Sabarnya Para Ulama Terhadap Kefakiran
SESUNGGUHNYA mayoritas ulama dari umat ini dan para cendekiawannya hidup dalam kefakiran. Hanya sedikit dari mereka yang hidup kaya. Ibnu Khaldun menyebutkan dalam Muqaddimah-nya bahwa orang-orang yang menegakkan agama lewat qadha' (sebagai hakim), pemberi fatwa, pengajar, imam, khutbah dan adzan kebanyakan mereka tidak memiliki kekayaan yang besar."
Imam Asy-Syafi'i menyebutkan, "Sesungguhnya barangsiapa yang menuntut ilmu dengan jiwa rendah, dengan kesempitan hidup dan untuk pengabdian pada ulama, maka dia beruntung."
Imam Malik menyebutkan bahwa tidak seorang pun akan mencapai ilmu ini hingga dia mengalami kefakiran, dan dia mendahulukan ilmu atas segala sesuatu.
Abu Hanifah mengisyaratkan untuk membuang gantungan dengan mengambil bagian kecil tatkala dibutuhkan.
Al-Ajuri berkata, "Barangsiapa yang menuntut ilmu dengan kesulitan, maka dia akan mewarisi pemahaman yang benar."
Al Nadhr bin Syamil berkata, "Seseorang tidak akan mendapatkan nikmatnya ilmu hingga saat dia lapar dia lupa laparnya."
Ibnu Hazm berkata kepada Al-Baji saat berdialog dengannya, "Maafkanlah aku, karena sesungguhnya aku menuntut ilmu dengan melemparkan emas dan perak." Maksudnya, kekayaaannya dilepaskan demi mendapatkan ilmu dan ia lebih menyukai kefakiran.
Tatkala Al-Baji menuntut ilmu, dia menjadi penjaga pintu gerbang di Baghdad.
Imam Ahmad berkata, "Sabar atas kefakiran adalah kedudukan yang tidak bisa dicapai kecuali oleh orang-orang besar. Kefakiran itu lebih mulia daripada kekayaan. Sebab sabar atas kefakiran itu dernikian pedihnya, dan guncangannya jauh lebih kuat daripada bersyukur atas nikmat. Tidak ada yang bisa mengganti posisi kefakiran.
Imam Ahmad sangat senang bersedikit-sedikit dengan dunia agar hisab di akhiratnya menjadi ringan. Imam Al-Baihaqi menyebutkan bahwa Asy-Syafi'i berkata, "Saya berteman dengan kefakiran sehingga aku tidak merasa asing darinya."
Al-Khathib menyebutkan darinya, bahwa dia berkata, "Menuntut ilmu itu tidak cocok kecuali bagi yang tak beruang." Abu Hurairah lebih banyak diam bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam daripada hanya untukmengenyangkan perutnya. Bahkan mungkin suatu saat dia pingsan kelaparan di antara kamar dan mimbar."
Seorang penyair berkata,
"Kelaparan bisa diganjal hanya dengan sepotong roti kering
Kenapa aku harus lipat gandakan keresahan dan waswasku.
Imam Asy-Syafi'i berkata:
"Curahkan hujan mutiara langit Sarandib
Dan luapkan sumur-sumur Takrurtibra
Jika aku hidup, aku tak pernah kehabisan makan
Dan jika aku mati tak pernah kehabisan kuburan"
Penyair lain berlkata:
Kukatakan pada kefakiran, Dimana kau kini berada?
Dia berkata, Di surban serban para fukaha.
Sesungguhnya antara aku terjalin persaudaraan
Sungguh berat bagiku untuk memutuskan persahabatan.
Penyair lain berkata:
Sesungguhnya seorang faqilb adalah orang fakir
Dan kefakirannya itu terhimpun di ujung 'raa'nya.
Dalam buku Hilyah Al-Auliyaa' disebutkan, "Sesungguhnya Sufyan Ats-Tsauri mengalami kelaparan yang demikian sangat. Selama tiga hari perutnya tidak kemasukan makanan apa pun. Kemudian dia melewati sebuah rumah yang baru saja menjalankan pesta pernikahan. Kala itu jiwanya menyerunya agar dia masuk rumah itu. Namun Allah melindungi dan menjaganya. Dia pun melanjutkan langkahnya ke rumah anak perempuannya. Lalu, anak perempuannya pun memberinya sepotong roti pipih. Ats-Tsauri pun makan lalu minum air dan dia pun sendawa. Kemudian dia berucap:
Imam Malik menyebutkan bahwa tidak seorang pun akan mencapai ilmu ini hingga dia mengalami kefakiran, dan dia mendahulukan ilmu atas segala sesuatu.
