi menjelaskan: “demikianlah para ulama kita bergantung”. Dan sebenarnya adalah hal itu karena tidak ada dalil . dan bila ada yang mengatakan: “Bila Beliau mengambil zakatnya hal itu pasti diriwayatkan”. Maka jawabannya adalah “perlu apa untuk diriwayatkan sementara A-Qur’an dapat memenuhi kenbutuhan”. Dan juga ada hadits dari Rasulullah adalah:
Mereka menjelaskan bahwa sanad hadits tersebut adalah lemah sehingga tidak dapat dijadikan landasan Hukum. Selain dispesifikasikan keumuman Al-Qur’an dan hadits-hadits yang populer lainnya.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam at-Turmuzi kemudian ia berkata: “Isnad Hadits ini tidaklah benar, maka dalam masalah ini tidak benar bila dikatakan sebagai sabda Nabi Muhammad”. Adalah hak seorang muslim untukmenahan diri terhadap setiap hadits yang tampak kontrsdiksi dengan ayat-ayat muhkam al-Qur’an bila tidak ada ta’wil yang dapat diandalkan.
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقاً وَعَدْلاً لاَّ مُبَدِّلِ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya: Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur'an, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Al-qur’an adalah ruh eksistensi Islam, fondasi bangunannya, dan ia merupakan konstitusiasli yang menjadi rujukan semua perundang-undangan dalam Islam. As-Sunnah an-Nabawiyah adalah yang menjelaskan dan memperinci konstitusi tersebut. Ia berfungsi sebagai penjelasan teoritis dan implementasi praktis terhadap al-Qur’an. Tugas Rasulullah adalah menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.
Dan tidaklah penelasan akan bertentangan dengan yang dijelaskan. Tidak pula cabang bertentangan dengan pokok. Maka penjelasan Nabi Muhammad selamanya berkisar dalamcakrawala Al-Qur’an dan tidak pernah melampauinya. Oleh karena itu tidakada satupun sunnah yang shahih bertentangan dengan ayat-ayat muhkam Al-qur’an dan penjelasan-penjelasannya yang nyata.
Bila sebagian orang mengira adanya kemungkinan tersebut,maka dapat dipastikan As-Sunnahnya tidakshahih atau pemahaman kita terhadap hadits tersebut tidak benar. Ataupun kontradiksinya sekedar dugaan belaka dan bukannya realita. Ini artinya, as-Sunnah harus dipahami di bawah naungan al-Qur’an. Oleh karena itu hadits gharaniq (burung bangau) yang disuga mardud (tertolak) secara pasti,karena bertentangan dengan Al-Qur’an, dan tidak dapat dibayangkan hadits tersebut dikatakan dalamkonteks di mana al-Qur’an mengancam tuhan-tuhan palsu. Sebagaimana yang Allah jelaskan dalam surat An-Najm ayat yang ke 19 sampai dengan ayat ke 23.
Baca juga: Syarat diterima Hadits Dha'if
Bagaimana mungkin ke dalam konteks ayat yang mengingkari dan mengancam berhala-berhala ini masuk perkataan yang memujinya dengan mengatakan: “Mereka adalah burung-burung bangau yang tinggi, dan sesungguhnya syafa’atnya diharapkan”. Sebagai contoh yang lain adalah firman Allah dalam surat al-An’am ayat yang ke 141. Ayat yang mulia ini ditunkan dikota Mekkah memiliki kandungan yangglobal dan terperinci, tidaklah membiarkan sesuatupun yang ditumbuhkan bumi melainkan memberikan kepanya haknya itu. Hak yang diperintahkan untuk diberikan yang terkandung secara global dalam ayat ini adalah yang diperinci oleh al-Qur’an dan sunnah setelah itu di bawah judul zakat.
Walaupun demikian kita dapatkan sebagian pakar fikih yang membatasi zakat dengan apa yang dikeluarkan Allah dari bumi dalam empat golongan saya yang berupa biji-bijian dan buah buahan, atau bahan makanan pokok dalam kondisi hanya satu pilihan atau yang dapat dikeringkan , ditakar dan disimpan. Mereka tidak memasukkan buah-buahan, sayur mayur, perkebunan kopi dan teh, perkebunan apel dan mangga,kapas dan tebu, dan hasil bumi lainnya kedalam hasil bumi yang wajib dizakati. Padahal para pemiliknya dapat memperoleh penghasilan jutaan bahkan miliaran rupiah. Sehingga dari kondisi seperti ini ada sebagian orang yang menuduh bahwa fiqh islam atau syari’ah Islam membebankan zakat hanya kepada para petanikecil dan ada kemungkinan tanah yang mereka yang mereka garap adalah tanah sewaan bukannya tanah milik mereka sendiri. Sementara para pemilik kebun kelapa, teh,karet, sawit, dan hasil bumi lainnya bebas dari kewajiban membayar zakat.
