Urgensi Hadits Dalam Penetapan Hukum Islam
Pada umumnya orang yang sibuk menggeluti ilmu fikih tidak banyak tahu tentang ilmu hadits, pengertaan mereka tentang macam-macamilmu sangat terbatas, apalagi ilmu jarh wa ta’dil dan turunannya , seperti menganggap kuat atau lemahnya para perawi. Olehkarena itu bagi mereka , hadits yang tidak terbukti benar menurut para pakar dari bendaharawan hadits dikeluarkan sebagai dalil. Walaupun demikian mereka mencantumkannya dalam buku mereka dan menjadikannya sebagai argumentasi ketika mereka menetapkan hukum masalah halal dan haram, wajib dan sunnah. Bahkan mereka berargumentasi dengan hadits yang tidak ada ujung pangkalnya yang tercantum dalam berbagai buku.
Pada umumnya, orang yang sibuk menggeluti hadits, pengetahuan mereka terbatas dalam masalah fiqh dan Ushulnya. Kemampuan mereka juga sangat terbatas untuk mengeluarkan perbendaharaan dan hal-hal detilnya, untuk menyimak pendapat para Imamnya, hal-hal yang diperselisihkan dan sumber-sumber dan sebab perselisihan dan macam-macam ijtihad mereka.
Padahal masing-masing dari kedua kelompok tersebut saling membutuhkan pengetahuan lainnya, untuk melengkapi pengetahuan yang telah mereka miliki masing-masing. Seorang ahli fikih harus berpedoman kepada Hadits, karena semua hukum fiqh dibuktikan kebenarannya oleh As-Sunnah. Ahli Hadits juga tidak dapat menghindari diri dari fikih, sehingga mereka harus mengetahui isi kandungan fiqh dan tidak sekedar menjadi pengutip atau memahaminya bukan dengan semestinya.
Masalah ini telah menjadi pusat perhatian ulama kita terdahulu dan mereka mengecamorang yang menyepelekannya. Sehingga diriwayatkan dari sebagian tokoh seperti Sufyan bin Uyainah bahwa mereka berkata: “ Jika kami punya wewenang , niscaya kami dera setiap ahli Hadits yang tidak mempelajari fiqh dan setiap ahli fikih yang tidak mempelajari Hadits.
Baca juga: Kewajiban Ahli Fikih Berpedoman Pada Sunnah
Anehnya, banyak dari buku fikih yang mengutip Hadits yang lemah, padahal sudah menjadi kesepakatan bahwa Hadits lemah itu tidak dapat dijadikan sandaran dalam menentukan hukum. Sementara mayoritas ulama menerima hadits lemah dalammenjelaskan keutamaan , anjuran dan himbauan. Bahkan dalam buku fiqh juga terdapat hadits yang sangat lemah,hadits palsu dan hadits yang sama sekali tidak ada sumbernya. Inilah yang mendorong sebagian ahi hadits untukmenulis buku tentang penelusuran hadits yang dijadikan dalil oleh para ahli fiqh. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Jauzi daam bukunya At-Tahqiq fii takhrijit Ta’aliq dan Ibnu Abdi Hadi merevisinya dalam bukunya Tanqihut Tahqiiq.
Para penghafal hadits juga menulis buku serupa yang cukup populer dan banyak tersebar dipasaran. Seperti buku Nashbur Raayah li Ahaditsil Hidayah karangan Al-Hafiz Jamaluddin Az-zaila’i (wafat tahun762 H). Banyak karya lainnya dalam bidang ini.
Sebagian ahli fiqh ada yang berargumentasi dengan Hadits-Hadits yang kemudian terbukti kelemahannya. Dalam hal ini mereka dimaafkan. Akan tetapi mereka yang telah mengetahui kelemahannya.mereka tidak lagi dapat ditolerir bila masih terus mengambil hadits yang lemah tersebut sebagai dalil. Mereka harus segera mencabut hukum yang ditentukan berdasarkan hadits tersebut. Selama tidak ada dalil lain yang berasal dari Nash syari’at, kaedah umum dan tujuan yang bersifat global.
Barangsiapa yang membaca buku Takhriijul Hadits (penelusuran Hadits) yang menelusuri hadits-hadits daam buku fiqh yang populer dikalangan mazhab yang mendapatkan pengikut, hal itu akan tampak jelas baginya sebagaimana juga terdapat dalamkitab lainnya.
Sebagai contoh misalnya terdapat dalam buku Fiqh zakat (Yusuf Qaradhawi) beliau menuliskan sejumlah hadits yang dijadikan dalil dalam mazhab yang memiliki pengikut yang banyak, yaitu hadits yang mengandung cacat menurut pakar Hadits, seperti:
ليس في الخضروات صدقة
“ Tidak adasedekah dalamsayur-sayran”.
