Antara Teungku Cik Pante Geulima Dan Sisingamangaraja XII
Kerajaan Aceh Darussalam memperhitungkan bahwa peperangan melawan Belanda akan berlangsung lama sekali, bahkan mungkin untuk terus menerus selama Belanda masih menduduki Tanah Aceh walau hanya sejengkal. Dalam rangka persiapan perang yang direncanakan tidak pernah akan berhenti sebelum tentara Belanda terusir seluruhnya, maka Teungku Cik Pantee Geulima Syekh Ismail mendapat tugas mengunjungi Tanah Batak dan Tanah Karo.
Dalam tahun 1877, bersama empat ratus orang pasukan yang terdiri dari ulama-ulama, juru-juru dakwah dan ahli-ahli peperangan, beliau menjalankan tugas Agama/Negara ke Tanah Batak dan Tanah Karo. Beliau mengadakan kontak dan perundingan dengan pemimpin-pemimpin di sana, antara lain dengan Pahlawan Batak, Sisingamangaraja XII, yang terkenal.
Misi Teungku Cik Pantee Geulima di Tanah Batak dan Tanah Karo ada dua, yaitu:
- Yang pertama adalah untuk mengajak para pemimpin dan rakyat di kedua daerah itu untuk bertempur bersama Aceh melawan kolonialis Belanda,
- dan yang kedua adalah melaksanakan dakwah Islamiyah.
Anjuran beliau itu, mendapat sambutan hangat dari para pemimpin di sana, terutama dari Sisingamangaraja XII (yang menurut kabar kemudian memeluk agama Islam). Setelah selesai menjalankan tugasnya selama enam bulan, Teungku Cik Pantee Geulima meninggalkan Tanah Batak dan Tanah Karo. Sekitar seratus orang pasukan yang terdiri dari ulama-ulama, juru-juru dakwah dan panglima- panglima, atas permintaan Sisingamangaraja XII dan para pemimpin lainnya, ditinggalkan di sana, bahkan beberapa orang panglima yang andalan diperban- tukan khusus pada Pahlawan Sisingamangaraja.
Sebagai tanda kenang-kenangan waktu berpisah, Sisingamangaraja XII menghadiahkan kepada Teungku Cik Pantee Geulima bermacam-macam bungong jaroe, antara lain setengah kilo emas murni dan dua orang dayang yang jelita. Beberapa bulan setelah Teungku Cik Pantee Geulima meninggalkan Tanah Batak dan Tanah Karo, maka dalam tahun 1878 pecahlah perang kolonial di Tanah Batak, dalam perang mana rakyat Batak di bawah pimpinan Sisingamangaraja XII bertempur dengan gagah perwira.
Memperhatikan jalannya waktu, besar kemungkinan bahwa peperangan yang berkobar dalam tahun 1878 antara pasukan Belanda dengan rakyat Batak yang heroik, adalah hasil musyawarah antara Teungku Cik Pantee Geulima Syekh Ismail dan Pahlawan Batak Sisingamangaraja XII.
Pertempuran Batee lliek
Perjalanan pulang dari Tanah Batak dan Tanah Karo ke Tanah Aceh menyita waktu yang agak lama, karena Teungku Cik Pantee Geulima menyinggahi negeri-negeri dan kampung-kampung yang banyak dalam rangka kampanye perang terhadap Belanda. Waktu beliau menyinggahi Mulieng Lhoksukon untuk melihat bagaimana sudah pusat-pusat pendidikan/latihan militer yang telah diresmikannya sebelum beliau berangkat menjalankan tugas negara ke Tanah Batak dan Tanah Karo sana, beliau mengetahui bahwa kuta reuntang Krung Daroy telah jatuh kepada musuh, setelah hampir seluruh prajurit syahid dalam mempertahankan kuta penting di selatan Banda Aceh itu.
Waktu beliau sampai di markas besarnya, Dayah Pantee Geulima, para panglima/prajurit yang tidak syahid di Krung Daroy melapor kepadanya. Dari mereka itu, beliau mendapat informasi bahwa sekalipun kuta reuntang Krueng Daroy dan Lambare telah jatuh, namun pertempuran masih berkecamuk dahsyat dalam wilayah Aceh Besar.
Memperhatikan nafsu Belanda hendak menduduki Aceh demikian besarnya tanpa memperdulikan banyaknya korban yang jatuh, demikian laporan para panglima itu, dapat diperhitungkan bahwa wilayah Aceh Besar akhirnya akan dapat diduduki dan setelah itu mereka akan menyerang Pidie, Meureudu, Samalanga dan seterusnya.