Abu Hanifah mengisyaratkan untuk membuang gantungan dengan mengambil bagian kecil tatkala dibutuhkan.
Al-Ajuri berkata, "Barangsiapa yang menuntut ilmu dengan kesulitan, maka dia akan mewarisi pemahaman yang benar."
Al Nadhr bin Syamil berkata, "Seseorang tidak akan mendapatkan nikmatnya ilmu hingga saat dia lapar dia lupa laparnya."
Ibnu Hazm berkata kepada Al-Baji saat berdialog dengannya, "Maafkanlah aku, karena sesungguhnya aku menuntut ilmu dengan melemparkan emas dan perak." Maksudnya, kekayaaannya dilepaskan demi mendapatkan ilmu dan ia lebih menyukai kefakiran.
Tatkala Al-Baji menuntut ilmu, dia menjadi penjaga pintu gerbang di Baghdad.
Imam Ahmad berkata, "Sabar atas kefakiran adalah kedudukan yang tidak bisa dicapai kecuali oleh orang-orang besar. Kefakiran itu lebih mulia daripada kekayaan. Sebab sabar atas kefakiran itu dernikian pedihnya, dan guncangannya jauh lebih kuat daripada bersyukur atas nikmat. Tidak ada yang bisa mengganti posisi kefakiran.
Imam Ahmad sangat senang bersedikit-sedikit dengan dunia agar hisab di akhiratnya menjadi ringan. Imam Al-Baihaqi menyebutkan bahwa Asy-Syafi'i berkata, "Saya berteman dengan kefakiran sehingga aku tidak merasa asing darinya."
Al-Khathib menyebutkan darinya, bahwa dia berkata, "Menuntut ilmu itu tidak cocok kecuali bagi yang tak beruang." Abu Hurairah lebih banyak diam bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam daripada hanya untukmengenyangkan perutnya. Bahkan mungkin suatu saat dia pingsan kelaparan di antara kamar dan mimbar."
Seorang penyair berkata,
"Kelaparan bisa diganjal hanya dengan sepotong roti kering
Kenapa aku harus lipat gandakan keresahan dan waswasku.
Imam Asy-Syafi'i berkata:
"Curahkan hujan mutiara langit Sarandib
Dan luapkan sumur-sumur Takrurtibra
Jika aku hidup, aku tak pernah kehabisan makan
Dan jika aku mati tak pernah kehabisan kuburan"
Penyair lain berlkata:
Kukatakan pada kefakiran, Dimana kau kini berada?
Dia berkata, Di surban serban para fukaha.
Sesungguhnya antara aku terjalin persaudaraan
Sungguh berat bagiku untuk memutuskan persahabatan.
Penyair lain berkata:
Sesungguhnya seorang faqilb adalah orang fakir
Dan kefakirannya itu terhimpun di ujung 'raa'nya.
Dalam buku Hilyah Al-Auliyaa' disebutkan, "Sesungguhnya Sufyan Ats-Tsauri mengalami kelaparan yang demikian sangat. Selama tiga hari perutnya tidak kemasukan makanan apa pun. Kemudian dia melewati sebuah rumah yang baru saja menjalankan pesta pernikahan. Kala itu jiwanya menyerunya agar dia masuk rumah itu. Namun Allah melindungi dan menjaganya. Dia pun melanjutkan langkahnya ke rumah anak perempuannya. Lalu, anak perempuannya pun memberinya sepotong roti pipih. Ats-Tsauri pun makan lalu minum air dan dia pun sendawa. Kemudian dia berucap:
"Cukuplah dari apa yang ditutup pintu bagimu
Dimana kau itu kikir hanya untıuk memberikan garam hardaq."
