Kiprah Prof.DR. Hasbi Ash-Shiddiqie Dalam Gerakan Islam
Dalam zaman pendudukan Jepang, boleh dikatakan semua kegiatan pendidikan Islam dan dakwah terhenti. Karena itu, baik Muhammad Hasbi maupun para pejuang Islam lainnya harus rela melambatkan kegiatan dan perjuangannya untuk sementara, dan harus menerima pula jabatan-jabatan yang diberikan Jepang. Untuk membujuk para ulama yang telah mulai membenci Jepang, maka dalam tahun 1943 Pemerintah Militer Jepang di Aceh membentuk sebuah organisasi yang diberi nama "Majelis Agama Islam Buat Kemakmuran Asia Timur Raya" (MAIBKATRA).
Seorang ulama turunan Sultan Aceh, Tuanku Abdul Aziz, diangkat menjadi Ketuanya, sementara Sekretarisnya diangkat Tuanku Hasyim, yang juga seorang ulama muda. Salah seorang di antara anggotanya, yaitu Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy. Masih dalam rangka usaha Jepang membujuk ulama, maka Jepang mendirikan Atjeh Syu Syuko Hoin (Mahkamah Tinggi Agama Daerah Aceh), dengan empat orang ulama besar anggota terasnya, yaitu Teungku Haji Jakfar Siddik, Teungku Haji Hasan Krungkale, Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy.
Dalam rangka membujuk uleebalang (Sunco dan Gunco) dan ulama (kedua golongan ini sudah tidak senang lagi kepada Jepang dengan sebab yang berbeda) serta rakyat umum, maka Jepang mendirikan Atjeh Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh), yang sebagian besar anggota-anggota para uleebalang dan para ulama.
Di antara para ulama yang diangkat itu, yaitu Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy. Untuk menjadi anggota Sumatora Tjuo Sangi In di Bukittinggi yang mewakili Daerah Aceh, Jepang mengangkat para ulama dan uleebalang, tentunya dalam rangka membujuk kedua golongan tersebut. Para anggota Sumatora Tjuo Sangi In (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatra) yang mewakili Aceh, yaitu Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong, Teuku Mu- hammad Hasan Meuraksa dan Teuku Nyak Arif. Di samping anggota-anggota penuh, ditunjuk pula tiga orang peninjau, yang semuanya terdiri dari kalangan ulama dan pengusaha, yaitu Teungku Syekh Ibrahim Ayahanda Montasice, A. Hasjmy dan Cek Mat Blangpidie. A. Hasjmy juga mewakili kelompok wartawan Aceh.
Dalam perjalanan ke Bukittinggi dan selama tinggal di sana, A.Hasjmy berhubungan erat dengan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, karena waktu beliau mengajar pada Madrasah JADAM Montasie (kebetulan kampung saya) dan pada Makhad Iskandar Muda, Lampaku Seulimeum, kami sudah bersahabat intim. Selama masa-masa yang sulit dalam perjalanan (maklum masih musim perang dan ancaman serangan udara Sekutu selalu datang) tetapi indah dan penuh kenangan, Saya (A.Hasjmy) banyak belajar dari beliau dengan mempelajari watak dan kepribadiannya. Yang amat Saya (A.Hasjmy) kagumi terhadap beliau dalam perjalanan itu, yaitu kegemaran membacanya, sehingga segala kesempatan yang ada dipergunakan untuk membaca, tidak untuk mengobrol. Pada suatu malam kami berkunjung ke rumah Adinegoro, yang Sekretaris Jendral Sumatora Tyuo Sangi In, Di rumah Adinegoro pada malam tersebut, kami asyik mengobrol dengan kawan- kawan yang sudah lama tidak berjumpa, Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy asyik sendiri di ruang perpustakaan Adinegoro, membalik-balik buku demi buku.
Alam pikiran Hasbi Dalam kitab Al Islam wa al-Tajidid fi Misr termaktub bahwa Syekh Sayyid Jamaluddin Afganistan dan Syekh Muhammad Abduh adalah dua orang pemimpin besar gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam. Kitab Al Islam wal al-Tajidid fi Misr ("Islam dan Pembaharuan di Mesir") menceritakan bagaimana dua orang pemimpin besar Islam itu memimpin gerakan pembaharuan, yang pada akhir abad XIX dan awal abad XX bermula di Mesir dan kemudian menjalar ke seluruh Dunia Islam, termasuk Indonesia.
Para pemimpin Islam di Indonesia yang mendukung dan mengembangkan cita-cita pembaharuan Jamaluddin-Abduh, antara lain yaitu Kiai Haji Ahmad Dahlan, pembangun organisasi Muhammadiyah; Haji Oemar Said Tjokroami- noto dan Haji Agus Salim, dua pemimpin utama Syarikat Islam.
