Ulama Pelopor Fatwa Haram Ajaran Komunisme
Teungku Haji Abdullah Ujong rimba merupakan Ulama pelopor fatwa haramkan ajaran komunisme. Beliau adalah Ulama tarekat yang memberantas aliran kebatinan Pada penghujung tahun 1965. Tepatnya dua bulan setengah setelah terjadi pengkhianatan kaum komunis Indonesia yang didukung gerakan komunis internasional, di Banda Aceh berlangsung Musyawarah Alim Ulama se-Daerah Istimewa Aceh di hawah pimpinan ulama besar Teungku Haji Abdullah Ujongrimba. Musyawarah tersebut hasilnya antara lain mengeluarkan fatwa yang mengharamkan ajaran komunisme dan menyatakan bahwa para penggerak, pelopor dan pelaksana G-30-S (Gerakan 30 September) adalah "kafir harbi" yang wajib dibasmi. Fatwa tersebut ditandatangani oleh Teungku Abdullah Ujongrimba sebagai Ketua Presidium Musyawarah dan para ulama peserta musyawarah lainnya. Sejarah hidup singkat beliaulah yang akan dipaparkan pada tulisan dibawah ini.
Ummul Qura dari Mekkah
Setelah Pemerintah Hindia Belanda melarang berdirinya Syarikat Islam di Aceh dan sejumlah pemimpinnya ditangkap, maka Teungku Syekh Abdul- hamid Samalanga (Ayah Hamid) dapat meloloskan dirinya ke luar negeri, yaitu ke Mekkah lewat Pulau Pinang. Dari Mekkah, Ayah Hamid mengadakan kontak dengan para ulama, terutama yang anggota/pemimpin Syarikat Islam, lewat surat-surat untuk menganjurkan agar para ulama/pemimpin Syarikat Islam tetap berjuang dengan cara apa saja yang mungkin. Setelah diketahui banyak surat-suratnya yang tidak sampai, mungkin disensor untuk ditahan kekuasaan Hindia Belanda, maka Ayah Hamid mengirim surat-surat kepada teman-temannya para ulama di Aceh lewat surat kabar Ummul Qura yang terbit di Mekkah dalam bahasa Arah.
Caranya menuliskan pesan-pesannya dengan huruf dan bahasa Arab di celah-celah tulisan berita atau artikel pada halaman halaman Ummul Qura. Dengan cara ini, berhasillah maksud Ayah Hamid, karena lolos dari sensor alat kekuasaan Hindia Belanda Salah seorang ulama yang menerima surat kabar Ummul Qura yang membawa pesan Ayah Hamid, yaitu Teungku Haji Abdullah Ujongrimba, yang merupakan anggota Syarikat Islam.
Pada penghujung tahun dua puluhan. Teungku Haji Abdullah Ujongrimba menerima Ummul Qura dari Ayah Hamid, yang di dalamnya membawa pesan-pesan agar Teungku Haji Abdullah Ujongrimba bersama sama para ulama lainnya bergerak untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam di Aceh. Dalam surat kabar Ummul Qura tersebut, Ayah Hamid menulis dengan huruf dan bahasa Arab antara baris-barisnya informasi tentang gerakan pem- baharuan sistem pendidikan Islam di Timur Tengah, terutama di Mesir, sebagai langkah untuk memerdekakan kembali Dunia Islam dari penjajahan Barat Nasrani. Pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah dimulai Tuanku Raja Keumala, harus segera diikuti para ulama lainnya, bahkan harus ditingkatkan.
Ayah Hamid menjelaskan, bahwa kalau kita tidak mungkin lagi bergerak lewat partai politik Syarikat Islam cara terang-terangan, kita harus mencari jalan lain. Salah satu jalan lain yang amat penting, yaitu jalan pembaharuan sistem pendidikan Islam, untuk membangkitkan dan meningkatkan kecerdasan serta kesadaran umat. Teungku Haji Abdullah Ujongrimba sendiri merasa kurang mampu melaksanakan "pesan Ayah Hamid" itu, berhubung beliau seorang ulama yang bukan pemimpin rakyat, maka surat kabar Ummul Qura yang membawa pesan "pembaharuan sistem pendidikan Islam" disampaikan kepada Teungku Mu hammad Daud Beureueh, seorang ulama yang pemimpin rakyat.
