Salah Paham Terhadap Hadits Pengobatan Ala Nabi
Di antara penyebab terjadinya kesalahpahaman terhadap As-Sunnah adalah sebagian orang mencampur-adukkan antara tujuan diucapkannya hadits oleh Nabi. Begitu juga mereka tidak memahami maksud yang permanen. Di mana As-Sunnah berusaha merealisasikannya dengan sarana yang bersifat temporal dan lokal. Yang itu semuanya dapat membantunya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Ada sebagian orang yang yang memusatkan perhatiannya kepada sarana ini dan seakan-akan itulah tujuannya. Padahal orang yang memamhami As-Sunnah dan rahasianya itu agar mengetahui jalan yang terpenting adalah tujuannya yang bersifat permanen dan abadi. Sedangkan sarana terkadang berubah-rubah mengikuti perubahan lingkungan, kurun waktu, kebiasaan atau faktor lain yang mempengaruhinya.
Dari sini kita dapat melihat banyak peneliti As-Sunnah yang khusus meneliti masalah pengobatan ala Nabi Muhammad (Thibbun Nabawi) mencurahkan perhatiannya dan memfokuskan pembahasannya terhadap obat-obatan, makanan, rerumputan, biji-bijian, dan bahan lainnya yang disebutkan oleh Nabi Muhammad S.A.W. sebagai sarana pengobatan beberapa penyakit.
Oleh karena itu ada sebagaian orang yang menyebutkan hadits-hadits yang populer yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti:
خَيْرُ مَاتَدَاوَيْتُمْ بِهِ
“Sebaik-baik sarana pengobatan
الحَجَمَةُ
adalah dengan berbekam”
Diriwayatkan oleh Ahmad, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim dan ia menilainya sebagai Hadits Shahih, dari Samrah, dan ia menyebutkannya dalam Shahih Jami’ Ash-Shaghir.
خَيْرُ مَاتَدَاوَيْتُمْ بِهِ
“Sebaik-baik sarana pengobatan adalah
الحَجَمَةُ وَالقِسْطُ البَحْرِىُّ
dengan berbekam dan dengan kayu India”
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’i dari Anas. dan ia menyebutkannya dalam Shahih Jami’ Ash-Shaghir.
عَلَيكُمْ بِهَذَا العَوْدِ الهِنْدِ
“Hendaklah kalian menggunakan Kayu India ini
فَإِنَّ فِيْهِ سَبْعَةُ أَشْفِيَةٌ
karena ia mengandung tujuh Khasiat yang menyembuhkan”
عَلَيكُمْ بِهَذَا الحَبَّةِ السَّوْدَاءِ
“Hendaklah kalian menggunakan jinten hitam
فَإِنَّ فِيْهَا شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ ,
karena ia mengandung khasiat yang menyembuhkan berbagai penyakit
إِلاَّ السَّامُ وَهُوَ المَوْتُ
kecuali kematian”. (Ibnu Majah, At-Turmuzi, dan Ibnu Hibban)Dihadits yang lainnya adalah:
إِكْتَحَلُوْا بِالإِثْمدِ ,
“Pakailah celak mata dengan antimonium
فَإِنَّهُ يَجْلُوْا البَصَرَ
karena ia membuat mata menjadi bening
وَيَنْبُتُ العَشْرَ
dan menumbuhkan rambut”.
Menurut pendapat Yusuf Al-Qaradhawi bahwa hadits di atas dan yang semisal dengannya bukanlah merupakan ruh pengobatan ala Nabi, tetapi ruhnya adalah memeliharan kesehatan dan kehidupan manusia, keselamatan dan kekuatan tubuhnya, memberikan haknya untuk beristirahat bila capek, memberinya hak kenyang bila lapar dan berobat bila sakit.