Dalam buku Siyar A'lam An-Nubala' disebutkan bahwa Al-Khalil bin Ahmad pernah diam di sebuah rumah gubuk miliknya di Bashrah dimana dia tidak mampu mendapatkan uang. Sementara itu murid-muridnya, berkat ilmu yang dia ajarkan pada mereka, bisa mendapatkan banyak harta. Dia berkata, "Sesungguhnya saya tutup pintuku sehingga dia tidak bisa menembus kesedihanku."Sementara itu, Al-Khalil memiliki gaji yang dia ambil dari Sulaiman bin Habib Al-Azdi. Sulaiman pun memanggilnya. Al-Khalil berkata:
"Sampaikan pada Sulaiman aku berada dalam keadaan lapang
Dan aku kaya hanya saja aku bukanlah pemilik uang- Pemberi gajinya memotong:
Sesungguhnya Yang melubangi mulutku bertanggung jawab
Dalam rezeki hingga aku berangkat meninggal dunia
Maka tak menambahkan dalam hartamu keharaman
Lalu, pemberi gaji itu memberinya lebih banyak. Ini adalah bentuk harga diri dan sikap pribadi, ketinggian tekad yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh Al-Khalil, seorang alim yang mulia.
Dalam Tarikh Baghdad disebutkan bahwa Syarik bin Abdullah An- Nakhai berkata, "Aku menumbuk susu di Kufah, membeli kertas-kertas dan buku dan aku tuliskan di atasnya ilmu dan hadits. Kemudian aku menuntut ilmu fikih, lalu aku pun mencapai apa yang kau lihat saat ini.
Dalam buku Tartib AI-Madarik disebutkan, "Sesungguhnya Malik bin Anas mencabut atap genting rumahnya, lalu dia menjualnya untuk menuntut ilmu. Setelah itu dunia cenderung padanya, dan bukan dia yang cenderung pada dunia."
Dalam Manaqib Abu Hanifah karya Al-Khawarizmi disebutkan bahwa Abu Yusuf Al-Qadhi berkata, "Aku menuntut ilmu fikih dan hadits. Sedangkan aku adalah seorang yang memiliki bekal sedikit. Maka tatkala bekalku semakin tipis, aku menjadi banyak terlambat dalam menuntut ilmu. Abu Hanifah mengetahui kondisi itu, lalu pun memberi bekal padaku hingga akubisa mendapatkan ilmu yang diinginkan."
Dengan ilmu, Abu Yusuf naik derajatnya hingga dia mencapai puncak citanya. Dia menjadi mufti negara dinasti Abbasiyah di masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Dia memberi fatwa dengan pandangan yang sangat tepat, disertai akhlak yang mulia dalam kehidupan yang lapang.
Dalam buku Wafiyat Al-A'yan disebutkan bahwa An-Nadhr bin Syamil meninggalkan Bashrah tatkala ditimpa kefakiran dan ditimba kekurangan. Dia berkata kepada para pengantarnya, "Sungguh aku sangat berat berpisah dengan kalian, seandainya aku masih mendapatkan sedikit makanan dalam hari-hariku pasti aku tidak akan meninggalkan kalian."
Ini menunjukkan pada kita tentang tidak berharga dan rendahnya nilai dunia. Orang-orang yang penuh daya vitalitas dan genius tidak mendapatkan hanya sekadar kacang. Kita lihat bahwa dunia itu digiring pada orang-orang yang rendah dan hina sehingga mereka mendapatkan dunia dalam jumlah yang demikian banyak.
Dalam Tarikh Al-Khulafa' karya As-Suyuthi disebutkan bahwa An- Nadhr bin Syamil masuk menemui Al-Makmun dengan memakai pakaian yang sobek-sobek. Al-Makmun berkata, "Apa-apaan ini?" Dia berkata, "Wahai Amirul Mukminin, apakah kau merasa dingin dengan pakaian ini dalam cuaca panas di Marw!" Al-Makmun berkata, "Tidak. Kau memang orang yang menjauhi dunia."
Dalam Kitab Al-Intiqaa' karya Ibnu Abdil Bar disebutkan bahwa Imam Asy Syafi'i berkata, "Aku tidak memiliki harta benda, Aku menuntut ilmu pada saat masih sangat muda. Aku datang ke tempat-tempat pustaka dan aku mengambil kertas-kertas untuk menulis ilmu di atasnya."
Dalam Manaqib Asy-Syafi'i disebutkan bahwa dia berkata, "Saya mencari-cari tembikar dan pundak onta, lalu aku tuliskan hadits di dalamnya, hingga tulisan itu memenuhi sebuah tempayan besar milik ibuku." Inilah awal hidup yang membakar diri sang Imam. Agar semangat dan jiwanya mampu melakukan lompatan besar, agar daya ingatnya yang brilian bisa naik, agar dia menjadi 'mata dunia' di zamannya, dan tali penyambung ikatan di masanya.