Kemudian, Teungku Muhammad Daud Beureueh bersama para ulama lainnya, termasuk Teungku Haji Abdullah Ujongrimba, bergerak cepat me laksanakan pesan Ayah Hamid, yang sebenarnya juga telah menjadi cita cita mereka. Hasilnya, dalam waktu yang relatif singkat berubahlah dayah dayah menjadi madrasah-madrasah, yang bukan saja secara fisik yang berubah, tetapt juga sistem pendidikan dan kurikulumnya. Dengan demikian, masuklah "ilımu umum" dan bahasa Inggris atau Belanda ke dalam madrasah-madrasah di Aceh.
Dalam bidang pendidikan
Menurut cetakan dalam bukunya, Hakikat Islam, bahwa Teungku Haji Abdullah Ujongrimba lahir dalam bulan Rabiul Awal 1318 Hijrah Juni/Juli 1900) di Kampung Ujongrimba, Kabupaten Pidie. Ayahnya bernama Teungku Haji Hasyim Uleebalang Keumangan. Menurut hemat saya, bahwa orang tua heliau bukan Uleebalang Keumangan, mungkin salah cetak atau ada ketinggalan waktu dicetak. Yang benar (mudah-mudahan) Teungku Haji Hasyim, Kadi Uleehalang Peusangan.
Mula mula Abdullah belajar pada orang tuanya, Teungku Haji Hasyim. Dari orang tuanya beliau mempelajari dasar-dasar bahasa Arab, pokok-pokok ajaran Islam, yaitu akidah, akhlak dan fikih ibadah. Dalam tahun 1341 Hijriah, dari Dayah le Leubeu beliau pindah ke Dayah Lamsi, pusat pendidikan Islam yang dibina langsung oleh Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, di Kabupaten Aceh Besar. Di dayah yang terkenal ini, beliau memperdalam ilmu tafsir, hadis dan fikih. Dalam tahun 1344 Hijriah, pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan studi. Beliau bermukim di Mekkah selama tiga tahun dan dalam waktu yang lama itu, Teungku Haji Abdullah Ujongrimba menambahkan ilmu dalam berbagai bidang: tafsir, hadis, fikih, sejarah, mantik, ilmu kalam dan juga berguru pada Mursyid Tarekat Al Haddadiyah.
Selain dari belajar, beliau pergunakan kesempatan tiga tahun di Saudi Arabia untuk mengadakan kontak dengan para ulama/pemimpin Islam dari Dunia Islam, terutama pada musim haji. Setelah kembali ke Aceh dalam tahun 1347 Hijriah, beliau mendirikan schuah pusat pendidikan Islam, yaitu Dayah Ujongrimba. Di dayah inilah beliau mengembangkan ilmunya. Setahun kemudian, bersama-sama dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh mendirikan organisasi Jam'iyah Diniyah di Sigli, yang kemudian merupakan salah satu pusat pendidikan Islam terkenal di Aceh.
Sikap hidup Teungku Haji Abdullah Ujongrimba
Sekalipun Teungku Haji Abdullah Ujongrimba mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang Agama Islam, namun beliau tetap berpegang pada Mazhab Syafi. Dalam pada itu, beliau tidak berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tutup. Beliau berpendapat bahwa pintu ijtihad terbuka sepanjang zaman, tetapi tidak semua orang bisa menjadi mujtahid; syarat-syarat bagi seorang mujtahid. Menurut beliau, tidaklah semua orang dapat mengambil hukum sendiri dari Al-quran dan Al-Hadis, sekalipun dia pandai bahasa Arab, apalagi bagi mereka yang tidak pandai bahasa Arab. Tentu tidak mungkin mengambil hukum dari terjemahan Alquran dan Al Hadis.
Sekalipun beliau menganut Tarekat Al Haddadiyah, namun beliau sama sekali tidak dapat membenarkan aliran-aliran kebatinan yang telah menyeleweng dari ajaran Islam. Beliau menentang praktik-praktik tarekat yang bertujuan mencari uang dengan mengkultuskan diri sendiri supaya dianggap orang sebagai "ulama keramat". Untuk memberantas aliran-aliran kebatinan dan praktik-praktik tarekat yang salah, beliau telah mengarang tiga buah kitab, yaitu:
- Kitab Salek Buta, yang bertujuan memberantas aliran-aliran kebatinan yang berasal dari paham Wahdatul Wujud.
