Kisah Zainab Abdussalam Abul Fadhl Menjadi Guru Besar Fikih
Di antara ulama yang berpengaruh di Universitas Al-Azhar Mesir yang laki-laki adalah Prof. Dr. Mustafa Abu Sulaiman Al-Nadwi, Prof. Dr. Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi dan Prof. Dr. Ali Jum’ah.”
Mereka bertiga adalah ulama bintang di Mesir saat itu. Salah satu dari mereka adalah Prof. Dr. Mustafa Abu Sulaiman Al-Nadwi adalah seorang Al-Muhaddits Al-Musnid. Sedangkan Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi adalah seorang yang tinggalnya jauh di luar Kairo, tepatnya di Mahallah Kubro. Beliau adalah beliau adalah sosok guru besar Ushul Fikih kaliber kelas dunia. Masyhur dan karismatik di kalangan kaum intelektual. Merupakan murid terbaik Syekh Muhammad Khalil Al-Khatib, seorang waliyullah dan ulama besar Thanta yang sangat dihormati oleh Syekh Mutawalli Al-Sya’rawi dan disegani oleh Presiden Anwar Saddat sampai sempat beberapa kali ditawarkan jabatan Grand Syekh Al-Azhar, tetapi beliau enggan menerimanya.
Dalam dars fikihnya, Maulana Syekh Abdullah Izzuddin berkali-kali menekankan, “Agar kalian mudah memahami Kitab Fiqih Madzhabi, bacalah tiga kitab berikut: 1) Al-Fawāid Al-Makkiah karya Syekh Muhammad bin Alawi Al-Saqqaf 2) Al-Madkhal Ilā Dirāsati Al-Madzāhib Al-Fiqhiyyah karya Prof. Dr. Ali Jum’ah 3) Al-Fath Al-Mubīn Fī Mushthlahāt Al-Fuqahā Wa Al-Ushūliyyīn karya Prof. Dr. Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi.”
Sedangkan salah Seorang Guru Besar dari kalangan wanita yang sangat disegani dan dihormati di Al-Azhar adalah bernama Prof. Dr. Zainab Abdussalam Abu Al-Fadhl itu, Beliau adalah Putri dari seorang waliyullah besar dan terkenal di Mahallah Kubra, bernama Al-Arif Billah Syekh Abdussalam Abul Fadhl. Beliau ulama besar Mesir abad XX yang terkenal dengan kezuhudan, kewara’an dan luar biasa giat dalam beribadah. Beliau memiliki ruang khalwat khusus di Masjid Mutawalli, sebuah masjid besar di Mahallah. Setiap hari beliau masuk masjid semenjak zuhur berdiam di sana dan baru pulang setelah Isya. Setiap tahunnya, sejak 29 Sya’ban beliau memasuki masjid untuk beri’tikaf selama sebulan Ramadhan penuh dan tidak keluar kecuali saat tibanya hari Idul Fithri.
Selain beribadah dan berdakwah di Masjid dengan kata-kata yang begitu menyentuh dan langsung menghunjam ke hati para hadirin, beliau juga menerima siapapun yang datang meminta bantuan untuk dipenuhi kebutuhannya. Terkenal luar biasa dermawan. Wibawanya mengalahkan para pejabat. Disegani oleh orang muslim maupun warga koptik. Sebagaimana pernah diceritakan Prof. Dr. Muhammad Ibrahim Al-Asymawi (yang saya share setelah postingan ini).
Syekh Abdussalam Abul Fadhl ini unik dalam mendidik anak-anak perempuannya, sangat over-protektif memingit demi menanamkan pada mereka ke-’iffahan, sehingga menganjurkan anak-anak gadisnya menikah di usia belia sebelum mereka melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Lantas bagaimana bisa kuliah kalau sudah berkeluarga duluan?
Uniknya lagi, yang mempersunting anak-anak gadisnya rata-rata yang saat ini menjadi guru besar di Universitas Al-Azhar. Ada Prof. Dr. Mahmud Itman, seorang guru besar dan Kepala Departemen Ushul Fiqh dan saat ini menjadi Wakil Dekan Fakultas Syari’ah Wal Qanun Universitas Al-Azhar Thantha. Ada guru kami Prof. Dr. Muhammad Al-Syarif, guru besar Hadits dan mantan wakil dekan Fakultas Ushuluddin Kairo. Dan tentunya, suami Dukturah Zainab ini, Prof. Dr. Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi.
Dan juga Dukturah Zainab ini adalah istri dari Prof. Dr. Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi, sosok ulama kharismatik di Mesir. Bahwa Syekh Abdussalam Abdul Fadhl menikahkan anak gadisnya termasuk si Zainab ini di usia belia. Lantas bagaimana si Zainab bisa sampai doktor, bahkan menjadi professor hebat?
