Menentukan Awal Bulan Hijriyah antara Ru'yah dan Hisab (bagian 2)
Syari’at Islam merupakan Agama yang toleran dan kekal selamanya sampai Allah mengumumkan akhir kehidupan dunia ini. Agama ini berlaku untuk semua Umat manusia dan untuk segala masa. Oleh karena itu kita lihat di dalam al-qur’an dan As-Sunnah petunjuk-petunjuk detail terhadap hal-hal yang bakal terjadi. Dan bila hal itu terjadi, as-sunnah menafsirkannya dan memberitahukannya, walaupun ada kemungkinan orang terdahulu menafsirkannya dengan tidak semestinya.
Diisyaratkan dalam As-Sunnah tentang hal yang tengah kita jelaskan sebelumnya yaitu persoalan menentukan hilal di awal bulan. Al-Bukhari meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَةٌ لاَنَكْتُبُ وَلاَنَحْسِبُ, الشَّهْرُ هَكَذَا وَ هَكَذَا ...يعنى تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
“Sesuangguhnya kami adalah umat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan tidak dapat menghitung, bulan itu demikian dan demikian... maksudnya, terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari”.
Malik meriwayatkannya dalam Al-Muwatha’, Al-Bukhari dan juga Muslim dengan redaksi yang lain adalah sebagai berikut:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيلَةً،
“Satu bulan itu dua puluh sembilan malam.
فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ،
Maka jangan berpuasa sampai kalian melihatnya
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah tiga puluh hari”
Diisyaratkan dalam As-Sunnah tentang hal yang tengah kita jelaskan sebelumnya yaitu persoalan menentukan hilal di awal bulan. Al-Bukhari meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَةٌ لاَنَكْتُبُ وَلاَنَحْسِبُ, الشَّهْرُ هَكَذَا وَ هَكَذَا ...يعنى تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
“Sesuangguhnya kami adalah umat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan tidak dapat menghitung, bulan itu demikian dan demikian... maksudnya, terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari”.
Malik meriwayatkannya dalam Al-Muwatha’, Al-Bukhari dan juga Muslim dengan redaksi yang lain adalah sebagai berikut:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيلَةً،
“Satu bulan itu dua puluh sembilan malam.
فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ،
Maka jangan berpuasa sampai kalian melihatnya
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah tiga puluh hari”
Baca juga: Menentukan Awal Bulan Hijriyah antara Ru'yah dan Hisab (bagian 1)
Para ulama terdahulu telah memberikan penafsiran yang benar terhadap hadits di atas. Namun mereka telah salah dalam menta’wilkannya. Di antara qaul mereka yang paling universal adala qaul Ibnu Hajar dalam Fathul Baari:
“Yang dimaksud dengan hisab di sini adalah perhitungan bintang-bintang dan perjalanannya dan yang mengetahuinya hanya sekelompok kecil. Karenanya penentuan puasa dan lainnya dikaitkan dengan ru’yat untuk menghindarkan kesulitan dari mereka yang harus memperhatikan perjalanan bintang dengan teliti. Ketentuan puasa dengan cara yang seperti itu terus berjalan walaupun setelah generasi mereka ada yang mengetahui cara seperti itu. Bahkan konteks hadits secra eksplisit sama sekali menafikan pengkaitan ketentuan hukum tersebut dengan hisab dan hal itu jelas oleh sabda Rasulullah” dan bila awan menghalangi pandangan kalian, maka sempurnakanlah bilangan harinya menjadi 30 hari”. Dan tidak dikatakan “ maka tanyakan kepada ahli Hisab”. Dan hikmah yang terkandung di dalamnya adalah, bilangan bulan pada saat pandangan mereka terhalangi awan sama menurut semua orang yang mendapat beban, sehingga perselisihan pendapat dapat dihindari. Sebagian orang ada yang berpendapat agar bertanya kepada ahli nujum, dan mereka adalah kelompok Ar-Rawafidh. Dan dikutip dari beberapa orang ahli fikih bahwa mereka menyetujuinya. Al-baji berkata: Ijma’ ulama salafussaleh menjadi hujjah atas mereka”. Ibnnu Bazizah berkata: ”Dan itu adalah mazhab batil, karena syari’ah telah melarang berkecimpung dalam ilmu nujum, karena bersandar pada perkiraan, tidak ada kepastian dan dugaan yang lebih mendekati kepada keyakinan, padahal bila permasalahan berkaitan dengannya, permasalahan akan menjadi sempit karena hal itu hanya diketahui oleh segelintir orang saja”.