- Kitab Ilmu Tharikat, yang bertujuan memberi keterangan tentang tarekat yang benar dan tarekat yang salah.
- Kitab Hakikat Islam, yang bertujuan menjelaskan ajaran Islam yang sebenarnya.
Bagi Teungku Haji Abdullah Ujongrimba, "tarekat" yaitu jalan mendekatkan diri kepada Allah, Maha Pencipta, dengan mengadakan "tertib-zikir" yang tertentu, bukan jalan untuk menyesatkan orang dari hakikat Islam. Dalam pergerakan, selagi muda beliau telah memasuki partai politik Syarikat Islam. Kemudian beliau bergerak dalam PUSA, organisasi yang nonpolitik tetapi melaksanakan politik praktis. Teungku Haji Abdullah Ujongrimba yang sangat kuat ilmu kalamnya, sangat anti kepada ajaran komunisme, ateisme dan semacamnya. Pada waktu pengaruh Partai Komunis Indonesia atas Pemerintah Soekarno sudah demikian hebatnya, beliau sangat gelisah karena khawatir akan hilangnya Islam di Indonesia. Karena hal tersebut di atas, maka dalam September 1953 beliau ikut memberontak bersama-sama Teungku Muhammad Daud Beureueh dan ulama ulama lainnya; mereka mendirikan Negara Islam yang dinamakan Darul Islam dengan tentaranya yang bernama Tentara Islam Indonesia (TII).
Tetapi, kemudian setelah ternyata bahwa pengaruh kaum komunis tidak seperti yang diperkirakan, maka dalam tahun 1956 beliau kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Beliau berpendapat, untuk beliau sendiri lebih bermantaat berjuang dalam Republik bersama ulama-ulama yang tidak ikut Darul Islam, untuk melawan ajaran komunisme. Mungkin hasil sebuah renungan Sebelum ikut dalam Darul Islam, Teungku Abdullah Ujongrimba juga menjadi salah ecorang tokoh partai politik Islam terbesar, yaitu Masyumi. sekalipun tidak terlalu aktif. Dalam dunia pegawai, pada masa pendudukan Jepang, menjadi anggota Atjeh Syu Syuko Hoin (Mahkamah Tinggi Agama Daerah Aceh).
Dalam tahun 1946 menjadi Ketua Mahkamah Syariah Kabupaten Pidie di Sigli. Dalam tahun 1960 menjadi Ketua Mahkamah Syariah Daerah Istimewa Aceh di Banda Aceh sampai pensiun. Dalam tahun 1968 menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) selama satu periode (lima tahun) dan karenanya mendapat Bintang Mahaputra Kelas III. Dalam Pemilihan Umum tahun 1977 dan 1982, Teungku Haji Abdullah Ujongrimba terdaftar menjadi "calon anggota DPR" dalam daftar Golkar dan beliau terpilih, tetapi kemudian mengundurkan diri.
Dalam tahun 1977 menjadi Anggota MPR-RI mewakili Golongan Karya, Pengaruh Thantawi Jauhari Sewaktu di Mekkah, Teungku Haji Abdullah Ujongrimba telah membeli dan mempelajari Tafsir Jawahir, karangan Syekh Thanthawi Jaubari, demikian pula beliau banyak membaca karangan-karangan Thanthawi lainnya. Karena itu, pengaruh "alam pikiran" Thanthawi atas beliau sangat besar. Beliau bercita-cita agar umat Islam maju dan berpengetahuan luas. Memang cita-cita beliau tinggi, tetapi dalam mencapai cita-citanya beliau kurang progresif, mungkin karena beliau seorang ulama/ilmuwan yang juga penganut tarekat. Setahu saya, bahwa dalam tahun duapuluhan dan awal tigapuluhan hanya dua ulama di Aceh yang memiliki dan mempelajari Tafsir Jawuhir karangan Thanthawi Jauhari, yaitu Teungku Abdullah Ujongrimba dan Teungku Mu- hammad Yunus Reudeup Montasiek. Sebagaimana halnya Teungku Abdullah Ujongrimba, demikian pula Teungku Muhammad Yunus Reudeup sangat terpengaruh dengan "alam pikiran Thanthawi Jauhari".
