Latar Belakang Berdirinya Dinasti Ayyubiyah di Mesir
Dinasti Ayyubiah berdiri di Mesir tahun 1171 M di penghujung senja usia Dinasti Fathimiyah untuk membuka lembaran baru di Wilayah Syarq Adna dan Mamalik. Ada keunikan memahami kemunculan Klan Ayyubi yang memiliki Ras Kurdi mengapa kok tiba-tiba bisa menduduki kekuasaan. mereka berhasil menyatukan bagian-bagian negara Islam yang terpecah-pecah kala itu, yang Pemerintah Daulah Abbasiah pusat saja kewalahan. Walhasil disegani oleh imperium-imperium besar di Eropa.
Untuk menyulam cerita Dinasti Ayyubiah ini, sebagai komposisinya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
- Kondisi perpolitikan Khilafah Abbasiah di Bagdad di fase terakhir.
- Keberadaan Mamalik (Budak-Budak) Turki.
- Dinasti Saljuk.
- Klas Atabeik.
- Atabeik Zinki
- Dinasti Fatimiah di Mesir.
Selama interval ini, eksistensi Daulah Abbasiah memang masih ada. Tetapi yang sesungguhnya mengatur sistem pemerintahan adalah sebuah kekuatan besar bernama Klan Saljuk di bawah pimpinan Tugrul Bey. Keturunan-keturunan Abbasiah selama itu hanya menjadi bidak catur yang dimainkan Keluarga Saljuk dan para menteri Turki dari balik layar. Sejarah dunia Timur Arab Islam pada paruh kedua abad ke-11 Masehi mencatat perubahan drastis oleh sebab itu.
Perlu diketahui, Klan Saljuk ini adalah penganut kuat Madzhab Sunni. Beberapa pemisahan negara oleh Klan-Klan Syi’ah di Persia mereka taklukkan. Selain itu, melalui jihad melawan Bizantium, Saljuk telah berhasil menyatukan bagian Timur Arab di bawah panji mereka, meluaskan teritorialnya ke Barat Asia sampai ke batas Bosporus. Mereka juga meraih kekuasaan Negara Syam yang sebelumnya dikuasai Dinasti Fatimiah.
Dari Dinasti Saljuk ini, muncul nama sosok menteri hebat yang terkenal dalam catatan sejarah, yaitu Nizhamul Mulk. Dialah perumus sistem negara yang tertuang dalam kitab karyanya berjudul “Siyasah Namah”. Para sultan menghormati dan menuruti segala arahannya.
Sebagaimana masa Daulah Abbasiah, Saljuk juga tetap menjadikan budak-budak Turki sebagai andalan, baik dalam administrasi maupun peperangan. Bahkan kian memperbanyak pembelian budak-budak Turki yang masih kecil, dibesarkan dengan sistem pendidikan yang dirumuskan oleh Nizhamul Mulk. Mereka tumbuh di kultur pemerintahn, memiliki kedekatan dengan para sultan Saljuk dan gubernur-gubernur mereka.
Nizhamul Mulk juga orang pertama yang membagi-bagi otonomi daerah untuk budak-budak Turki dengan tujuan mengerucutkan fokus pemerintahan pusat, dan masing-masing gubernur fokus pada wilayah yang dibagikan. Pembagian kota dan daerah ini berdasarkan penghargaan atas kontribusi para budak Turki, baik kesuksesan sebagai panglima di medan perang maupun jasa pendidikan anak para Sultan. Para gubernur yang proses pengangkatannya seperti ini dikenal dengan Atabeik.
Terma “Atabeik” berasal dari Bahasa Turki: “Ata” berarti Bapak, dan “Beik” berarti gubernur. Artinya, pengasuh bagi gubernur. Kebiasaan para sultan Saljuk adalah mempercayakan pendidikan anaknya kepada budak Turki yang paling dekat dengan mereka. Kemudian ketika tiba masanya, Sultan memberikan anaknya jabatan sebagai gubernur di suatu wilayah, sekaligus mengirimkan Atabeik ini untuk membimbing anaknya. Apabila habis masa kepemerintahan anaknya, Atabeik inilah yang meneruskan jabatan.
Manuver politik kaum Atabeik ini melonjak dengan cepat. Kekuatan barisannya kian kuat. Ketika Saljuk melemah disebabkan sengketa kekuasaan antara putra mahkota pasca kemangkatan Sultan Maliksyah 1092 M, mereka memanfaatkan kesempatan itu untuk memisahkan wilayahnya independen dari pusat Saljuk. Muncul fenomena berdirinya negara-negara parsial dikenal dengan Daulah Atabeikiah. Di antara yang terkenal melakukan pemisahan ini: Atabeyk Kifa, Damaskus, Moshul, Alazair, Azerbain dan Persia.
Saat itulah, Eropa mengintip degradasi perpolitikan di Timur Arab Islam akibat perpecahan wilayah. Setelah diumumkannya kelahiran Gerakan Salib di Clairemont di tangan Pope Urban II tahun 1095, dimulailah persiapan eksekusi agresi pertama dari Eropa ke Timur Arab Islam, mereka berhasil menduduki dan mendirikan pemerintahan Salib di Raha, Antokia, Baitul Maqdis dan Tripoli.