لازكاة في مال حتى يحول عليه الحول
لايجتمع عشر وخراج
ليس في المال حق سوى الزكاة
Hadits yang terakhir sangat populer dikalangan ahli fikih dan disebutkan oleh sebagian tokohnya yang terkemuka seperti al-Mawardi dalam buku beliau Al-Ahkam As-sulthaniyah, Asy-Syirazi dalam buku Al-Muhazzab dan Ibnu Qudamah dalam uku beliau Al-Mu`ghni
Adapun tentang hadits tersebut, An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan, Hadits yang sangat llemah dan tidak dikenal”. Sebeumnya al-Baihaqi dalam Sunannya bahwa shahabat kami meriwayatkan dalam At-Ta’aaliq, dan saya tidak hafal satu isnadpun di dalamnya.
Asal hadits tersebut menurut Imam At-Turmuzi, ibnu Majah dan ath-Thabari dalam tafsirnya adalah: “Dalam Harta terdapat hak selain zakat”. Kemudian terjadi kesalahan dalam sebagian naskah lama Ibnu Majah, dan dalampermulaan hadits ditambah perkataan “Laisa”. Kesalahan tersebut tersebar dan turun temurun. Sebagaimana yang disinggung oleh Al-Hafidh Abu zar’ah bin Al-Hafidh zainuddin Al-‘Iraqi dalam Tharhut Tatsriibi fii Syarhit Targhib, jilid 4 halaman 14, dan Ahmad Syakir dalam menelusuri Hadits-Hadits Tafsir Ath-Thabari Al-Atsar: 2527 dan beliau mengemukakan beberapa dalil yang memuaskan.
Hadits seperti itu banyak terdapat dalam buku fikih yang menurut para penghafal hadits tidak dikenal sanadnya sebagaimana yang dikatakan oleh al_hafidh az-zaila’i dalam bukunya Nashbur raayah sebagai hadits yang gharib (asing). Ini berarti bahwa hadits tersebut tidak didapatkana sanad olehnya. Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam bukunya Ad-Diraayah mengungkapkannya dengan kalimat “ Saya tidak mendapatkannya, atau saya tidak melihatnya marfu’ “, dan perkataan lainnya yang senada dengan itu. Dalam kitab tersebut juga banyak dikemukakan hadits yang terkadang kedudukannya shahih, lemah dan terkadang ada hadits yang tidak dikenal atau belum pernah dijumpai oleh parapenghafal Hadits.
Dalam persoalan tersebut di atas tidak terbatas pada buku-buku Ahlu Ra’yi sebagaimana yang mereka namakan, akan tetapi mencakup buku-buku seluruh mazhab fiqh. Buku tersebut terkadang memuat Hadits lemah dan hadits yang tidak berujung pangkal. Walaupun persentasenya berbeda-beda antara satu mazhab dengan mazhab lainnya.
Orang yang menyimak Talkhiisul Habiir karangan Al-Hafidh Ibnu Hajar yang mengeluarkan Hadits-Hadits Syarh Ar-Rafi’i terhadap Al-Wajiz karangan al-ghazali dan keduanya termasuk tokoh dalam mazhab Syafi’i akan mendapatkan bukti dari apa yang disebutkan di atas. Di dalamnya terdapat banyak Hadits lemah yang dijadikan argumentasi walaupunmereka adalah pengikut mazhab Syafi’i. akan tetapi kebenaranlah yang layak untuk kita ikuti.
Tentang hal itu al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Al-husain Al-Baihaqi (wafat tahun 458 H) telah menulis kritikan kepada al-Imam Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Juwaini ayahnya Imam Haramain (wafat tahun 438 H) tentang hadits hadits palsu yang terdapat dalam bukunya A-Muhith, di antaranya adalah hadits tentang larangan mandi dengan air hangat yang terkena sinar matahari, yaitu hadits yang tidak Shahih.
Dari sikap Al-Baihaqi yang mengingkari rekan-rekannya dari mazhab Syafi’i yang tidak memperhatikan perbedaan antara hadits shahih yang dijadikan argumentasi dan hadits yang tidak shahih atau lemah yang diriwayatkan dari orang yang tidak dikenal.
Yang lebih mengherankan lagi adalah di dalam buku-buku Ushul Fiqh itusendiri tidak terlepas dari hadits-hadits lemah dan palsu yang tidak ada ujung pangkalnya seperti hadits berikut ini:
أصحابي كالنجوم بأيهم إقتديتم إهتديتم
مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
إختلاف أمتي رحمة
Dan banyak hadits-hadits lainnya yang terdapat dalam buku-buku Ushul Fiqh yang populer dikalangan para pelajar.