Baca juga: Hadits Tentang Penyebab Bencana
Penafsiran ini adalah benar, bahwa yang dianggap adalah ru’yah bukannya hisab. Tetapi pentakwilannya adalah keliru, bahwa bila terjadi kemudian ada orang yang mengetahuinya, penentuan puasa dengan cara itu akan terus berlangsung (yaitu berpedoman pada ru’yah saja). Karena masalah berpedoman pada ru’yah saja ini timbul berdasarkan alasan yang disebut teksnya dalam hadits yaitu bahwa umat “buta huruf, tidak dapat menulis dan menghitung”. Dan alasan beredar bersama yang diberi alasan, ketika ada dan tidak adanya. Maka ketika umat telah terbebas dari buta huruf, sehingga mereka sudah pintar membaca dan menghitung itu artinya orang yang mengetahui ilmu tersebut jumlahnya semakin banyak dan mereka dapat mencapai keyakinan dan kepastian dalam menghisap permulaan bulan dan mereka dapat mempercayai cara hisap ini sebagaimana mereka dapat mempercayai cara ru’yat atau lebih mempercayainya. bila kondisi berubah seperti ini, maka menjadi suatu keharusan untuk kembali kepada keyakinan yang pasti dan menetapkan bulan sabit dengan menggunakan hisab dan tidak kembali untuk menggunakan ru’yat kecuali ketika dirasakan sulit, seperti bagi orang yang tinggal dipedalaman di mana berita yang benar tentang ahli hisab tidak sampai kepada mereka.
Bila kembali hanya kepada hisab menjadi suatu kewajiban dengan hilangnya alasan yang bisa menghalanginya, maka adalah kewajiban pula kembali kepada hisab yang hakiki dalam menentukan bulan sabit, dan meninggalkan kemungkinan dan ketidak mungkinan ru’yah. Maka permulaan bulan yang sebenarnya adalah malam di mana bulan sabit adalah kelihatan setelah tenggelamnya matahari, walaupun hanya sekejab menurut pandangan Yusuf Al-Qaradhawi.
Maka pendapat tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat-pendapat terdahulu, yaitu perbedaan hukum mengikuti perbedaan orang yang mendapatkan beban. Hal yang seperti itu banyak terdapat dalam hukum syariah yang diketahui oleh ahli ilmu dan lainnya. Sebagai contaoh dalam maslah ini adalah bahwa hadits “dan bila wan menghalangi pandangan kalian, maka sempurnakanlah bilangannya menjadi 39 hari”.