Baca juga: Bahaya Hadits Palsu
Dari sini kita salut terhadap al-Imam Abu Bakar bin al-‘arabi tokoh mazhab Maliki pada zamannya yang telah menjelaskan ayat di atas dari surat al-An’am ayat yang ke 141 dalam bukunya Ahkaamul Qur’an, beliau menjelaskan ketiga mazhab para ahli fikih, Malik, Syafi’i dan Ahmad, tentang hasil bumi yang wajib dikeluaran zakatnya dan yang tidak wajib zakat. Akan tetapi beliau dengan sikap adil dan ilmunya yang dalam menganggap lemah semuanya. Kemudian beliau berkata: “Abu Hanifah menjadikan ayat tersebut sebagai cerminnya sehingga ia melihat kebenaran, antaran itu ia mewajibkan zakat terhadap semua bahan makanan baik yang pokok ataupu yang lainnya”. Dan Nabi Muhammad menjelaskan hal ini dalam keumuman sabdanya:
وفي ماسقت السماء العشر
“dan dalam tumbuhan yang disiram air hujan dikeluarkan zakatnya sepersepuluhnya”. Pendapat Ahmad bahwa hasil bumi yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang dapat ditakar, berdasarkan sabda Rasulullah:
ليس فيما دون خمسة أوسق
“Tidaklah diwajibkan zakat hasil bumi yang kurang dari lima wasaq”. Adalah hadits lemah. Karena konsekwensinya pengertian hadits tersebut adalah bahwa nisabnya harus berlaku dalam buah-bauahan dan biji-bijian. Gugurnya hak dari yang lainnya tidaklah berada dalamkekuatan pembicaraan. Dan yang berkaitan dengan makanan pokok (yaitu pendapat mazhab Syafi’i) adalah dakwaan yang tidak ada sumbernya. Pengertian semata-mata diarahkan kepada hukum-hukumnya dengan pokok-pokoknya sebagaiman yang dijelaskan oleh yusuf A-Qaradhawi dalam buku Qiyas. Baca juga: Fatwa Ibnu Hajar Tentang Hadits Dha'if
Maka bagaiman Allah menyebutkan nikmatnya dalam makanan pokok dan buah-buahan dan mewajibkan hak di dalamnya semuanya terhadap bermacam-macam kondisinya seperti anggur, kurma. Kemudian bermacam-macam jenisnya seperti tumbu-tumbuhan, yang selain dari makanan pokok juga berupa hiasan yang melengkapi kenikamatan dan kesenangan dengan nyamannya pandangan mata.
Kemudian Ibnu al-‘Arabi berkata: “ Bila ada yang mengatakan, kenapa tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Muhammad bahwa beliau mengambil zakat dari sayur-mayur Madinah dan juga tidak dari Khaibar? Maka Yusuf Al-Qaradhawi menjelaskan: “demikianlah para ulama kita bergantung”. Dan sebenarnya adalah hal itu karena tidak ada dalil . dan bila ada yang mengatakan: “Bila Beliau mengambil zakatnya hal itu pasti diriwayatkan”. Maka jawabannya adalah “perlu apa untuk diriwayatkan sementara A-Qur’an dapat memenuhi kenbutuhan”. Dan juga ada hadits dari Rasulullah adalah:
ليس في الخضروات صدقة
“Tidak ada pada sayur-mayur itu sedekah”. Mereka menjelaskan bahwa sanad hadits tersebut adalah lemah sehingga tidak dapat dijadikan landasan Hukum. Selain dispesifikasikan keumuman Al-Qur’an dan hadits-hadits yang populer lainnya.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam at-Turmuzi kemudian ia berkata: “Isnad Hadits ini tidaklah benar, maka dalam masalah ini tidak benar bila dikatakan sebagai sabda Nabi Muhammad”. Adalah hak seorang muslim untukmenahan diri terhadap setiap hadits yang tampak kontrsdiksi dengan ayat-ayat muhkam al-Qur’an bila tidak ada ta’wil yang dapat diandalkan.