Madrasah Al-Shaulatiyah Tertua di Tanah Hijaz
Madrasah Al-Shaulatiyah adalah madrasah formal tertua di Tanah Hijaz yang didirikan oleh Syekh Muhammad Rahmatullah Al-Kayrawani Al-Hindi (1818-1891 M). Seorang ulama dan pahlawan asal India keturunan Sayidina Usman Bin Affan Radhiyallahuanhu yang memimpin perjuangan melawan imperialis Inggris di tanah airnya. Hanya saja karena keadigdayaan konspirasi Eropa, revolusi yang beliau pimpin belum berhasil mengusir penjajah. Keadaan berbalik, Syekh Rahmatullah diburu pemerintah Inggris dengan ancaman dipenggal kepalanya. Beliapun melarikan diri mencari suaka menuju Tanah Suci Mekkah.
Musibah itu berbalik menjadi hikmah. Di Mekah, beliau memberikan warna baru untuk sistem pendidikan di sana yang semula non-formal terpusat di Masjidil Haram dan Kuttab, serta terbatas mengajarkan ilmu-ilmu agama. Karena tumbuh di India dengan didikan keluarga ulama, di Mekkah beliau disambut oleh kaum intelektual dan diberikan panggung mengajar di Masjidil Haram, juga membuka halaqah di rumahnya sendiri. Selain ilmu-ilmu Syar’iyah, beliau mengajarkan ilmu falak, handasah, matematika, sosiologi dengan kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, Adabul Bahts Wal Munazharah dan lainnya.
Dari halaqah pengajarannya itu, terlahir para alumnus hebat. Kian banyak murid berdatangan, sehingga dengan kedermawanannya, beliau terinspirasi untuk menginisiasi madrasah formal dengan sistem dan kurikulum yang berbeda dari sistem pembelajaran selama ini. Meminjam sebuah hall bernama Dar Al-Tsaqifah yang terletak di dekat Jabal Hindi, beliau merintis lembaga pendidikan yang untuk sementara dikenal dengan Madrasah Hindiyah atau Madrasah Syekh Rahmatullah.
Madrasah itu belum memiliki bangunan permanen, hingga tiba saatnya, seorang wanita kaya raya dermawan datang berhaji dari India bernama Hajjah Shawlatun Nisa. Dia ingin mendermakan hartanya untuk khidmah para tamu Allah yang menunaikan ibadah haji di Makkah dengan mendirikan asrama haji. Tetapi menantu Nyonya itu yang merupakan salah satu santri Madrasah Syekh Rahmatullah, memberikan masukan agar hartanya sebaiknya dialokasikan untuk pembangunan madrasah. Mendengar tentang lembaga rintisan Syekh Rahmatullah, Nyonya kaya itupun tertarik mengivestasikan hartanya untuk pahala akhirat, ia menyampaikan lobby agar Syekh Rahmatullah bersedia menerima bantuannya.
Terjalinlah kesepakatan. Nyonya dermawan itu membelikan lahan dan menanggung semua biaya pembangunan, bahkan nantinya biaya dan kebutuhan hidup para pelajar ditanggung. Peletakan batu pertama pembangunan dimulai 15 Sya’ban 1290 H dan mulai aktif dipakai untuk kegiatan belajar-mengajar Muharram 1291 Hijirah.
Pada acara peresmian yang meriah dihadiri tokoh-tokoh besar Makkah, Syekh Rahmatullah menolak nama madrasah dinisbatkan pada namanya. Ia menyematkan nama Madrasah al-Shaulatiah sebagai penghargaan atas kebaikan Hajjah Shaulatun Nisa.
Tidak sedikit terpaan ujian dan fitnah yang dirasakan madrasah ini, terutama musuh-musuh Syekh Rahmatullah dari kalangan penjajah Inggris di India yang dengki, berupaya memprovokasi pemerintah Mekkah menutup sekolah milik orang asing tersebut. Tetapi berkat pertolongan Allah dan keikhlasan para masyaikh yang mengajar, madrasah ini tetap terjaga eksistensinya melahirkan ulama besar ke berbagai negara. Dari Indonesia sendiri, pernah mengecap pembelajaran di sini KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari dan TGH. Zainuddin Abdul Majid. Raja Abdul Aziz Ali Saud ketika mengunjungi madrasah ini, melihat-lihat kelas dan sistem pembelajarannya, ia berkomentar:
هي أزهر بلادي
“Ini benar-benar Al-Azharnya negeriku.”
Syekh Rahmatullah juga terkenal dengan kelihaiannya dalam berdebat. Beliau seringkali mendapatkan undangan dari Sultan Dinasti Ustmani di Turki untuk menjadi perwakilan umat Islam berdebat melawan para misionaris. Musuh debat yang sempat membuat sultan Abdul Aziz Khan pening, gentar menghadapi wibawa keilmuan seorang Syekh Rahmatullah.
Kiprah pendidikan Syekh Rahmatullah diteruskan oleh keturunannya. Sampai yang terbaru kedudukan mudir dijabat oleh cicit beliau, Syekh Majid Sa’id Rahmatullah.
Saat berkunjung ke Madrasah legendaris ini pada musim haji tahun 2017, alhamdulillah bisa bertemu dengan Mudir yang terkenal akan kebaikan hatinya itu. Setelah tau saya kuliah di Al-Azhar, beliau bertanya “Mengapa tidak di Al-Shaulatiyah?”. Belum sempat saya menjawab, beliau sendiri yang langsung menyambar kekagetan saya akan pertanyaan itu dengan sebuah hiburan, “Tidak mengapa. Al-Shaulatiyah adalah Al-Azharnya Hijaz.” Dalam pertemuan kala itu, beliau meminta saya untuk melantunkan sebuah nasyid. Dan saya bawakan nasyid madih yang saat itu sedang saya senangi, yang liriknya:
الله أرجو أن أرى بزماني
روضاَ لطه سيد الأكوان
ماحي ظلام الشرك باب المرتجى
للأنبيا والإنس ثم الجان
رب الوجود أتيت بابك ضارعاً
وبسطت كفي راجي الإحسان
أرني المدينة يا إلهي واكفني
دنيا وأخرى نائبات زماني