Para ulama terdahulu telah memberikan penafsiran yang benar terhadap hadits di atas. Namun mereka telah salah dalam menta’wilkannya. Di antara qaul mereka yang paling universal adala qaul Ibnu Hajar dalam Fathul Baari:
“Yang dimaksud dengan hisab di sini adalah perhitungan bintang-bintang dan perjalanannya dan yang mengetahuinya hanya sekelompok kecil. Karenanya penentuan puasa dan lainnya dikaitkan dengan ru’yat untuk menghindarkan kesulitan dari mereka yang harus memperhatikan perjalanan bintang dengan teliti. Ketentuan puasa dengan cara yang seperti itu terus berjalan walaupun setelah generasi mereka ada yang mengetahui cara seperti itu. Bahkan konteks hadits secra eksplisit sama sekali menafikan pengkaitan ketentuan hukum tersebut dengan hisab dan hal itu jelas oleh sabda Rasulullah” dan bila awan menghalangi pandangan kalian, maka sempurnakanlah bilangan harinya menjadi 30 hari”. Dan tidak dikatakan “ maka tanyakan kepada ahli Hisab”. Dan hikmah yang terkandung di dalamnya adalah, bilangan bulan pada saat pandangan mereka terhalangi awan sama menurut semua orang yang mendapat beban, sehingga perselisihan pendapat dapat dihindari. Sebagian orang ada yang berpendapat agar bertanya kepada ahli nujum, dan mereka adalah kelompok Ar-Rawafidh. Dan dikutip dari beberapa orang ahli fikih bahwa mereka menyetujuinya. Al-baji berkata: Ijma’ ulama salafussaleh menjadi hujjah atas mereka”. Ibnnu Bazizah berkata: ”Dan itu adalah mazhab batil, karena syari’ah telah melarang berkecimpung dalam ilmu nujum, karena bersandar pada perkiraan, tidak ada kepastian dan dugaan yang lebih mendekati kepada keyakinan, padahal bila permasalahan berkaitan dengannya, permasalahan akan menjadi sempit karena hal itu hanya diketahui oleh segelintir orang saja”.
Baca juga: Hadits Tentang Penyebab Bencana
Penafsiran ini adalah benar, bahwa yang dianggap adalah ru’yah bukannya hisab. Tetapi pentakwilannya adalah keliru, bahwa bila terjadi kemudian ada orang yang mengetahuinya, penentuan puasa dengan cara itu akan terus berlangsung (yaitu berpedoman pada ru’yah saja). Karena masalah berpedoman pada ru’yah saja ini timbul berdasarkan alasan yang disebut teksnya dalam hadits yaitu bahwa umat “buta huruf, tidak dapat menulis dan menghitung”. Dan alasan beredar bersama yang diberi alasan, ketika ada dan tidak adanya. Maka ketika umat telah terbebas dari buta huruf, sehingga mereka sudah pintar membaca dan menghitung itu artinya orang yang mengetahui ilmu tersebut jumlahnya semakin banyak dan mereka dapat mencapai keyakinan dan kepastian dalam menghisap permulaan bulan dan mereka dapat mempercayai cara hisap ini sebagaimana mereka dapat mempercayai cara ru’yat atau lebih mempercayainya. bila kondisi berubah seperti ini, maka menjadi suatu keharusan untuk kembali kepada keyakinan yang pasti dan menetapkan bulan sabit dengan menggunakan hisab dan tidak kembali untuk menggunakan ru’yat kecuali ketika dirasakan sulit, seperti bagi orang yang tinggal dipedalaman di mana berita yang benar tentang ahli hisab tidak sampai kepada mereka.
Bila kembali hanya kepada hisab menjadi suatu kewajiban dengan hilangnya alasan yang bisa menghalanginya, maka adalah kewajiban pula kembali kepada hisab yang hakiki dalam menentukan bulan sabit, dan meninggalkan kemungkinan dan ketidak mungkinan ru’yah. Maka permulaan bulan yang sebenarnya adalah malam di mana bulan sabit adalah kelihatan setelah tenggelamnya matahari, walaupun hanya sekejab menurut pandangan Yusuf Al-Qaradhawi.
Maka pendapat tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat-pendapat terdahulu, yaitu perbedaan hukum mengikuti perbedaan orang yang mendapatkan beban. Hal yang seperti itu banyak terdapat dalam hukum syariah yang diketahui oleh ahli ilmu dan lainnya. Sebagai contaoh dalam maslah ini adalah bahwa hadits “dan bila wan menghalangi pandangan kalian, maka sempurnakanlah bilangannya menjadi 39 hari”.
