Pentingnya Memahami Kosa Kata Hadits
DI ANTARA hal yang sangat penting untuk memahami as- Sunnah dengan benar adalah mengkonfirmasi pengertian kata-kata yang disebutkan dalam as-Sunnah, karena pengertiannya dapat berubah sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi. Hal ini diketahui oleh orang yang mempelajari perkembangan bahasa dan perkataannya dari zaman dulu sampai zaman sekarang. Perubahan kosa kata juga terjadi karena pengaruh situasi dan kondisi terhadapnya.
Ada kalanya orang memberikan istilah terhadap perkataan pada waktu tertentu untuk menunjukkan satu pengertian tertentu pula. Masalah istilah ini tidak perlu dipertentangkan. Hanya saja yang patut dikhawatirkan adalah perkataan yang tersebut yang dalam as-Sunnah juga dalam al-Qur'an diartikan dengan istilah baru ini.
Baca juga: Ibnu Taimiyah adalah Ulama Yang Menolak Majaz
Hal inilah yang diperingatkan para ulama dan peneliti bahwa perkataan-perkataan syari'ah akan menjadi istilah baru mengikuti perkembangan zaman. Bila kita tidak mengindahkan peraturan ini, kita akan banyak membuat kesalahan sebagaimana yang kita lihat pada masa sekarang ini. Umpamanya perkataan tashwiir (menggambar/ melukis) yang tersebut dalam hadits-hadits shahih yang muttafaq 'alaih. Apa yang dimaksud dengan perkataan tersebut dalam hadits yang mengancam para pelukis dengan siksa yang berat ?
Orang-orang yang biasa bergumul dengan hadits dan fiqih menganggap ancaman ini juga berlaku kepada mereka yang dikenal sekarang dengan istilah fotografer (dalam bahasa Arab disebut al-Mushawwir, pent) yang menggunakan alat yang dinamakan kamera dan mengambil bentuk yang dinamakan foto (dalam bahasa Arab Shuurah).
Apakah penamaan ini, yaitu menamakan fotografer sebagai mushawwir dan pekerjaannya tashwiir penamaan menurut bahasa ? Tak seorangpun akan mengira bahwa bangsa Arab ketika menggunakan perkataan ini untuk pertama kalinya terlintas di benaknya masalah yang timbul seperti hari ini dengan kemajuan teknologi. Maka penamaan ini bukannya menurut bahasa. Dan tidak seorangpun menduga bahwa penamaan ini menurut syari'ah, karena profesi ini belum dikenal pada saat syari'ah dibuat, sehingga tidak dapat dibayangkan perkataan mushawwir disebutkan sementara ia tidak ada. Jika demikian, siapa yang menamakannya mushawwir dan pekerjaannya tashwiir ? Adalah kebiasaan baru, kita ini, atau nenek moyang kita dimana pekerjaan ini muncul pertama kali pada zamannya dan menamakannya dengan nama tashwiir (fotografi).
Dan dapat saja mereka menamakannya dengan nama lain yang menjadi suatu istilah, umpamanya pekerjaannya dinamakan al-'aks' dan orang yang menyandang profesi ini dinamakan al'Ukkaas sebagaimana yang dikenal oleh penduduk Qathar dan negara teluk lainnya. Bila salah saeorang dari penduduk ini pergi ke al-'Ukkaas, ia berkata : "Uriid an ta'kisanii (Saya ingin Anda merefleksikan (mengambil gambar) saya". "Mataa aakhud minka al-'akuus ? (Kapan saya mengambil refleksi/gambar Anda) ?". Tanya fotografer tersebut.
Sebetulnya istilah yang mereka gunakan ini lebih mendekati kepada proses fotografi yang tidak lebih dari merefleksikan gambar dengan alat khusus, sebagaimana gambar terefleksi dalam cermin. Hal ini disampaikan oleh Syaikh Muhammad Bakhyat al-Muthi'i Mufti Mesir pada zamannya yang dimuat dalam risalahnya Al-Jawaab al-Kaafii fii Ibaahati at-Tashwiir al-Futughrafi (Jawaban Lengkap Tentang Dibolehkannya Fotografi).
