Hikmah Bersabar Dalam Belajar Dengan Guru
Imam Ibnu Jarir Al-Thabari meriwayatkan sebuah hadits dalam tafsirnya:
Pada hadis di atas, Rasulullah SAW menyayangkan mengapa Nabi Musa cepat-cepat menyerah ketika ingin belajar kepada Khadir. Mengapa?
Sebagaimana yang kita tau melalui kisah yang diabadikan dalam Surat Al-Kahfi. Ketika Nabi Musa meminta agar Khadir mau menerimanya sebagai murid, sang waliyullah yang memiliki kedalaman ilmu hakikat tersebut membuat satu persyaratan kepada sang Nabi yang memiliki syariat itu, “Jika kamu ingin mengikutiku, syaratnya: jangan sekali-kali kamu menanyakan atau protes melihat apapun yang aku lakukan, sampai aku menerangkan mengapa aku melakukannya.”
Sang Nabipun setuju, berjalan dan ber-“Suhbah” mengikuti kemanapun arah Khadir melangkah. Ternyata dalam perjalanan, Khadir melakukan hal-hal janggal yang membuat Nabi Musa lupa akan kesepakatan awal, greget dan tidak tahan untuk tidak menyalahkan tindakannya dan menanyakannya mengapa.
Setelah melakukan pelanggaran pertama melihat tindakan Khadir yang pada zahirnya gila, membolongi lantai kapal tengah berlayar di laut yang mereka tumpangi. Nabi Musa diingatkan, “Bukankah sudah kubilang kau tidak akan mampu bersabar bersamaku?”. Iapun meminta untuk diberi maaf karena masih ingin ber-“Suhbah” dengan Khadir,
Khadir pun memaafkan.
Nabi Musa kembali lupa untuk kedua kalinya dan reflek memprotes ketika melihat Khadir melakukan perbuatan yang pada zahirnya kriminal yaitu pembunuhan. “Bukankah aku sudah mengatakan kamu tidak akan mampu sabar bersamaku?”
Barulah muncul dari beliau statemen yang disayangkan oleh Nabi kita dalam hadis di atas, “Kalau aku menanyakan lagi setelah ini, maka silahkan aku diijinkan untuk berhenti ber-“Suhbah” denganmu.” Kata Nabi Musa meminta kesempatan terakhir.
Mungkin di satu sisi, ini adalah adab dari Nabi Musa, karena tidak ingin membuat pelanggaran (yang secara syariat bukanlah kesalahan) yang akan membuat gurunya marah. Namun, persefektif Rasulullah ternyata lain, beliau berharap seandainya Nabi Musa jangan dulu minta kesempatan terakhir. Beliau bersaba:
Bahkan beliau mengapresiasi kelupaan Nabi Musa setiap melihat kejanggalan dan berharap dalam alur cerita tersebut, Nabi Musa akan selalu lupa.
Dari cerita di atas, ada pelajaran penting yang dapat diambil dalam proses pendidikan adalah sebagai berikut:
Inilah satu hal paling berharga yang dapat saya ambil. Dulu setiap ingin mulazamah kepada seorang Syekh, di tengah-tengah belajar, sebagai anak muda, banyak kebodohan, kesalahan dan dosa yang saya perbuat sehingga membuat malu dan berkata kepada diri sendiri “Saya begitu bodoh dan kotor untuk layak menjadi murid seorang Syekh yang alim dan mulia.” Perasaan yang kerap menghantui dan mematahkan semangat untuk bermulazamah.
Dahulu sahabat Rasulullah ada yang melakukan dosa yang besar dan keji karena tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya. Namun, sekejap setelah melakukan perbuatan itu, sahabat tersebut langsung menyesal dan mendatangi Rasulullah, menangis sedu sedan, “Ya Rasulullah, celakalah aku, aku telah terbakar.” Di saat itulah Rasul SAW sebagai murabbi bagi para sahabat, memberikannya nasehat dan menyelamatkannya dari kecelakaan.”
“Begitupun seorang murid kepada gurunya,” Dawuh beliau,
“Ketika dia melakukan kesalahan, bukan berarti dia harus lari dan menghilang dari gurunya. Justru semakin ia melakukan kesalahan, semakin butuh dia untuk mendatangi gurunya agar diselamatkan dari jalan yang salah. Setiap kali dia merasa jauh dari Tuhan, saat itulah dia mendekat kepada murabbinya. Kepada murabbinya dia mencurahkan segala keluh kesahnya, meminta untuk dibimbing kembali ke jalan yang benar dan dibimbing untuk kembali dekat dengan Tuhannya.”