Laporan yang diterimanya dipandang sangat serius, yang mendorong beliau segera mengadakan musyawarah dengan Teuku Raja Muda Cut Latif, para ulama dan uleebalang. Keputusan musyawarah, perlu dengan segera diperkuat benteng-benteng yang telah ada di samping membangun benteng- benteng baru. Salah satu kota yang kemudian menjelma menjadi benteng Aceh yang amat tangguh, yaitu Kuta Batee Iliek di Samalanga.
Tahun-tahun berikutnya, berturut-turut jatuhlah Pidie dan kemudian Meureudu, tempat terletak markas besar Panglima Ismail; Dayah Pantee Geulima, sehingga Teuku Raja Muda Cut Latif hijrah ke Bireuen dan Teungku Cik Pantee Geulima hijrah ke Samalanga. Teuku Raja Muda Cut Latif wafat di Bireuen dalam usia 116 tahun dan dimakamkan di Teupin Mane.
Setelah kota-kota di daerah Pidie dan Meureudu untuk sementara dapat diduduki tentara Belanda, maka sekarang para ulama yang panglima, pemimpin-pemimpin dan pahlawan-pahlawan Aceh kenamaan berkumpul di Kuta Batee Iliek, termasuk Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud.
Teungku Cik Pantee Geulima Syekh Ismail juga berada di sana. Benteng Batee Iliek yang amat strategis telah lama diincar Belanda, karena dengan jatuhnya benteng tersebut lempanglah jalan bagi Belanda menuju ke Bireuen, Peusangan dan Lhokseumawe .
Dalam tahun 1878, tiga kali tentara Belanda mencoba menyerang Kuta Batee Iliek, tetapi selalu gagal. Penyerangan kedua dan ketiga dipimpin oleh Jenderal van der Heijden sendiri, juga dipukul mundur dengan mengalami kerugian yang cukup besar di pihak tentara Belanda yang agresor. Jenderal van der Heijden senliri menjadi buta matanya disambar pelor bedil mujahid Aceh dari menara benteng, sehingga dia terpaksa dicopot dari jabatannya, dan penyerangan selanjutnya dipimpin Jenderal van Heutsz, yang telah diangkat menjadi Gubernur Militer/Panglima Tentara Pendudukan di Aceh.
Setelah menderita korban yang cukup banyak, barulah van Heutsz berhasil merebut Kuta Batee Iliek, setelah hampir semua perwira dan prajurit Aceh syahid. Sebelumnya, Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan beberapa orang ulama dengan dikawal satu pasukan kecil telah meninggalkan Kuta Batee Iliek menuju pedalaman Aceh.
Di antara ulama-ulama dan pahlawan-pahlawan yang syahid dalam pertempuran mempertahankan Kuta Batee Ilick, yaitu Teungku Cik Pantee Geulima Syekh Ismail, Teungku Cik Lueng Keubeu, Teungku Dien Bungon, dan lain-lain. Teuku Bentara Peukan meninggalkan Kuta Batee Iliek dan melanjutkan perjuangan di tempat lain.
Teungku Cik Pante Geulima syahid pada hari Jumat, waktu Asar, dalam tahan 1904 Masehi (1321/1322 Hijriah), pada usia 66 tahun, dan dimakamkan di Kampung Meurandeh Alue (sekarang adalah wilayah Kecamatan Bandar Dua). Setelah beliau syahid, beberapa tahun kemudian syahid pula beberapa temannya, antara lain Panglima Perang Meureudu Pakeh, sementara Teungku Ben Sawang ditawan; Teuku Mudin dan Teuku Benseh hijrah ke Pulau Pinang. Seorang teman lainnya, yaitu Teuku Bentara Peukan setelah ditawan, kemudian diniternir ke Bandung, setelah itu dipindahkan ke Tulung Agung, dan di sanalah beliau wafat.
Pertempuran Batee lliek
Perjalanan pulang dari Tanah Batak dan Tanah Karo ke Tanah Aceh menyita waktu yang agak lama, karena Teungku Cik Pantee Geulima menyinggahi negeri-negeri dan kampung-kampung yang banyak dalam rangka kampanye perang terhadap Belanda. Waktu beliau menyinggahi Mulieng Lhoksukon untuk melihat bagaimana sudah pusat-pusat pendidikan/latihan militer yang telah diresmikannya sebelum beliau berangkat menjalankan tugas negara ke Tanah Batak dan Tanah Karo sana, beliau mengetahui bahwa kuta reuntang Krung Daroy telah jatuh kepada musuh, setelah hampir seluruh prajurit syahid dalam mempertahankan kuta penting di selatan Banda Aceh itu.
