Khansa, Wanita Istimewa di Zaman Rasul
Arab Jahiliy dahulu terkenal dengan era keemasan para penyair hebat. Kalau diperhatikan, setiap penyair masa Jahiliy punya genrenya masing-masing. Imru'ul Qays misalnya, terkenal dengan gubahan syair mabuk cinta (Ghazal). `Antarah bin Syaddad masyhur dengan sajak-sajak penggelora keberanian. Zuhair bin Abi Sulma dengan syair-syair hikmahnya. Nabighah al-Dzibyani dgn syair-syair gombal yang bikin para raja meleleh dan menggelontorkan emas sebagai imbalan kepadanya. Ka’ab bin Zuhair dan Hassan bin Tsabit sebelum Islam pandai merangkai syair sarkastik dan satire (hija’) yang ampuh menyerang psikis dan mental rivalnya.
Tak ketinggalan sang penyair cantik, Khansa binti Amr yg terkenal dgn syair-syair ratapan kesedihan. Kesedihan yang natural, tidak direkayasa, yang murni terluapkan dari hatinya yang rapuh. Ia terlalu tinggi mencintai. Maka amat dalam sakit yang ia tanggung kala ditinggal orang yang ia kasihi.
Baca juga: Hukum Operasi Plastik Dalam Islam
Manakala Shakhr, saudara kandung yang amat ia cintai gugur dalam medan perang, Khansa’ menumpahkan keperihan hatinya dalam ratusan bait arbituari (al-Ritsā). Ratapan yang ia senandungkan dengan balutan sastra tinggi itu diterbangkan angin, melayang-layang ke setiap sudut Arab, seakan awan kelabu seketika menggumpal di langit, membuat ribuan pasang telinga yg mendengarnya ikut terhujani kemeranaan dan tenggalam dalam lipatan-lipatan kepiluan.
Begitulah balada kehidupan Khansa pra kedatangan Islam. Tiada yang bisa menghiburnya dari sebuah kehilangan. Hingga, Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa sallam datang membawa Al Quran. Hati yang rapuh itu meminum kandungan kitab suci, seketika dalam waktu singkat pribadinya berubah. Kesedihan itu terhapus oleh kebahagiaan. Ajaran Islam membuatnya menjelma menjadi sosok wanita yang kuat dan tegar.
Terbukti, pada pertempuran Qadisiyah (pembebasan Irak dari Kekaisaran Persia tahun 15 hijriah), Khansa’ mengutus 4 orang putra yang amat ia cintai, tentu saja melebihi kecintannya pada Almarhum Shakhr, mendiang saudara kandungnya yang dulu ia ratapi kepergiannya.
Di pertempuran Qadisiyah itu, satu persatu putranya gugur sebagai syuhada. Ketika kabar itu sampai pada seorang ibu yang dulu terkenal rapuh itu. Bayangkan apa yang akan terjadi pada Khansa’?
Kematian seorang anak adalah puncak kesedihan bagi seorang ibu. Wajar dalam Bahasa Arab, untuk menggambarkan sebuah kesedihan yang sulit terwakilkan dengan kata-kata, mereka sebutkan kata “Al-Tsakla” (Bak seorang ibu yang kehilangan anaknya). Sebaliknya untuk mengungkapkan suatu kelucuan yang betul-betul menertawakan, orang Arab menggunakan matsal:
Jadi, apa yang terjadi pada Khansa’ kala mendengar informasi kematian empat putranya?
Kesedihan memang menghampiri hati keibuan Khansa', tetapi dengan akidah yg kuat, lidahnya justru menguntai syukur:
Lihatlah! Khansa yg dahulunya dijadikan simbol kerapuhan. Kini dalam Islam dijadikan sebagai simbol ketegaran.
Risalah cinta dari Allah melalui Nabinya bukan berarti menghapus segala kejadian yang menyebabkan kesedihan, tetapi membetulkan mindset dan membangun kekuatan mental hamba-Nya dalam menghadapi ujian. Dahulu ketika Nabi Musa datang, Bani Israel sempat protes “Hey Musa, ternyata sama saja, sebelum kau datang dan setelah kau datang, kami tetap ditindas oleh Fir’aun.” Maka Nabi Musa meluruskan mindset mereka dalam memandang sebuah musibah, dengan menghembuskan spirit optimisme, bahwa ujian itu jika dijalani dengan kesabaran akan menjadi awal kemenangan dan kesuksesan (Lihat Al-Quran Surat Al-A’raf ayat 129). Pelangi indah akan datang setelah mendung. Fajar yang merekah akan terbit setelah malam memekatkan kegelapannya.