Baca juga: Nasehat Penting Untuk Pelajar Muslim
Para ulama menafsirkan riwayat yang global “ maka perkirakanlah bilangannya”. Dengan riwayat juga yang memberikan penafsiran “maka sempurnakanlah bilangannya”. Akan tetapi seorang Imam besar dalam mazhab Syafi’i, bahkan beliau adalah Imam mereka pada masanya , yaitu Abul Abbas Ahmads bin Umar bin Suraj, memadukan kedua riwayat ini dan menjadikannya dalam dua situasi yang berbeda bahwa Rasulullah bersabda: “maka perkirakan bilangannya” artinya adalah perkirakanlah sesuai dengan manzilah bulan dan ucapan ini Allah mengkhususkannya untuk orang yang menguasai ilmu yang membahas masalah ini. Dan sabda Rasulullah “ Maka sempurnakanlah bilangannya” adalah ditujukan kepada masyarakat umum.
Pendapat Yusuf Al-Qaradhawi hampir sama dengan pendapat Ibnu Suraij. Hanya saja Ibnu suraij menjadikannya khusus dalam kondisi awan mengahalangi pandangan sehingga bulan sabit tidak dapat terlihat dan beliau menjadikan berpegang kepad hisab hanya untuk kelompok tertentu saja sesuai dengan kondisi pada masa itu di mana orang yang menguasai ilmu tersebut hanya segelintir orang saja.
Adapun pendapat Yusuf al-Qaradhawi berpedoman kepada hisab yang teliti dan dapat dipercaya berlaku secara umum bagi masyarakat luas karena pada masa sekarang ini berita dapat disebar luaskan dalam tempo yang sangat singkat, dan berpegang kepada ru’yat hanya berlaku untuk masyarakat yang berada dipedalaman yang tidak sampai berita tentang hisap kepada mereka atau mereka tidak memiliki ilmu tentang hisab sehingga menreka tidak meyakini tentang keabsahan ilmu ini sebagai alat untuk menentukan awal bulan untuk kaum muslimin untuk ibadah yang tertentu. Pendapat ini lebih moderat dan lebih dekat kepada fikih yang benar dan kepad pemahaman yang benar tentang hadits Nabi dalam menentukan awal bulan Qamariayah.
Bersambung>>>>>>>>>
Para ulama menafsirkan riwayat yang global “ maka perkirakanlah bilangannya”. Dengan riwayat juga yang memberikan penafsiran “maka sempurnakanlah bilangannya”. Akan tetapi seorang Imam besar dalam mazhab Syafi’i, bahkan beliau adalah Imam mereka pada masanya , yaitu Abul Abbas Ahmads bin Umar bin Suraj, memadukan kedua riwayat ini dan menjadikannya dalam dua situasi yang berbeda bahwa Rasulullah bersabda: “maka perkirakan bilangannya” artinya adalah perkirakanlah sesuai dengan manzilah bulan dan ucapan ini Allah mengkhususkannya untuk orang yang menguasai ilmu yang membahas masalah ini. Dan sabda Rasulullah “ Maka sempurnakanlah bilangannya” adalah ditujukan kepada masyarakat umum.
Pendapat Yusuf Al-Qaradhawi hampir sama dengan pendapat Ibnu Suraij. Hanya saja Ibnu suraij menjadikannya khusus dalam kondisi awan mengahalangi pandangan sehingga bulan sabit tidak dapat terlihat dan beliau menjadikan berpegang kepad hisab hanya untuk kelompok tertentu saja sesuai dengan kondisi pada masa itu di mana orang yang menguasai ilmu tersebut hanya segelintir orang saja.
Adapun pendapat Yusuf al-Qaradhawi berpedoman kepada hisab yang teliti dan dapat dipercaya berlaku secara umum bagi masyarakat luas karena pada masa sekarang ini berita dapat disebar luaskan dalam tempo yang sangat singkat, dan berpegang kepada ru’yat hanya berlaku untuk masyarakat yang berada dipedalaman yang tidak sampai berita tentang hisap kepada mereka atau mereka tidak memiliki ilmu tentang hisab sehingga menreka tidak meyakini tentang keabsahan ilmu ini sebagai alat untuk menentukan awal bulan untuk kaum muslimin untuk ibadah yang tertentu. Pendapat ini lebih moderat dan lebih dekat kepada fikih yang benar dan kepad pemahaman yang benar tentang hadits Nabi dalam menentukan awal bulan Qamariayah.
Bersambung>>>>>>>>>