عن أبي بن كعب قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا ذكر أحدا فدعا له، بدأ بنفسه، فقال ذات يوم: (رحمة الله علينا وعلى موسى، لو لبث مع صاحبه لأبصر العجب ولكنه قال إن سألتك عن شيء بعدها فلا تصاحبني قد بلغت من لدني عذرا)
Pada hadis di atas, Rasulullah SAW menyayangkan mengapa Nabi Musa cepat-cepat menyerah ketika ingin belajar kepada Khadir. Mengapa?
Sebagaimana yang kita tau melalui kisah yang diabadikan dalam Surat Al-Kahfi. Ketika Nabi Musa meminta agar Khadir mau menerimanya sebagai murid, sang waliyullah yang memiliki kedalaman ilmu hakikat tersebut membuat satu persyaratan kepada sang Nabi yang memiliki syariat itu, “Jika kamu ingin mengikutiku, syaratnya: jangan sekali-kali kamu menanyakan atau protes melihat apapun yang aku lakukan, sampai aku menerangkan mengapa aku melakukannya.”
Sang Nabipun setuju, berjalan dan ber-“Suhbah” mengikuti kemanapun arah Khadir melangkah. Ternyata dalam perjalanan, Khadir melakukan hal-hal janggal yang membuat Nabi Musa lupa akan kesepakatan awal, greget dan tidak tahan untuk tidak menyalahkan tindakannya dan menanyakannya mengapa.
Setelah melakukan pelanggaran pertama melihat tindakan Khadir yang pada zahirnya gila, membolongi lantai kapal tengah berlayar di laut yang mereka tumpangi. Nabi Musa diingatkan, “Bukankah sudah kubilang kau tidak akan mampu bersabar bersamaku?”. Iapun meminta untuk diberi maaf karena masih ingin ber-“Suhbah” dengan Khadir,
لا تؤاخذني بما نسيت
“Janganlah kau hukum aku (memberhentikan aku menjadi muridmu) karena sebab kelupaanku.”
Khadir pun memaafkan.
Nabi Musa kembali lupa untuk kedua kalinya dan reflek memprotes ketika melihat Khadir melakukan perbuatan yang pada zahirnya kriminal yaitu pembunuhan. “Bukankah aku sudah mengatakan kamu tidak akan mampu sabar bersamaku?”
Barulah muncul dari beliau statemen yang disayangkan oleh Nabi kita dalam hadis di atas, “Kalau aku menanyakan lagi setelah ini, maka silahkan aku diijinkan untuk berhenti ber-“Suhbah” denganmu.” Kata Nabi Musa meminta kesempatan terakhir.
Mungkin di satu sisi, ini adalah adab dari Nabi Musa, karena tidak ingin membuat pelanggaran (yang secara syariat bukanlah kesalahan) yang akan membuat gurunya marah. Namun, persefektif Rasulullah ternyata lain, beliau berharap seandainya Nabi Musa jangan dulu minta kesempatan terakhir. Beliau bersaba:
وددنا أن موسى كان صبر حتى يقص الله علينا من خبرهما
“Seandainya Musa bersabar, agar Allah menceritakan kepada kita kisah mereka lebih Panjang.”
Bahkan beliau mengapresiasi kelupaan Nabi Musa setiap melihat kejanggalan dan berharap dalam alur cerita tersebut, Nabi Musa akan selalu lupa.
كانت الأولى من موسى نسيانا
Dari cerita di atas, ada pelajaran penting yang dapat diambil dalam proses pendidikan adalah sebagai berikut:
- Har terpenting dalam tarbiyah, bukan semata belajar-mengajar dalam kelas, atau mendapatkan ijazah. Melainkan “Suhbah”. Yaitu mengikuti, membarengi dan berkhidmah kepada seorang guru yang telah mampu menggabungkan antara Syariat dan Hakikat. Dan itulah yang diminta oleh Nabi Musa kepada Khadir agar diizinkan untuk ber-“Shuhbah” dengannya.
- Tidak ada kata “kesempatan terakhir” dalam kamus ber-“Shuhbah”. Nabi kita Shallallahu’alaihi wa sallam menyayangkan ketika Nabi Musa meminta kesempatan terakhir, karena bisa jadi berapapun kalinya beliau melakukan pelanggaran, Khadir akan memaafkan dan tetap akan mau berjalan bersama beliau. Bahkan semakin banyak, maka akan semakin banyak keajaiban yang dapat kita petik dari kisahnya.
Baca juga: Etika Berkomunikasi Dalam Islam
Inilah satu hal paling berharga yang dapat saya ambil. Dulu setiap ingin mulazamah kepada seorang Syekh, di tengah-tengah belajar, sebagai anak muda, banyak kebodohan, kesalahan dan dosa yang saya perbuat sehingga membuat malu dan berkata kepada diri sendiri “Saya begitu bodoh dan kotor untuk layak menjadi murid seorang Syekh yang alim dan mulia.” Perasaan yang kerap menghantui dan mematahkan semangat untuk bermulazamah.