Organisasi-organisasi yang dapat digolongkan dalam kelompok pembawa cita-cita pembaharuan, yang dicetuskan dan digerakkan Saiyid Jamaluddin dan Muhammad Abduh, yaitu organisasi Syarikat Islam, organisasi Muhammadiyah, organisasi Persatuan Islam Bandung, organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), dan lain-lainnya.
Di antara ulama-ulama pembawa cita-cita pembaharuan di Tanah Aceh, antara lain yaitu Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri, Teungku Muhammad Daud Beureuch, Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Teungku Syekh Ibrahim Ayahanda Montasie, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, dan Teungku Abdulwahab Seulimeum. Gerakan Pembaharuan dalam Islam (Al Nahdlah al-Tajdidiyah fil Islam) adalah anak kandung dari doktrin "Pembebasan Akal" (Tahrir al-Aql) yang dianut Islam.
Hasil utama dari Gerakan Pembebasan Akal, yaitu lahirnya gerakan pembaharuan pemikiran islam dalam bidang akidah/ibadah, bidang politik dan ekonomi, bidang pendidikan, bidang sosial-budaya, bidang hukum dan filsa- fat/ilmu kalam. Kalau Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri lebih menitikberatkan pem- baharuan dalam bidang akidah dan ibadah dengan kampanyenya yang terkenal dengan "Dakwah Pemurnian Akidah dan Ibadah" dari bidah dan khurafat, maka Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy lebih menitikberatkan pem- baharuan dalam bidang Hukum Islam, dengan semboyannya yang terkenal: "Pintu ijtihad terbuka sepanjang zaman; tidak pernah tertutup dan tidak ada manusia manapun yang berhak menutupnya".
Kalau Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Teungku Syekh Ibrahim Ayahanda Montasie lebih menitikberatkan pembaharuan dalam bidang politik dan sosial budaya, maka Teungku Abdulwahab Seulimeum dan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap lebih menitikberatkan usaha pembaharuan dalam hal pembinaan organisasi dan ekonomi umat. Dalam pada itu, semua ulama pembawa pembaharuan (mujaddidun) itu sama-sama mementingkan pembaharuan sistem pendidikan Islam, karena pendidikan akan menjamin keberhasilan dalam bidang-bidang yang lain. Sebagai seorang mujaddid, Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy mempunyai pendapat dan pikirannya sendiri dalam berbagai bidang ilmu Agama Islam, yang dapat dinamakan "alam pikiran Hasbi".
Beliau sangat menentang siapa pun yang membelenggu akal, dan sebaliknya Hasbi dengan akalnya yang bebas mendakwahkan bahwa Hukum Islam adalah hukum yang hidup. sebagaimana hidupnya masyarakat Islam Masyarakat Islam yang dinamis harus didukung hukum yang dinamis pula. Kalau tidak demikian, masyarakat Islam akan jumud dan tidak mampu menghadapi zaman yang selalu beruhah.
Demikian pendapat beliau Hukum yang dinamis, adalah hukum yang berkembang dengan sebab berkembangnya masyarakat manusia, yang oleh para ahli hukum Islam disebut al-hukmu yaduru ma'al'illah, karena itu, masyarakat Islam pada setiap zaman memerlukan mujtahid atau para mujtahid. Agar lebih herbentuk bagaimana "alam pikiran Hasbi", akan saya ikhtisarkan catatan-catatan Djamil Lathif, menantunya, yang saya peroleh melalui Prof. Dr. Nourouzzaman, M.A. Dalam bidang akidah, Muhammad Hasbi menganut ajaran Salafiyah seperti yang dianut Ibnu Taimyah, Ibnu Qaiyim dan Muhammad Abduh.
Tetapi, dalam hal muamalat beliau mempergunakan takwil dan tahlilil ahkam, agar Hukum Islam selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang dinamis. Dalam bidang usul fikih, Muhammad Hasbi mengkompromikan antara usul fikih tiga orang imam terkenal, yaitu Imam Syafii, Imam Hanafi dan Imam Maliki, dengan menempatkan masing-masing sumber pada tempatnya. Sebagai contoh disebut, bahwa sesuatu masalah yang ada "maqis alaih"-nya Hasbi selalu mempergunakan kias.
