Membedakan Antara Hakekat Dan Majas Dalam Memahami Hadits (bagian 2)
Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa mengartikan perkataan Rasulullah sebagai majas terkadang menjadi suatu keharusan, karena kalau tidak dilakukan demikian , bisa jadi kita akan terperosok kepada salah pengertian. Kasus seperti itu juga sebagaimana juga hadits dari Abu Hurairah dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menciptakan makhluk, dan ketika bangkitlah rahim (tali persaudaraan) dan berkata: "Inilah tempatnya orang berlindung dirinyakepada- Mu ya Allah dari pemutus hubungan persaudaraan". Allah menjawab : "Ya, Tidakkah engkau suka Aku menghubungi orang yang menghubungimu dan memutuskan hubungan orang memutuskan hubunganmu. Rahim menjawab : "Baiklah wahai Tuhanku". Allah berfirman : "Itulah bagianmu". Rasulullah saw bersabda : "Bacalah bila kalian mau ayat tentang : (Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan kamu akan melakukan pemutusan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka)". (QS.Muhammad 47:22 -23).
Apakah perkataan rahim dalam hadits yang dimaksudkan di atas adalah hubungan kekeluargaan ini hakiki ataukah ia bisa bermakna majazi ? Para pensyarah berselisih pendapat tentang hal ini.
Akan tetapi al-Qadli 'Iyadl mengartikan hadits ini sebagai majasi dan termasuk ke dalam perumpamaan. Ibnu Abi Jamrah dalam syarah Mukhtashar al-Bukhari ketika mensyarah arti Allah menghubungi orang yang menghubungi rahim bahwa hubungan Allah kepadanya adalah kiasan tentang kebaikan-Nya yang agung. Allah berfirman kepada manusia dengan bahasa yang dimengerti. Pemberian yang paling yang diberikan kepada orang yang dicintai adalah hubungan, yaitu mendekatkan diri kepadanya, memenuhi kebutuhannya dan memberikan pertolongan terhadap apa yang disukainya, dan hal ini mustahil bagi Allah ta'ala.
Dengan demikian kita tahu bahwa hal itu hanyalah sebagai kiasan terhadap kebaikan Allah ta'ala terhadap hamba-Nya. Demikian pula pengertian bahwa Allah memutuskan hubungan orang yang memutuskan tali silaturahmi, yaitu kiasan terhadap kebaikan Allah terhadap hambany. Demikian pula pengertian bahwa Allah memutuskan tali silaturrahmi, yaitu kiasan tentang pemutusan kebaikannya kepada orang yang memutuskan tali silaturahmi.
Akan tetapi al-Qadli 'Iyadl mengartikan hadits ini sebagai majasi dan termasuk ke dalam perumpamaan. Ibnu Abi Jamrah dalam syarah Mukhtashar al-Bukhari ketika mensyarah arti Allah menghubungi orang yang menghubungi rahim bahwa hubungan Allah kepadanya adalah kiasan tentang kebaikan-Nya yang agung. Allah berfirman kepada manusia dengan bahasa yang dimengerti. Pemberian yang paling yang diberikan kepada orang yang dicintai adalah hubungan, yaitu mendekatkan diri kepadanya, memenuhi kebutuhannya dan memberikan pertolongan terhadap apa yang disukainya, dan hal ini mustahil bagi Allah ta'ala.
Dengan demikian kita tahu bahwa hal itu hanyalah sebagai kiasan terhadap kebaikan Allah ta'ala terhadap hamba-Nya. Demikian pula pengertian bahwa Allah memutuskan hubungan orang yang memutuskan tali silaturahmi, yaitu kiasan terhadap kebaikan Allah terhadap hambany. Demikian pula pengertian bahwa Allah memutuskan tali silaturrahmi, yaitu kiasan tentang pemutusan kebaikannya kepada orang yang memutuskan tali silaturahmi.
Al-Qurthubi mengatakan, apakah yang dimaksud dengan yang diucapkan untuk tali silaturahmi sebagai majas atau sebenarnya, atau sebagai perkiraan dan perumpamaan, seakan-akan pengertiannya: "Seandainya tali silaturahmi itu makhluk berakal dan dapat berbicara, ia pasti akan mengatakan demikian". Contoh lain, firman-Nya :
لَوْ أَنزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ
"Kalau sekiranya kami menurunkan al-Qur'an ini sebuah gunung,
لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعاً مُّتَصَدِّعاً
pasti kamu akan tunduk terpecah belah
مِّنْ خَشْيَةِ اللَّهِ
yang disebabkan takut kepada Allah.
وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ
Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia
لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
agar mereka berpikir", (al -Hasyr 59:21).
Maka yang dimaksud dari hadits di atas adalah menegaskan untuk mengadakan hubungan silaturahmi dan bahwa Allah ta'ala mensejajarkan kedudukannya dengan orang yang perlindungan kepada-Nya dan Allah melindunginya dan memasukkannya ke dalam perilindungan-Nya. Jika demikian halnya maka orang yang mendapat perlindungan dari Allah tidak akan tersiakan. Rasulullah saw bersabda :
مَن صلَّى الصبح،
“Barang siapa yang melaksanakan shalat Subuh
فهو في ذمة الله،
maka dia berada dalam jaminan Allah.
فلا يَطلُبَنَّكم الله
Maka jangan sampai Allah menuntut kalian
من ذمَّته بشيء؛
sesuatu apa pun pada jaminan-Nya.
فإن من يطلُبهُ من ذمته
Karena barangsiapa yang Dia tuntut pada jaminan-Nya,
بشيء يدركه،
pasti Dia akan mendapatkannya.
ثم يَكُبه على وجهه
Kemudian dia akan ditelungkupkan pada wajahnya
في نار جهنم
di dalam Neraka.” (HR. Muslim, dari Jundubibn Abdillah al-Bajali Radhiallahu ‘anhu)
Saya yakin bahwa hadits ini sejenis penta'wilan dengan membawa hadits tersebut kepada majas, dimana agama tidak menjadi sempit sejengkal pun, dapat diterima tanpa memberikan beban yang berlebihan dan terdapat faktor-faktor yang memberikan peluang untuk penta'wilan dan keluar dari hakekat kepada majas, dengan pengertian adanya faktor yang menghalangi akal, kebenaran syara, ketegasan atau kekuatan realita yang menahan bahwa yang dimaksud adalah pengertian hakiki.
Di sini terkadang orang berselisih pendapat: Apakah ada faktor yang hakiki atau tidak ?
Sebagian yang dianggap tidak dapat diterima akal menurut sebagian orang, sebagian lain dianggapnya sebagai sesuatu yang mendukung. Dan ini memerlukan pengkajian yang teliti. Penta' wilan tanpa faktor yang membolehkannya adalah tidak dapat diterima. Demikian juga penta' wilan yang dibuat-buat, seperti kutipan-kutipan tentang pengertian hakiki, meskipun terdapat faktor-faktor yang menahannya, baik faktor akal, syara', ilmu atau realita, maka inipun tidak dapat diterima.
Terkadang menolak hadits yang shahih dan benar datangnya dari Rasul dengan membawa pengertian kepada majas membuka pintu malapetaka. Terutama bagi kaum rasionalis yang mendapat pelajaran tentang agama Islam, bahwasanya tidak ada kontradiksi antara dalil yang sahih dengan akal yang rasional. Simaklah hadits berikut yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
Dan dalam hadits Abu Sa'id yang juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dan lainnya dikatakan: "Didatangkanlah kematian berbentuk seekor domba yang elok...” Al-Lu'lu' wa-l-Marjaan, hadits nomor 1811).
Coba, apa yang Anda pahami dari hadits ini ? Bagaimana kematian tersebut disembelih ? Dan bagaimana nama kematian itu mati ???
Al-Qadli Abu Bakar bin al-'Arabi tidak memberikan komentar terhadap hadits ini: "Hadis ini sungguh musykil, karena bertentangan dengan akal pikiran, karena yang namanya kematian itu adalah peristiwa yang tidak dapat diduga, bagaimana ia berubah menjadi sesuatu yang bersifat fisik dan bagaimana ia dapat disembelih ?". Ia mengatakan : "Sekelompok orang menolak keshahihan hadits tersebut. sebagian lagi menta'wilkannya dengan mengatakan bahwa hadits tersebut adalah perumpamaan dan penyembelihan di sini bukan penyembelihan yang sebenarnya.
Sebagian kelompok mengatakan bahwa penyembelihan tersebut adalah yang sebenarnya dan yang merugikan adalah malaikat yang berwewenang mengurus kematian. Dan semua orang mengetahuinya karena malaikat-malaikat tersebut yang bertugas mencabut nyawa mereka".