Setelah menikah, Zainab berguru langsung kepada suaminya, sekaligus menjalankan tugasnya sebagai istri dan membesarkan anak-anaknya. Barulah setelah anak-anaknya sudah besar dan rumah tangganya matang, dia mulai terjun kuliah. Dengan kecerdasan hasil didikan ayahnya yang seorang wali dan suaminya yang Ushuliy, dia berakselarasi dalam pendidikannya dengan lesatan cepat. Mulai S1 tahun 1997 dan selesai tahun 2001. Melanjutkan S2 sembari menjadi asisten dosen, selesai tahun 2005. Meraih doktoral tahun 2008 dan langsung diangkat menjadi dosen tetap. Tahun 2019 dianugerahi gelar professor. Semuanya di Universitas Thantha.
Tak hanya berkat ayah dan suami, karakter keilmuannya juga sangat dipengaruhi oleh seorang guru besar yang membimbingnya dalam tesis dan disertasi. Siapakah guru besar itu?
Selama proses menyusun tesis dan disertasi, beliau mendapatkan promotor hebat, ulama kebanggaan Mesir saat ini, Prof. Dr. Ali Jum’ah. Mufti agung Mesir itu takjub dengan semangat dan kecerdasan yang dimiliki mahasiswinya bernama Zainab ini. Sehingga memberikan kepadanya bimbingan terbaik dan perhatian khusus. Tesis dan disertasinya itu naik meja percetakan dengan Taqdim (kata pengantar) dari Syekh Ali Jum’ah.
Bahasanya sangat fasih. Dari pujian-pujian yang beliau lontarkan kepada Syekh Abdullah Izzuddin, terpancar sosok keibuan yang lembut. Setiap mendengar pujian-pujian yang dilemparkan kepada beliau oleh para guru besar di sekelilingnya, beliau langsung terisak menangis. Padahal semua pujian itu bukanlah isapan jempol, melainkan kenyataan.
Yang mengagumkan dari Prof. Zainab, beliau sangat produktif melahirkan karya tulis ilmiah, berangkat dari riset dan analisa objektif-komparatif fikih, menyandingkan realita historis pada masa awal-awal Islam dengan kondisi sosial masa kini. Sehingga banyak tawaran-tawaran pembaruan fatwa yang diajukan dalam karya-karyanya.
Mufti agung Mesir saat ini Prof. Dr. Syauqi Allam memuji putri gurunya itu dengan mengatakan, “Prof. Zainab membawa beban ilmu batin dan zahir. Itu semua memancar dari tulisan-tulisannya. Goresan pena-nya tidak hanya berbobot ilmiah menerangi akal, juga mengandung cahaya yang menerangi hati pembacanya.”
Beliau memiliki beberapa makalah yang terbit di jurnal-jurnal ilmiah dan kitab-kitab yang dicetak Dar Al-Faruq, Darul Hadits, di antaranya Tajdid Al-Fikr Al-Fiqhiy yang terdiri dari beberapa seri.
Mereka bertiga adalah ulama bintang di Mesir saat itu. Salah satu dari mereka adalah Prof. Dr. Mustafa Abu Sulaiman Al-Nadwi adalah seorang Al-Muhaddits Al-Musnid. Sedangkan Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi adalah seorang yang tinggalnya jauh di luar Kairo, tepatnya di Mahallah Kubro. Beliau adalah beliau adalah sosok guru besar Ushul Fikih kaliber kelas dunia. Masyhur dan karismatik di kalangan kaum intelektual. Merupakan murid terbaik Syekh Muhammad Khalil Al-Khatib, seorang waliyullah dan ulama besar Thanta yang sangat dihormati oleh Syekh Mutawalli Al-Sya’rawi dan disegani oleh Presiden Anwar Saddat sampai sempat beberapa kali ditawarkan jabatan Grand Syekh Al-Azhar, tetapi beliau enggan menerimanya.
Dalam dars fikihnya, Maulana Syekh Abdullah Izzuddin berkali-kali menekankan, “Agar kalian mudah memahami Kitab Fiqih Madzhabi, bacalah tiga kitab berikut: 1) Al-Fawāid Al-Makkiah karya Syekh Muhammad bin Alawi Al-Saqqaf 2) Al-Madkhal Ilā Dirāsati Al-Madzāhib Al-Fiqhiyyah karya Prof. Dr. Ali Jum’ah 3) Al-Fath Al-Mubīn Fī Mushthlahāt Al-Fuqahā Wa Al-Ushūliyyīn karya Prof. Dr. Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi.”
Sedangkan salah Seorang Guru Besar dari kalangan wanita yang sangat disegani dan dihormati di Al-Azhar adalah bernama Prof. Dr. Zainab Abdussalam Abu Al-Fadhl itu, Beliau adalah Putri dari seorang waliyullah besar dan terkenal di Mahallah Kubra, bernama Al-Arif Billah Syekh Abdussalam Abul Fadhl. Beliau ulama besar Mesir abad XX yang terkenal dengan kezuhudan, kewara’an dan luar biasa giat dalam beribadah. Beliau memiliki ruang khalwat khusus di Masjid Mutawalli, sebuah masjid besar di Mahallah. Setiap hari beliau masuk masjid semenjak zuhur berdiam di sana dan baru pulang setelah Isya. Setiap tahunnya, sejak 29 Sya’ban beliau memasuki masjid untuk beri’tikaf selama sebulan Ramadhan penuh dan tidak keluar kecuali saat tibanya hari Idul Fithri.