Beliaulah, Teungku Muhammad Yunus Reudeup, dalam tahun 1928 mendirikan madrasah dengan sistem baru di Montasie; pakai kelas, bangoku papan tulis dan lain-lain alat sekolah, sekalipun kemudian mati lagi, karen hanyak tantangan dari ulama-ulama lain. Murid-murid pertama dari Madrasah Teungku Muhammad Yunus Reudeup itu: A. Hasjmy, Thamrin Amin, Ishak Amin, Ishak Ibrahim dan Mahmud. Sore-sore kami diajar berbaris seperti pandu/pramuka. Kita orang Islam harus ada tentara sendiri, demikian kata beliau kepada kami murid-muridnya.
Ketua Majelis Ulama
Dalam buku Sejarah Ringkas Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, karya Drs. Haji Ismail Muhammadsyah (Ismuha), S.H., pada halaman pertama antara lain tertulis: "Dalam rangka penumpasan G.30.S di Daerah Istimewa Aceh ini, Panglima Kodam I Iskandarmuda selaku Penguasa Perang Daerah untuk Dacrah Istimewa Aceh, secara terpisah meminta pendapat berupa Hukum Islam mengenai G.30.S. itu kepada:
- Teungku Haji Abdullah Ujongrimba (Ketua Mahkamah Syari'ah/Pengadilan Agama Daerah Istimewa Aceh);
- Teungku Haji Hasan (Kepala Kantor Urusan Agama Propinsi Daerah Istimewa Aceh);
- Drs. Haji Ismuha (Rektor IAIN Jamiah Ar Raniry Darussalam, Banda Aceh).
Musyawarah yang dipimpin Teungku Haji Abdullah Ujongrimba telah mengambil keputusan keputusan penting, yang maksudnya: ajaran komunisme kufur/haram hukumnya, penganutnya yang sadar adalah kafir, pelaku G.30.S adalah kafir harbi yang wajib ditumpas, pembubaran PKI wajib hukumnya. orang yang menumpas G.30.S. karena Allah dan terbunuh mati syahid hukum Selain dari itu, musyawarah memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi ulama yang diberi nama Majelis Permusyawaratan Ulama Daerah Istimewa Aceh.
Untuk pertama kali dipilih Teungku Haji Abdullah Ujongrimba menjadi Ketuanya. Dengan adanya fatwa Musyawarah Alim Ulama se Daerah Istimewa Aceh, yang dipimpin Teungku Haji Abdullah Ujongrimba, maka pada tanggal 19 Desember 1965 Panglima Kodam I Iskandarmuda mengumumkan pembubaran Partai Komunis Indonesia dan organisasi-organisasi bawahannya dalam daerah hukumnya, yaitu Daerah Istimewa Aceh. Apabila sekarang, setelah Teungku Haji Abdullah Ujongrimba meninggal dunia pada tanggal 11 September 1983 (4 Zulhijah 1403 Hijriah), kita akan mengenang kembali amal perjuangan beliau, maka harus kita akui bahwa fatwa mengharamkan ajaran komunisme oleh alim ulama Aceh di bawah pimpinan beliau adalah amat penting.
Semenjak organisasi Majelis Ulama didirikan dalam bulan Desember 1965, Teungku Haji Abdullah Ujongrimba terus menerus menjadi Ketua. sekalipun telah beberapa kali perubahan susunan pengurus. Pada awal tahun delapanpuluhan, kesehatan beliau terus menerus menurun, sehingga sudah tidak memungkinkan lagi memimpin organisasi Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh yang semakin berkembang. Karena itu, waktu pada akhir tahun 1982 terjadi perubahan personalia Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, Teungku Haji Abdullah Ujongrimba mendapat kedudukan yang baru, yaitu Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, sementara Ketua Umumnya Prof. A. Hasjmy.
Setelah wafat Teungku Haji Abdullah Ujongrimba pada tanggal 11 September 1983, Aceh sudah tidak punya lagi ulama yang berusia lebih dari 70 tahun, kecuali Teungku Muhammad Daud Beureueh yang keadaan fisiknya Mudah sangat uzur. Yang masih hidup, yaitu para ulama yang usianya 70 tahun ke bawah.