Berobat tidaklah bertentangan dengan keimanan kepada taqdir dan tidak pula dengan tawakkal kepada Allah. Bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya. Mengakui sunnah Allah dalam penularan penyakit, pembangunan karantina, menjaga kebersihan manusia, rumah dan jalan, mencegah polusi air dan tanah, memperhatikan penjagaan kesehatan sebelum pengobatan, mengharamkan setiap yang membahayakan kesehatan manusia seperti segala macam yang memabukkan atau merugikan, makanan yang berbahaya atau minuman yang tercemar, mengharamkan mengeksploitasi diri walaupun untuk beribadah kepada Allah, diajarkan rukhsah dalam berbagai ibadah untuk memeliharan kondisi tubuh dan kesehatan rohani di samping kesehatan jasmani, dan arahan-arahan lainnya yang mencerminkan pengobatan Ala Nabi yang berlaku untuk segalamasa dan tempat.
Sarana terkadang bisa berubah sewaktu-waktu. Sarana ini bisa jadi mengikuti perubahan zaman dan lingkungan. Bagaimanapun Sarana memang pasti berubah. Maka bila ada hadits menyebutkan salah satu sarana secara tekstual. Maka hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan realita yang ada pada saat itu. Bukannya untuk mengikat kita dengan realita teks hadits tersebut, sehingga kita hanya terpaku dengannya saja tanpa menggunakan sarana lainnya yang sesuai dengan zaman dan kondisi di zaman kita hidup.
Bahkan teks Al-Qur’an itu sendiri bila menyebutkan suatu sarana yang sesuai dengan tempat dan waktu tertentu, maka hal itu tidak dimaksudkan agar kita terpaku padanya dan tidak memikirkan sarana lainnya yang berkembang mengikuti perkembangan waktu dan tempat. Sebagai contoh adalah fiman Allah dalam surat Al-Anfaal ayat yang ke 60: “ Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka. . .”.
Meskipun demikian, tak seorangpun memahami bahwa mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh hanya terbatas kepada kuda sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Setiap orang yang berakal dan mengetahui bahasa dan agama mengerti bahwa kuda masa kini adalah kenderaan berlapis baja dan persenjataan modern lainnya.
Hadits yang menerangkan keutamaan memelihara kuda, seperti hadits:
الْخَيْلُ مَعْقُودٌ فِي نَوَاصِيهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Pada ubun-ubun kuda tertulis kebaikan hingga hari kiamat.
الْخَيْلُ لِثَلَاثَةٍ
Dan kuda ada tiga model
هِيَ لِرَجُلٍ أَجْرٌ
kuda yang menjadikan pahala bagi seorang lelaki yang memanfaatkannya,
وَهِيَ لِرَجُلٍ سِتْرٌ
kuda yang akan menjadi satir bagi seorang
وَهِيَ عَلَى رَجُلٍ وِزْرٌ
dan kuda yang bisa menjadi dosa bagi seorang yang memilikinya.
فَأَمَّا الَّذِي لَهُ أَجْرٌ
Adapun kuda yang bisa menjadi pahala baginya
فَالَّذِي يَتَّخِذُهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
adalah kuda yang digunakan untuk jihad di jalan Allah,
فَيُعِدُّهَا لَهُ
maka ia mempersiapkan kuda tersebut
هِيَ لَهُ أَجْرٌ
akan menjadi pahala baginya.
لَا يَغِيبُ فِي بُطُونِهَا شَيْءٌ
Tidak ada sesuatu yang masuk ke dalam perutnya
إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرًا
kecuali Allah akan menuliskan pahala kepadanya.
(HR. Imam Turmuzi dari dari Abu Hurairah)
Hadits itu harus di implementasikan terhadap setiap sarana yang terus berkembang yang fungsinya sama seperti kuda atau jauh lebih unggul dari padanya.
Contoh lain adalah hadits yang menerangkan tentang keutamaan memanah:
مَنْ بَلَغَ بِسَهْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
"Barangsiapa yang melempar panah dijalan Allah,
فَهُوَ لَهُ دَرَجَةٌ فِي الْجَنَّةِ
ia mendapatkan satu derajat disurga."
مَنْ رَمَى بِسَهْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
"Barangsiapa yang melempar satu anak panah dijalan Allah
فَهُوَ عِدْلُ مُحَرَّرٍ
ia seperti budak yang dimerdekakan."
(HR. An-Nasa’i dari dari Abu Najih As Salami)
Sumber adalah dari buku tentang Metode Memahami Sunnah Dengan Benar oleh Yusuf Al-Qaradhawi.