Selain beribadah dan berdakwah di Masjid dengan kata-kata yang begitu menyentuh dan langsung menghunjam ke hati para hadirin, beliau juga menerima siapapun yang datang meminta bantuan untuk dipenuhi kebutuhannya. Terkenal luar biasa dermawan. Wibawanya mengalahkan para pejabat. Disegani oleh orang muslim maupun warga koptik. Sebagaimana pernah diceritakan Prof. Dr. Muhammad Ibrahim Al-Asymawi (yang saya share setelah postingan ini).
Syekh Abdussalam Abul Fadhl ini unik dalam mendidik anak-anak perempuannya, sangat over-protektif memingit demi menanamkan pada mereka ke-’iffahan, sehingga menganjurkan anak-anak gadisnya menikah di usia belia sebelum mereka melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Lantas bagaimana bisa kuliah kalau sudah berkeluarga duluan?
Uniknya lagi, yang mempersunting anak-anak gadisnya rata-rata yang saat ini menjadi guru besar di Universitas Al-Azhar. Ada Prof. Dr. Mahmud Itman, seorang guru besar dan Kepala Departemen Ushul Fiqh dan saat ini menjadi Wakil Dekan Fakultas Syari’ah Wal Qanun Universitas Al-Azhar Thantha. Ada guru kami Prof. Dr. Muhammad Al-Syarif, guru besar Hadits dan mantan wakil dekan Fakultas Ushuluddin Kairo. Dan tentunya, suami Dukturah Zainab ini, Prof. Dr. Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi.
Dan juga Dukturah Zainab ini adalah istri dari Prof. Dr. Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi, sosok ulama kharismatik di Mesir. Bahwa Syekh Abdussalam Abdul Fadhl menikahkan anak gadisnya termasuk si Zainab ini di usia belia. Lantas bagaimana si Zainab bisa sampai doktor, bahkan menjadi professor hebat?
Setelah menikah, Zainab berguru langsung kepada suaminya, sekaligus menjalankan tugasnya sebagai istri dan membesarkan anak-anaknya. Barulah setelah anak-anaknya sudah besar dan rumah tangganya matang, dia mulai terjun kuliah. Dengan kecerdasan hasil didikan ayahnya yang seorang wali dan suaminya yang Ushuliy, dia berakselarasi dalam pendidikannya dengan lesatan cepat. Mulai S1 tahun 1997 dan selesai tahun 2001. Melanjutkan S2 sembari menjadi asisten dosen, selesai tahun 2005. Meraih doktoral tahun 2008 dan langsung diangkat menjadi dosen tetap. Tahun 2019 dianugerahi gelar professor. Semuanya di Universitas Thantha.
Tak hanya berkat ayah dan suami, karakter keilmuannya juga sangat dipengaruhi oleh seorang guru besar yang membimbingnya dalam tesis dan disertasi. Siapakah guru besar itu?
Selama proses menyusun tesis dan disertasi, beliau mendapatkan promotor hebat, ulama kebanggaan Mesir saat ini, Prof. Dr. Ali Jum’ah. Mufti agung Mesir itu takjub dengan semangat dan kecerdasan yang dimiliki mahasiswinya bernama Zainab ini. Sehingga memberikan kepadanya bimbingan terbaik dan perhatian khusus. Tesis dan disertasinya itu naik meja percetakan dengan Taqdim (kata pengantar) dari Syekh Ali Jum’ah.
Bahasanya sangat fasih. Dari pujian-pujian yang beliau lontarkan kepada Syekh Abdullah Izzuddin, terpancar sosok keibuan yang lembut. Setiap mendengar pujian-pujian yang dilemparkan kepada beliau oleh para guru besar di sekelilingnya, beliau langsung terisak menangis. Padahal semua pujian itu bukanlah isapan jempol, melainkan kenyataan.
Yang mengagumkan dari Prof. Zainab, beliau sangat produktif melahirkan karya tulis ilmiah, berangkat dari riset dan analisa objektif-komparatif fikih, menyandingkan realita historis pada masa awal-awal Islam dengan kondisi sosial masa kini. Sehingga banyak tawaran-tawaran pembaruan fatwa yang diajukan dalam karya-karyanya.
Mufti agung Mesir saat ini Prof. Dr. Syauqi Allam memuji putri gurunya itu dengan mengatakan, “Prof. Zainab membawa beban ilmu batin dan zahir. Itu semua memancar dari tulisan-tulisannya. Goresan pena-nya tidak hanya berbobot ilmiah menerangi akal, juga mengandung cahaya yang menerangi hati pembacanya.”
Beliau memiliki beberapa makalah yang terbit di jurnal-jurnal ilmiah dan kitab-kitab yang dicetak Dar Al-Faruq, Darul Hadits, di antaranya Tajdid Al-Fikr Al-Fiqhiy yang terdiri dari beberapa seri.