Al-Hafidz berkata dalam Fathul Baarii: "Pendapat ini disetujui oleh ulama sekarang". Ia mengutip al-Mazri: "Kematian menurut kami adalah salah satu peristiwa yang tidak diduga - duga dan menurut Mu'tazilah bukan demikian. Dan menurut kedua mazhab, kematian tidak benar bila berbentuk domba atau fisik lainnya dan yang dimaksud dengan ini adalah perumpamaan".
Kemudian ia mengatakan: "Bisa saja Allah menciptakan kematian bersifat fisik dan Dia menyembelihnya kemudian diajadikan-Nya sebagai perumpamaan bahwa kematian tidak akan terjadi pada penduduk surga". Al-Qurthubi dalam At-Tadzkirah berpendapat seperti itu.Penta'wilan-penta'wilan ini semuanya adalah upaya mengartikan hadits bukan dengan pengertian hakiki yang menurut bahasa karena bertentangan dengan akal pikiran, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu al-'Arabi.
Dan ini lebih baik dari pada menolak hadits tersebut. Dan telah terbukti kebenarannya menurut keyakinan yang dapat dipercaya. Maka termasuk perbuatan lancang bila kita menolaknya sementara masih ada peluang untuk menta'wilkannya. Hanya saja al-Hafidz dalam Fathul Baarii menukil pendapat seseorang yang tidak disebutkan namanya. Ia mengatakan : "Tidak ada yang menghalangi bagi Allah untuk menciptakan suatu apapun. baik berupa peristiwa ataupun sesuatu yang mempunyai fisik sebagai materinya. Sebagaimana hal tersebut dijelaskan dalam kitab Shahih Muslim tentang hadits "Bahwasanya surat al-Baqarah dan Ali 'Imran datang seolah-akan keduanya itu dua buah awan".
Sampai pada permasalahan seperti ini, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berhenti mentakhrij kitab al-Musnad. Setelah menukil pendapat Fathul Baarii tentang kesulitan Ibnu al-'Arabi dalam memahami hadits tersebut dan berupaya untuk menta' wilkannya, ia berkata: "Kesemuanya dugaannya -dugaan yang tidak berdasar tentang hal gaib yang hanya Allah-lah yang mengetahuinya. Dan kewajiban kita tidak lain hanya mengimani semua hadits apa adanya, tidak menolak dan menta'wilkannya. Dan hadits tersebut shahih, yang maknanya terbukti benar menurut hadits Abu Sa'id al-Khudri yang diriwayatkan al-Bukhari, dari hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Alam gaib yang berada dalam materi tidak dapat diketahui oleh akal yang melihat dengan fisik di bumi ini, bahkan akal tidak mampu mengetahui hakekat materi yang berada dalam jangkauannya.
Sebagian yang dianggap tidak dapat diterima akal menurut sebagian orang, sebagian lain dianggapnya sebagai sesuatu yang mendukung. Dan ini memerlukan pengkajian yang teliti. Penta' wilan tanpa faktor yang membolehkannya adalah tidak dapat diterima. Demikian juga penta' wilan yang dibuat-buat, seperti kutipan-kutipan tentang pengertian hakiki, meskipun terdapat faktor-faktor yang menahannya, baik faktor akal, syara', ilmu atau realita, maka inipun tidak dapat diterima.
Terkadang menolak hadits yang shahih dan benar datangnya dari Rasul dengan membawa pengertian kepada majas membuka pintu malapetaka. Terutama bagi kaum rasionalis yang mendapat pelajaran tentang agama Islam, bahwasanya tidak ada kontradiksi antara dalil yang sahih dengan akal yang rasional. Simaklah hadits berikut yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
Dari Ibnu Umar mengatakan,
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
Rasulullah bersabda :
إِذَا صَارَ أَهْلُ الْجَنَّةِ إِلَى الْجَنَّةِ
"Bila penduduk surga telah memasuki surga
وَأَهْلُ النَّارِ إِلَى النَّارِ
dan penduduk neraka memasuki neraka,
جِيْءَ بِالْمَوْتِ
didatangkanlah kematian
حَتَّى يُجْعَلَ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ
dan diletakkan di antara surga dan neraka
ثُمَّ يُذْبَحُ
kemudian disembelih.
ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ
Kemudian terdengar seruan:
يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ لَا مَوْتَ
"Wahai penduduk surga tidak ada lagi kematian.
وَيَا أَهْلَ النَّارِ لَا مَوْتَ
Wahai penduduk neraka, tidak ada lagi kematian".
فَيَزْدَادُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَرَحًا إِلَى فَرَحِهِمْ
Mendengar itu penduduk surga bertambah gembira
وَيَزْدَادُ أَهْلُ النَّارِ حُزْنًا إِلَى حُزْنِهِمْ
dan penduduk neraka semakin bersedih hati”.
Dan dalam hadits Abu Sa'id yang juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dan lainnya dikatakan: "Didatangkanlah kematian berbentuk seekor domba yang elok...” Al-Lu'lu' wa-l-Marjaan, hadits nomor 1811).
Coba, apa yang Anda pahami dari hadits ini ? Bagaimana kematian tersebut disembelih ? Dan bagaimana nama kematian itu mati ???
Al-Qadli Abu Bakar bin al-'Arabi tidak memberikan komentar terhadap hadits ini: "Hadis ini sungguh musykil, karena bertentangan dengan akal pikiran, karena yang namanya kematian itu adalah peristiwa yang tidak dapat diduga, bagaimana ia berubah menjadi sesuatu yang bersifat fisik dan bagaimana ia dapat disembelih ?". Ia mengatakan : "Sekelompok orang menolak keshahihan hadits tersebut. sebagian lagi menta'wilkannya dengan mengatakan bahwa hadits tersebut adalah perumpamaan dan penyembelihan di sini bukan penyembelihan yang sebenarnya.
Sebagian kelompok mengatakan bahwa penyembelihan tersebut adalah yang sebenarnya dan yang merugikan adalah malaikat yang berwewenang mengurus kematian. Dan semua orang mengetahuinya karena malaikat-malaikat tersebut yang bertugas mencabut nyawa mereka".
Al-Hafidz berkata dalam Fathul Baarii: "Pendapat ini disetujui oleh ulama sekarang". Ia mengutip al-Mazri: "Kematian menurut kami adalah salah satu peristiwa yang tidak diduga - duga dan menurut Mu'tazilah bukan demikian. Dan menurut kedua mazhab, kematian tidak benar bila berbentuk domba atau fisik lainnya dan yang dimaksud dengan ini adalah perumpamaan".
Kemudian ia mengatakan: "Bisa saja Allah menciptakan kematian bersifat fisik dan Dia menyembelihnya kemudian diajadikan-Nya sebagai perumpamaan bahwa kematian tidak akan terjadi pada penduduk surga". Al-Qurthubi dalam At-Tadzkirah berpendapat seperti itu.Penta'wilan-penta'wilan ini semuanya adalah upaya mengartikan hadits bukan dengan pengertian hakiki yang menurut bahasa karena bertentangan dengan akal pikiran, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu al-'Arabi.
Dan ini lebih baik dari pada menolak hadits tersebut. Dan telah terbukti kebenarannya menurut keyakinan yang dapat dipercaya. Maka termasuk perbuatan lancang bila kita menolaknya sementara masih ada peluang untuk menta'wilkannya. Hanya saja al-Hafidz dalam Fathul Baarii menukil pendapat seseorang yang tidak disebutkan namanya. Ia mengatakan : "Tidak ada yang menghalangi bagi Allah untuk menciptakan suatu apapun. baik berupa peristiwa ataupun sesuatu yang mempunyai fisik sebagai materinya. Sebagaimana hal tersebut dijelaskan dalam kitab Shahih Muslim tentang hadits "Bahwasanya surat al-Baqarah dan Ali 'Imran datang seolah-akan keduanya itu dua buah awan".
Sampai pada permasalahan seperti ini, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berhenti mentakhrij kitab al-Musnad. Setelah menukil pendapat Fathul Baarii tentang kesulitan Ibnu al-'Arabi dalam memahami hadits tersebut dan berupaya untuk menta' wilkannya, ia berkata: "Kesemuanya dugaannya -dugaan yang tidak berdasar tentang hal gaib yang hanya Allah-lah yang mengetahuinya. Dan kewajiban kita tidak lain hanya mengimani semua hadits apa adanya, tidak menolak dan menta'wilkannya. Dan hadits tersebut shahih, yang maknanya terbukti benar menurut hadits Abu Sa'id al-Khudri yang diriwayatkan al-Bukhari, dari hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Alam gaib yang berada dalam materi tidak dapat diketahui oleh akal yang melihat dengan fisik di bumi ini, bahkan akal tidak mampu mengetahui hakekat materi yang berada dalam jangkauannya.