Sebaliknya, dalam masalah yang tidak terdapat "maqis 'alaih"-nya beliau mempergunakan "ri'ayatul mashalih". Dengan demikian, Hasbi telah mengawinkan usul Syafii yang membatasi ijtihad dalam kias dengan Malik yang mempergunakan mashalihul mursalah. Dalam bidang fikih, Muhammad Hasbi berpendapat bahwa yang hak atau yang benar itu tidaklah terkumpul dalam satu mazhab saja, tetapi terdapat dalam berbagai mazhab. Karena itu, kebenaran hukum harus digali dari berbagai mazhab, bahkan harus digali dari Alquran dan Al-Sunnah sendiri. Berdasarkan pemikiran ini, beliau berani meninggalkan mazhab Syafii dalam beberapa masalah hukum, setelah didapatinya dalam mazhab-mazhab lain nas yang lebih kuat dalam masalah-masalah hukum tersebut, bahkan kadang-kadang berbeda pendapat dalam sesuatu masalah hukum dengan semua mazhab yang telah ada.
Dalam bidang tafsir, Muhammad Hasbi sama mengutamakan tafsir bil ma sur (Alquran ditafsirkan dengan hadis) seperti "Tafsir Ibnu Kasir" dan tafsir bil ma'qul (Alquran ditafsirkan dengan akal) seperti "Tafsir Al Manaar" Beliau sangat menyenangi kitab Tafsir Mahasin al-Takwil.
Dalam bidang hadis, beliau mempelajari kitab kitab hadis atau yang ada hubungannya dengan hadis, sehingga beliau menjelma menjadi ulama hadis terkenal di Kepulauan Nusantara Berdasarkan "alam pikiran Hasbi" seperti yang disebutkan di atan, maka terdapat sejumlah masalah hukum yang dikemukakan Hasbi yang berbeda dengan pendapat umum di Indonesia, yang menycbabkan beliau dituduh memutarbalikkan Hukum Islam.
Tentang bagaimana teguh dan yakinnya Muhammad Hasbi dengan pendapatnya, dalam Majalah Sinar Darussalam, No. 99/1979, Dr. Ismail Muhammad Syah (Ismuha), S.H., menggambarkan sebagai berikut. "Meskipun Prof. Hasbi anggota Muhammadiyah, bahkan pernah menjadi pemimpin Muhammadiyah, beliau tidak mau tunduk begitu saja kepada keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Yang penulis ketahui ada dua masalah yang Pak Hasbi tidak mau tunduk kepada keputusan Majelis Tarjih.
Yang pertama mengenai tabir antara wanita dan pria dalam rapat-rapat.
Yang kedua masalah jabatan tangan antara wanita dan pria.
Mengenai dua masalah ini, Muhammadiyah pun sama pendapatnya dengan organisasi- organisasi lain, seperti PUSA, NU, Al Washliyah, dan sebagainya.
Dahulu mereka berpendapat bahwa tabir itu harus ada. Sedang mengenai dengan jabatan tangan sampai sekarang pun masih tetap, bahwa kalau jabatan antara wanita dan pria harus pakai lapik atau tak usah jabatan tangan, cukup dengan membungkukkan badan saja sebagai tanda hormat. Oleh karena itu kita lihat adat Sunda kalau seorang pria mau salaman dengan wanita, tangan mereka tidak sampai tersentuh.' Dalam hal ini Pak Hasbi berpendapat lain. Boleh saja jabatan tangan itu tanpa lapik, asal saja tidak menimbulkan perasaan lain dari yang bersangkutan."
Dalam perjalanan ke Mekkah Tanggal 29 November 1975, Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy telah masuk Karantina Cilodong, Jakarta, karena dalam tahun tersebut beliau akan berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, yang sedianya akan berangkat pada tanggal 5 Desember 1975. Tetapi, sebelum niatnya sampai, Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, telah menerima panggilan Khaliqnya pada tanggal 9 Desember 1975 (6 Zulhijah 1395 Hijriah). Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Mengenai wafatnya Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, dalam Majalah Sinar Darussalam, No. 97/1978, Dr. Ismail Muhammad Syah, S.H., menulis antara lain: .Sampai di sana ternyata bahwa jenazah telah dikebumikan di pemakaman IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Diantarkan oleh tokoh- tokoh masyarakat dan kawan-kawan lama beliau.
Sebelum jenazah diberangkatkan dari rumah, atas nama keluarga berbicara Amelz, atas nama kawan-kawan lama beliau berpidato Prof. Dr. Hamka, dan atas nama Menteri Agama berbicara Dirjen Bimas Islam Drs. Kafrawi. Di pekuburan Ciputat telah berbicara atas nama keluarga Drs. Talhas, atas nama IAIN Dr. Ahmad Khatib, dan atas nama masyarakat berbicara Mr. Mohamad Roem. Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy berpulang ke rahmatullah dalam perjalanan naik haji ke Mekkah, tutup usia 71 tahun, meninggalkan seorang istri, dua orang putri dan dua orang putra, serta beberapa orang cucu.
Sumber:
Buku Ulama Aceh (Mujahid Pejuang Kemerdekaan Dan Tamadun Bangsa) oleh A.Hasjmy