Sebagaimana refleksi fotografi pada masa sekarang ini disebut tashwiir, maka melukis simbul sekarang dinamakan naht (mengukir), yaitu yang menurut ulama salaf dinamakan sebagai gambar yang mempunyai bayang- bayang, yaitu perbuatan yang disepakati mereka sebagai perbuatan haram selain untuk mainan anak-anak. Apakah menamakan melukis/menggambar dengan istilah naht (mengukir) mengeluarkannya dari cakupan hadits yang mengancam perbuatan tashwiir (menggambar/ melukis) dan al-mushawwiriin (pelukis) ?
Jawabnya tentunya tidak. Karena tashwiir ini adalah yang lebih sesuai dengan apa yang diistilahkan bahasa dan agama.
Sumber:
Buku Metode Memahami Sunnah Dengan Benar oleh Yusuf Al-Qaradhawi
Di sinilah timbulnya kekeliruan dalam penggunaan kosa kata. Al-Imam al-Ghazali telah memberikan peringatan terhadap pergantian nama-nama dari kosa kata tertentu dalam beberapa ilmu. Adakalanya pengertian dari apa yang dikenal pada masa dahulu itu terjadi pergeseran makna dengan berubahnya waktu. Al-Imam al-Ghazali memperingatkan tentang bahaya pergantian ini yang dapat menyesatkan pemahaman orang yang tidak mendalami batasan pemahaman. Untuk itu Al-Imam al-Ghazali menulis satu pasal dalam kitab Ilmu dalam bukunya al-Ihya Ulumuddin. Al-Imam al-Ghazali mengatakan bahwa: "Ketahuilah bahwa sumber tercampur-baurnya ilmu- ilmu tercela dengan ilmu-ilmu agama adalah perubahan nama-nama terpuji dan dengan tujuan-tujuan buruk mengalihkannya kepada pengertian yang tidak dikehendaki ulama salaf yang saleh dan kurun pertama, yaitu ada lima perkataan : Fiqih, Ilmu, Tauhid, Tadzkir dan Hikmah.
Kesemuanya ini adalah nama-nama yang terpuji. Nama tersebut menjadi predikat untuk orang-orang yang mempunyai kedudukan dalam agama baik di masa lalu. Dan Al-Imam al-Ghazali membahas panjang lebar tentang masalah tersebut dalam beberapa lembar kitab beliau.
Baca juga: Peringatan Dalam Mentakwilkan Ungkapan Hadits
Bila kelima istilah yang disebutkan di atas (Fiqih, Ilmu, Tauhid, Tadzkir dan Hikmah). Kalau menurut Al-Imam al-Ghazali, bila istilah tersebut telah berubah pengertiannya dalam lapangan ilmu di kalangan umat islam di masa beliau, maka istilah selain itu juga banyak yang telah berubah pengertiannya dalam banyak lapangan. Yang mana istilah tersebut tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Bila kelima istilah yang disebutkan di atas (Fiqih, Ilmu, Tauhid, Tadzkir dan Hikmah). Kalau menurut Al-Imam al-Ghazali, bila istilah tersebut telah berubah pengertiannya dalam lapangan ilmu di kalangan umat islam di masa beliau, maka istilah selain itu juga banyak yang telah berubah pengertiannya dalam banyak lapangan. Yang mana istilah tersebut tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Dan perubahan ini masih terus berlangsung mengikuti perubahan situasi dan kondisi dan perkembangan manusia sampai perbedaannya sangat begitu jauh antara pengertian agama yang asli terhadap perkataan tersebut dengan pengertian kebiasaan atau istilah yang baru. Dari sinilah timbulnya kesalah pahaman yang tidak disengaja dan penyimpangan yang disengaja.