Manakala Shakhr, saudara kandung yang amat ia cintai gugur dalam medan perang, Khansa’ menumpahkan keperihan hatinya dalam ratusan bait arbituari (al-Ritsā). Ratapan yang ia senandungkan dengan balutan sastra tinggi itu diterbangkan angin, melayang-layang ke setiap sudut Arab, seakan awan kelabu seketika menggumpal di langit, membuat ribuan pasang telinga yg mendengarnya ikut terhujani kemeranaan dan tenggalam dalam lipatan-lipatan kepiluan.
Begitulah balada kehidupan Khansa pra kedatangan Islam. Tiada yang bisa menghiburnya dari sebuah kehilangan. Hingga, Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa sallam datang membawa Al Quran. Hati yang rapuh itu meminum kandungan kitab suci, seketika dalam waktu singkat pribadinya berubah. Kesedihan itu terhapus oleh kebahagiaan. Ajaran Islam membuatnya menjelma menjadi sosok wanita yang kuat dan tegar.
Terbukti, pada pertempuran Qadisiyah (pembebasan Irak dari Kekaisaran Persia tahun 15 hijriah), Khansa’ mengutus 4 orang putra yang amat ia cintai, tentu saja melebihi kecintannya pada Almarhum Shakhr, mendiang saudara kandungnya yang dulu ia ratapi kepergiannya.
Di pertempuran Qadisiyah itu, satu persatu putranya gugur sebagai syuhada. Ketika kabar itu sampai pada seorang ibu yang dulu terkenal rapuh itu. Bayangkan apa yang akan terjadi pada Khansa’?
Kematian seorang anak adalah puncak kesedihan bagi seorang ibu. Wajar dalam Bahasa Arab, untuk menggambarkan sebuah kesedihan yang sulit terwakilkan dengan kata-kata, mereka sebutkan kata “Al-Tsakla” (Bak seorang ibu yang kehilangan anaknya). Sebaliknya untuk mengungkapkan suatu kelucuan yang betul-betul menertawakan, orang Arab menggunakan matsal:
مما يضحك الثكلى
“Sebuah kelucuan, yang jika didengarkan oleh ibu yang baru meninggal anaknya pun akan tertawa.”
Jadi, apa yang terjadi pada Khansa’ kala mendengar informasi kematian empat putranya?
Kesedihan memang menghampiri hati keibuan Khansa', tetapi dengan akidah yg kuat, lidahnya justru menguntai syukur:
الحمد لله الذي شرّفني بقتلهم، وأرجو من ربي أن يجمعني بهم في مستقر رحمته
"Segala puji bagi Allah yg telah memuliakanku dengan kesyahidan mereka. Aku berharap Tuhan akan mengumpulkanku bersama mereka di singgasana kasih-sayang-Nya."
Lihatlah! Khansa yg dahulunya dijadikan simbol kerapuhan. Kini dalam Islam dijadikan sebagai simbol ketegaran.
Risalah cinta dari Allah melalui Nabinya bukan berarti menghapus segala kejadian yang menyebabkan kesedihan, tetapi membetulkan mindset dan membangun kekuatan mental hamba-Nya dalam menghadapi ujian. Dahulu ketika Nabi Musa datang, Bani Israel sempat protes “Hey Musa, ternyata sama saja, sebelum kau datang dan setelah kau datang, kami tetap ditindas oleh Fir’aun.” Maka Nabi Musa meluruskan mindset mereka dalam memandang sebuah musibah, dengan menghembuskan spirit optimisme, bahwa ujian itu jika dijalani dengan kesabaran akan menjadi awal kemenangan dan kesuksesan (Lihat Al-Quran Surat Al-A’raf ayat 129). Pelangi indah akan datang setelah mendung. Fajar yang merekah akan terbit setelah malam memekatkan kegelapannya.
Baca juga: Jalan Pintas Menuju Sukses
Semoga ini juga menjadi pelajaran bagi kita, untuk menanamkan akidah yang kuat dan cahaya kitab suci dalam jiwa, dengan banyak membaca Alquran dan mentadabburinya, sehingga dengannya akan terhapus segala macam kesedihan dan kegundahan. Tergantikan oleh kebagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
Semoga ini juga menjadi pelajaran bagi kita, untuk menanamkan akidah yang kuat dan cahaya kitab suci dalam jiwa, dengan banyak membaca Alquran dan mentadabburinya, sehingga dengannya akan terhapus segala macam kesedihan dan kegundahan. Tergantikan oleh kebagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
اللهُمَ اجْعَلِ القُرْآنَ العَظِيْمَ رَبِيْعَ قُلُوْبِنَا، وَنُوْرَ صُدُوْرِنَا، وجلاء أحزاننا، وَذَهَابَ هُمُوْمِنَا وَغُمُوْمِنَا، وَارْزُقْنَا تِلَاوَتَهُ آنَاءَ الَّليْلِ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ عَلَى الْوَجْهِ الَذِيْ يُرْضِيْكَ عَنَّا يَا رَبَّ الْعَالَمِيْن