Waktu beliau sampai di markas besarnya, Dayah Pantee Geulima, para panglima/prajurit yang tidak syahid di Krung Daroy melapor kepadanya. Dari mereka itu, beliau mendapat informasi bahwa sekalipun kuta reuntang Krueng Daroy dan Lambare telah jatuh, namun pertempuran masih berkecamuk dahsyat dalam wilayah Aceh Besar.
Memperhatikan nafsu Belanda hendak menduduki Aceh demikian besarnya tanpa memperdulikan banyaknya korban yang jatuh, demikian laporan para panglima itu, dapat diperhitungkan bahwa wilayah Aceh Besar akhirnya akan dapat diduduki dan setelah itu mereka akan menyerang Pidie, Meureudu, Samalanga dan seterusnya.
Laporan yang diterimanya dipandang sangat serius, yang mendorong beliau segera mengadakan musyawarah dengan Teuku Raja Muda Cut Latif, para ulama dan uleebalang. Keputusan musyawarah, perlu dengan segera diperkuat benteng-benteng yang telah ada di samping membangun benteng- benteng baru. Salah satu kota yang kemudian menjelma menjadi benteng Aceh yang amat tangguh, yaitu Kuta Batee Iliek di Samalanga.
Tahun-tahun berikutnya, berturut-turut jatuhlah Pidie dan kemudian Meureudu, tempat terletak markas besar Panglima Ismail; Dayah Pantee Geulima, sehingga Teuku Raja Muda Cut Latif hijrah ke Bireuen dan Teungku Cik Pantee Geulima hijrah ke Samalanga. Teuku Raja Muda Cut Latif wafat di Bireuen dalam usia 116 tahun dan dimakamkan di Teupin Mane.
Setelah kota-kota di daerah Pidie dan Meureudu untuk sementara dapat diduduki tentara Belanda, maka sekarang para ulama yang panglima, pemimpin-pemimpin dan pahlawan-pahlawan Aceh kenamaan berkumpul di Kuta Batee Iliek, termasuk Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud.
Teungku Cik Pantee Geulima Syekh Ismail juga berada di sana. Benteng Batee Iliek yang amat strategis telah lama diincar Belanda, karena dengan jatuhnya benteng tersebut lempanglah jalan bagi Belanda menuju ke Bireuen, Peusangan dan Lhokseumawe .
Dalam tahun 1878, tiga kali tentara Belanda mencoba menyerang Kuta Batee Iliek, tetapi selalu gagal. Penyerangan kedua dan ketiga dipimpin oleh Jenderal van der Heijden sendiri, juga dipukul mundur dengan mengalami kerugian yang cukup besar di pihak tentara Belanda yang agresor. Jenderal van der Heijden senliri menjadi buta matanya disambar pelor bedil mujahid Aceh dari menara benteng, sehingga dia terpaksa dicopot dari jabatannya, dan penyerangan selanjutnya dipimpin Jenderal van Heutsz, yang telah diangkat menjadi Gubernur Militer/Panglima Tentara Pendudukan di Aceh.
Setelah menderita korban yang cukup banyak, barulah van Heutsz berhasil merebut Kuta Batee Iliek, setelah hampir semua perwira dan prajurit Aceh syahid. Sebelumnya, Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan beberapa orang ulama dengan dikawal satu pasukan kecil telah meninggalkan Kuta Batee Iliek menuju pedalaman Aceh.
Di antara ulama-ulama dan pahlawan-pahlawan yang syahid dalam pertempuran mempertahankan Kuta Batee Ilick, yaitu Teungku Cik Pantee Geulima Syekh Ismail, Teungku Cik Lueng Keubeu, Teungku Dien Bungon, dan lain-lain. Teuku Bentara Peukan meninggalkan Kuta Batee Iliek dan melanjutkan perjuangan di tempat lain.
Teungku Cik Pante Geulima syahid pada hari Jumat, waktu Asar, dalam tahan 1904 Masehi (1321/1322 Hijriah), pada usia 66 tahun, dan dimakamkan di Kampung Meurandeh Alue (sekarang adalah wilayah Kecamatan Bandar Dua). Setelah beliau syahid, beberapa tahun kemudian syahid pula beberapa temannya, antara lain Panglima Perang Meureudu Pakeh, sementara Teungku Ben Sawang ditawan; Teuku Mudin dan Teuku Benseh hijrah ke Pulau Pinang. Seorang teman lainnya, yaitu Teuku Bentara Peukan setelah ditawan, kemudian diniternir ke Bandung, setelah itu dipindahkan ke Tulung Agung, dan di sanalah beliau wafat.
Sumber:
Buku Ulama Aceh (Mujahid Pejuang Kemerdekaan Dan Tamadun Bangsa) oleh A.Hasjmy