Hal inilah yang diperingatkan para ulama dan peneliti bahwa perkataan-perkataan syari'ah akan menjadi istilah baru mengikuti perkembangan zaman. Bila kita tidak mengindahkan peraturan ini, kita akan banyak membuat kesalahan sebagaimana yang kita lihat pada masa sekarang ini. Umpamanya perkataan tashwiir (menggambar/ melukis) yang tersebut dalam hadits-hadits shahih yang muttafaq 'alaih. Apa yang dimaksud dengan perkataan tersebut dalam hadits yang mengancam para pelukis dengan siksa yang berat ?
Orang-orang yang biasa bergumul dengan hadits dan fiqih menganggap ancaman ini juga berlaku kepada mereka yang dikenal sekarang dengan istilah fotografer (dalam bahasa Arab disebut al-Mushawwir, pent) yang menggunakan alat yang dinamakan kamera dan mengambil bentuk yang dinamakan foto (dalam bahasa Arab Shuurah).
Apakah penamaan ini, yaitu menamakan fotografer sebagai mushawwir dan pekerjaannya tashwiir penamaan menurut bahasa ? Tak seorangpun akan mengira bahwa bangsa Arab ketika menggunakan perkataan ini untuk pertama kalinya terlintas di benaknya masalah yang timbul seperti hari ini dengan kemajuan teknologi. Maka penamaan ini bukannya menurut bahasa. Dan tidak seorangpun menduga bahwa penamaan ini menurut syari'ah, karena profesi ini belum dikenal pada saat syari'ah dibuat, sehingga tidak dapat dibayangkan perkataan mushawwir disebutkan sementara ia tidak ada. Jika demikian, siapa yang menamakannya mushawwir dan pekerjaannya tashwiir ? Adalah kebiasaan baru, kita ini, atau nenek moyang kita dimana pekerjaan ini muncul pertama kali pada zamannya dan menamakannya dengan nama tashwiir (fotografi).
Dan dapat saja mereka menamakannya dengan nama lain yang menjadi suatu istilah, umpamanya pekerjaannya dinamakan al-'aks' dan orang yang menyandang profesi ini dinamakan al'Ukkaas sebagaimana yang dikenal oleh penduduk Qathar dan negara teluk lainnya. Bila salah saeorang dari penduduk ini pergi ke al-'Ukkaas, ia berkata : "Uriid an ta'kisanii (Saya ingin Anda merefleksikan (mengambil gambar) saya". "Mataa aakhud minka al-'akuus ? (Kapan saya mengambil refleksi/gambar Anda) ?". Tanya fotografer tersebut.
Sebetulnya istilah yang mereka gunakan ini lebih mendekati kepada proses fotografi yang tidak lebih dari merefleksikan gambar dengan alat khusus, sebagaimana gambar terefleksi dalam cermin. Hal ini disampaikan oleh Syaikh Muhammad Bakhyat al-Muthi'i Mufti Mesir pada zamannya yang dimuat dalam risalahnya Al-Jawaab al-Kaafii fii Ibaahati at-Tashwiir al-Futughrafi (Jawaban Lengkap Tentang Dibolehkannya Fotografi).
Sebagaimana refleksi fotografi pada masa sekarang ini disebut tashwiir, maka melukis simbul sekarang dinamakan naht (mengukir), yaitu yang menurut ulama salaf dinamakan sebagai gambar yang mempunyai bayang- bayang, yaitu perbuatan yang disepakati mereka sebagai perbuatan haram selain untuk mainan anak-anak. Apakah menamakan melukis/menggambar dengan istilah naht (mengukir) mengeluarkannya dari cakupan hadits yang mengancam perbuatan tashwiir (menggambar/ melukis) dan al-mushawwiriin (pelukis) ?
Jawabnya tentunya tidak. Karena tashwiir ini adalah yang lebih sesuai dengan apa yang diistilahkan bahasa dan agama.
Sumber:
Buku Metode Memahami Sunnah Dengan Benar oleh Yusuf Al-Qaradhawi