Kaum Muslimin tersakiti atas pendudukan Tentara Salib itu. Mereka meratapi perpecahan disebabkan ego politik para penguasanya, yang membuat tidak berdaya melawan Salib.
Menyadari keterpurukan ini, barulah gagasan jihad tersulut. Secara realistis kaum Muslimin di Syam tidak bisa sendirian menghadapi Salib tanpa bantuan kaum Muslimin lainnya, terutama wilayah Aljazair dan Moshul yang kaya secara ekonomi dan SDM tentara. Mereka menant-nanti munculnya seorang pemimpian tangguh yang bisa menyatukan pertikaian para gubernur setiap daerah dalam satu komando dan menggabungkan pasukan untuk melawan Tentara Salib
Saat itulah, muncul nama tersohor Atabeik Imaduddin Zanki, pendiri Atabeik Moshul dan Aleppo. Sebagaimana Atabeik lainnya, dia berlatar-belakang sebagai pendidik anak bagi dua gubernur, Aleb Arselan dan Farukhsyah. Sosoknya dikenal sebagai tentara, politikus dan administrator handal. Dari kehandalannya itu, dia menggali pengalaman luas saat bergelut di pemerintahan yang membuat karirnya melejit.
Imaduddin membakar semangat jihad di di Mosul dan Aleppo. Keluarga Zinki di bawah komandonya berangkat dari Mosul, melewati Aleppo kemudian Damaskus. Pada quartal kedua Abad ke-12 Masehi, atas intruksi Sultan Saljuk pusat tahun 1127 M, Imaduddin diberikan kekuasaan Moshul, Jazair, dan kota-kota taklukan Syam.
Setelah meneguhkan kakinya di Jazair dan Utara Syam termasuk Aleppo, dia mempersatukan dunia Islam untuk serempak melancarkan serangan ke Pemerintahan Raha di bawah pendudukan Salib yang berdekatan dengan Moshul. Dia berhasil menaklukkan dan merebutnya kembali dari Salib pada Desember 1144 M. Ini merupakan kemenangan besar bagi Islam dan diperhitungkan sebagai prestasi gemilang Imaduddin. Jalur-jalur antara Mosul dan Aleppo disapu dari sisa-sisa tentara Salib. Kemenangan ini memberi pengaruh positif untuk mengembalikan keseimbangan wilayah-wilayah Islam di Timur Arab. Kaum muslim termotivasi melihat kelemahan tentara Salib untuk merebut kembali wilayah-wilayah mereka.
Kekalahan ini menjadi tamparan keras bagi Barat. Para raja murka dan mengatur siasat untuk membunuh Imaduddin Zanki. Sang pahlawan terbunuh oleh pemuda bayaran Salib pada September 1146 M.
Imaduddin Zanki terkenal sebagai pemimpin yang cinta kepada rakyatnya. Sangat memperhatikan kemaslahatan mereka, terutama rakyat jelata. Keadilan tertegakkan pada masanya. Orang-orang merasa nyaman dengan pemerintahannya.
Pasca terbunuhnya, dua putra Imaduddin, Saifuddin Ghazi dan Nuruddin Mahmud, membagi warisan kekuasaan dari mendiang ayahnya. Sang kakak mendapatkan bagian timur yang berpusat di Mosul. Sang adik mendapatkan bagian barat dan menjadikan Aleppo sebagai markas. Mereka juga mewariskan dua permasalahan besar yang menjadi PR belum tertuntaskan oleh ayahnya, yaitu mengembalikan Damaskus dan Emirat yang masih di bawah kekuasaan Salib.
Sang adik, Nuruddin Mahmud dikenal oleh publik pada masanya sebagai sosok yang memiliki semangat beragama tinggi, yang juga dihembuskan kepada kaum Muslimin. Dengan semangatnya ini, ia berupaya untuk menyatukan ruh umat Islam dengan cara memperkuat pendidikan Madrasah Sunni. Dia mengumumkan bahwa kemenangan tergadai dengan persatuan umat Islam. Dia menyindir keras gubernur-gubernur muslim yang antipati terhadap gerakan jihad dan malah berkongkalikong dengan Tentara Salib. Khususnya Atabeik Damaskus yang menjadi penghalang upaya penyatuan Umat Islam.
Barulah setelah upaya berulang-ulang, Damaskus berhasil dirangkul pada 1154 M. Dengan demikian semua wilayah Syam telah dipersatukan di bawah kepemimpinan Nuruddin. Sekaligus memberi ancama bahaya bagi Tentara Salib yang sudah pewe di Baitul Maqdis.
Di tengah kekhwatiran akan kebangkitan umat Islam itu, tentara Salib berpikir untuk membangun kekuatan. Mereka melirik Mesir di bawah Dinasti Fathimiah yang tengah bergelut dengan kegoncangan disebabkan konflik antar para menteri yang ingin menggerogoti kekuasaan penguasa Fathimiah.