Dahulu sahabat Rasulullah ada yang melakukan dosa yang besar dan keji karena tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya. Namun, sekejap setelah melakukan perbuatan itu, sahabat tersebut langsung menyesal dan mendatangi Rasulullah, menangis sedu sedan, “Ya Rasulullah, celakalah aku, aku telah terbakar.” Di saat itulah Rasul SAW sebagai murabbi bagi para sahabat, memberikannya nasehat dan menyelamatkannya dari kecelakaan.”
“Begitupun seorang murid kepada gurunya,” Dawuh beliau,
“Ketika dia melakukan kesalahan, bukan berarti dia harus lari dan menghilang dari gurunya. Justru semakin ia melakukan kesalahan, semakin butuh dia untuk mendatangi gurunya agar diselamatkan dari jalan yang salah. Setiap kali dia merasa jauh dari Tuhan, saat itulah dia mendekat kepada murabbinya. Kepada murabbinya dia mencurahkan segala keluh kesahnya, meminta untuk dibimbing kembali ke jalan yang benar dan dibimbing untuk kembali dekat dengan Tuhannya.”
Baca juga: Bersikap Objektif Dalam Menilai Persoalan Khilafiyah
Memang dalam ber-“Suhbah” dibutuhkan kesabaran, tidak buru-buru mengeluh “Sudah lama aku bersama Syekh ini, tetapi mengapa aku belum juga menjadi orang baik, belum juga menjadi orang alim.”
Sebab, akan ada saat yang tepat Allah akan memberikan “Futuh” kepada sang murid berkat kesabarannya. Kalaupun setia ber-“Suhbah” kepada guru dan sampai mati belum juga menjadi orang alim, tidak menutup kemungkinan ‘Futuh” itu akan didapatkan oleh anaknya, atau cucu-cucunya.
Sebagaimana pada kelakuan Khadir yang ketiga dalam kisah tersebut, saat beliau merenovasi sebuah rumah orang tanpa mengambil upah pada sebuah kampung yang penduduknya tidak mau menjamu mereka makan. Ternyata alasan Khadir adalah, “Rumah itu milik dua anak yatim. Dahulu bapak mereka ini adalah orang Shalih.”
Menurut mufassir termasuk Imam Al-Thabari, mengatakan bahwa “Al-Ab” yang dimaksud adalah kakek jauh kedua anak yatim itu, sekitar kakek ke-7 atau ke-9. Berkat kesalehan sang kakek dahulu kala, maka berkahnya sampai ke mereka melalui Khadir, di mana “Kanzun” (harta terpendam) yang dimaksud yang ada di bawah rumah itu, bukanlah dalam bentuk emas dan perak saja, akan tetapi terdapat catatan-catatan ilmu yang ketika mereka baca akan menjadikan dua anak yatim tersebut menjadi ulama.
Memang dalam ber-“Suhbah” dibutuhkan kesabaran, tidak buru-buru mengeluh “Sudah lama aku bersama Syekh ini, tetapi mengapa aku belum juga menjadi orang baik, belum juga menjadi orang alim.”
Sebab, akan ada saat yang tepat Allah akan memberikan “Futuh” kepada sang murid berkat kesabarannya. Kalaupun setia ber-“Suhbah” kepada guru dan sampai mati belum juga menjadi orang alim, tidak menutup kemungkinan ‘Futuh” itu akan didapatkan oleh anaknya, atau cucu-cucunya.
Sebagaimana pada kelakuan Khadir yang ketiga dalam kisah tersebut, saat beliau merenovasi sebuah rumah orang tanpa mengambil upah pada sebuah kampung yang penduduknya tidak mau menjamu mereka makan. Ternyata alasan Khadir adalah, “Rumah itu milik dua anak yatim. Dahulu bapak mereka ini adalah orang Shalih.”
Menurut mufassir termasuk Imam Al-Thabari, mengatakan bahwa “Al-Ab” yang dimaksud adalah kakek jauh kedua anak yatim itu, sekitar kakek ke-7 atau ke-9. Berkat kesalehan sang kakek dahulu kala, maka berkahnya sampai ke mereka melalui Khadir, di mana “Kanzun” (harta terpendam) yang dimaksud yang ada di bawah rumah itu, bukanlah dalam bentuk emas dan perak saja, akan tetapi terdapat catatan-catatan ilmu yang ketika mereka baca akan menjadikan dua anak yatim tersebut menjadi ulama.