Untungnya Khalifah Fathimiah segera meminta bantuan kepada Nuruddin Mahmud dengan mengirimkan beberapa helai dari rambut istrinya sebagai isyarat negaranya dalam bahaya. Bagi Nuruddin, Mesir ini bagaikan pertaruhan krusial hidup dan mati, baik secara politik dan ekonomi. Sebab, apabila Mesir dapat dirangkul dengan Syam, ini akan memberikan akses bagi Pasukan Muslim untuk mengepung Baitul Maqdis dari utara dan selatan. Sedangkan, sebaliknya, apabila Mesir dikuasai oleh Raja Amarel I (dari pihak Baitul Maqdis), maka ini akan membuka akses bagi Salib mengepung Syam dari utara dan selatan, yang akan sangat berbahaya mencabik-cabik keutuhan umat Islam yang selama ini ia dan ayahnya perjuangkan mati-matian.
Demikianpun secara ekonomi, Mesir adalah pusat perdagangan dan jalur perlintasan internasional yang bisa menjadi sumber pajak besar.
Di saat-saat krusial inilah keksatriaan keluarga Ayyubi diandalkan. Baik sejak sang ayah Imaduddin Zanki maupun sang anak Nuruddin, mempercayakan kepemimpinan pasukan kepada keluarga asli Kurdi yang telah teruji ketangguhannya ini, sehingga menyukseskannya memainkan peran penting dalam pergulatan Islam – Salib di Timur Arab kala itu.
Nuruddin memutuskan untuk mengirimkan pasukan ke Mesir Tahun 1164 M, dia mempercayakan kepada seorang panglima tangguh dari Keluarga Ayyubi bernama Asaduddin Syirikuh untuk melindungi Mesir dan mengambil alihnya dari kekuasaan Fathimiah. Selama peperangan, Asaduddin Syirikuh selalu mengikut-sertakan keponakannya Shalahuddin, dia adalah putra dari Najmuddin Ayyub yang dipercayakan oleh Keluarga Zanki sebagai gubernur Ba’labak.
Shalahuddin banyak belajar pengalaman militer dari pamannya Asaduddin Syirikuh. Singkat cerita, pasukan Syirikuh berhasil mengusir tantara Salib. Tetapi tak lama kemudian, sang panglima meninggal.
Kondisi perpolitikan pasca kegagalan tentara Salib menguasai Mesir dan kewafatan pamannya. Ini otomatis membuka jalan Shalahuddin mendapatkan kursi menteri di Mesir dari khalifah Dinasti Fathimiyah Al-Adhid tahun 1171 M. Pada tahun yang sama, penguasa Fathimiah Khalifah Al-Adhid meninggal. Dengan meninggalnya lenyaplah secara total Daulah Fathimiah.
Sebenarnya, setelah Fathimiah berakhir, Nuruddin berniat untuk menggabungkan Mesir di bawah kekuasaannya. Di samping ambisi Raja Amarel untuk mengulangi upayanya. Tetapi Qadarullah, tidak lama setelah kematian Al-Adhid, ajal juga menjemput Nuruddin dan Amarel pada tahun yang sama, 1174 M. Keadaan ini lagi-lagi membuka jalan bagi Shalahuddin membuat Mesir independen dari Dinasti Zanki.
Dia menggagas ide pembangunan Daulah Ayyubiah di sana, meruntuhkan Daulah Fathimiyah dan menghapuskan pengaruh-pengaruhnya. Diapun membekuk satuan militer Fathimiah dan membangun tentaranya sendiri yang terdiri dari Mamalik Asadiah, kelompok merdeka ras Kurdi yang menjadi pelayannya, ditambah para budak Turki yang dibelinya sendiri dan dinamakan Mamalik Shalahiyah.
Melihat kekuatannya yang sudah terbangun, sangat memungkinkan bagi Shalahuddin menetap di Mesir dan memerangi tantara Salib. Akan tetapi dia memilih untuk tidak gegabah. Terlebih dahulu ia bermisi untuk menyatukan barisan kaum Muslimin sebelum menghadapi pasukan salib. Maka dia berangkat ke Syam melakukan negosiasi meminta penggabungan kekuatan dengan Mesir.
Shalahuddin pun berhasil menyatukan umat Islam setelah melewati 15 tahun menjalankan misinya. Pemisahan-pemisahan wilayah sukses ia satukan dan mengintegrasikan satuan militer dari berbagai wilayah. Kekuatan inilah yang memuluskan misinya melawan pasukan salib dan meraih kemenangan, serta merebut kembali Baitul Maqdis dan kota-kota di pesisir Arab.
Sebenarnya proses ini panjang ceritanya, yang intinya Eropa mulai mengenal dan menyegani sosok Salahuddin setelah duel dengan Pasukan Salib Gelombang Ketiga di bawah pimpinan Raja Prancis Philip Auguste dan Raja Inggris Richard Hati Singa. Memang sosok Shalahuddin jadinya lebih menarik daripada sosok Nuruddin Mahmud Zanki, sehingga hampir nama Nuruddin asing di telinga generasi setelahnya. Padahal prestasi dua sosok ini hampir sama. Bahkan Solahudin tidak lain meneruskan proyek Nuruddin Mahmud.