Dalam Jami' Al-Ilmi wa Fadhlihi disebutkan bahwa ibu Imam Asy- Syafi'i menggadaikan selendangnya seharga enam belas dinar agar Imam Asy-Syafi'i bisa pergi dengan dinar-dinar itu ke negeri Yaman. Semoga Allah memberikan pahala besar pada ibu yang baik ini, dan keselamatan untuknya karena anak yang diberkahi. Setelahnya, anak itu memberikan sumbangan besar bagi umatnya. Dia telah mewariskan warisan indah berupa ilmu dan kebaikan. Dia telah meninggalkan bagi dunia ini sebuah inovasi ilmu yang bernilai tinggi, sebuah produk ilmiah yang jujur dan berharga, sebuah kreasi dalam ilmu yang bisa dijadikan sebagai hiasan di tempat-tempat perhelatan, sehingga majlis itu menjadi demikian berbunga.
Kaulah yang menggembirakan zaman dengan sebutannya
Dan rahasia-rahasia berhiaskan indah hadits-haditsmu."
Dimana kau itu kikir hanya untıuk memberikan garam hardaq."
Dalam buku Siyar A'lam An-Nubala' disebutkan bahwa Al-Khalil bin Ahmad pernah diam di sebuah rumah gubuk miliknya di Bashrah dimana dia tidak mampu mendapatkan uang. Sementara itu murid-muridnya, berkat ilmu yang dia ajarkan pada mereka, bisa mendapatkan banyak harta. Dia berkata, "Sesungguhnya saya tutup pintuku sehingga dia tidak bisa menembus kesedihanku."Sementara itu, Al-Khalil memiliki gaji yang dia ambil dari Sulaiman bin Habib Al-Azdi. Sulaiman pun memanggilnya. Al-Khalil berkata:
"Sampaikan pada Sulaiman aku berada dalam keadaan lapang
Dan aku kaya hanya saja aku bukanlah pemilik uang- Pemberi gajinya memotong:
Sesungguhnya Yang melubangi mulutku bertanggung jawab
Dalam rezeki hingga aku berangkat meninggal dunia
Maka tak menambahkan dalam hartamu keharaman
Lalu, pemberi gaji itu memberinya lebih banyak. Ini adalah bentuk harga diri dan sikap pribadi, ketinggian tekad yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh Al-Khalil, seorang alim yang mulia.
Dalam Tarikh Baghdad disebutkan bahwa Syarik bin Abdullah An- Nakhai berkata, "Aku menumbuk susu di Kufah, membeli kertas-kertas dan buku dan aku tuliskan di atasnya ilmu dan hadits. Kemudian aku menuntut ilmu fikih, lalu aku pun mencapai apa yang kau lihat saat ini.
Dalam buku Tartib AI-Madarik disebutkan, "Sesungguhnya Malik bin Anas mencabut atap genting rumahnya, lalu dia menjualnya untuk menuntut ilmu. Setelah itu dunia cenderung padanya, dan bukan dia yang cenderung pada dunia."
Dalam Manaqib Abu Hanifah karya Al-Khawarizmi disebutkan bahwa Abu Yusuf Al-Qadhi berkata, "Aku menuntut ilmu fikih dan hadits. Sedangkan aku adalah seorang yang memiliki bekal sedikit. Maka tatkala bekalku semakin tipis, aku menjadi banyak terlambat dalam menuntut ilmu. Abu Hanifah mengetahui kondisi itu, lalu pun memberi bekal padaku hingga akubisa mendapatkan ilmu yang diinginkan."
Dengan ilmu, Abu Yusuf naik derajatnya hingga dia mencapai puncak citanya. Dia menjadi mufti negara dinasti Abbasiyah di masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Dia memberi fatwa dengan pandangan yang sangat tepat, disertai akhlak yang mulia dalam kehidupan yang lapang.
Dalam buku Wafiyat Al-A'yan disebutkan bahwa An-Nadhr bin Syamil meninggalkan Bashrah tatkala ditimpa kefakiran dan ditimba kekurangan. Dia berkata kepada para pengantarnya, "Sungguh aku sangat berat berpisah dengan kalian, seandainya aku masih mendapatkan sedikit makanan dalam hari-hariku pasti aku tidak akan meninggalkan kalian."
Ini menunjukkan pada kita tentang tidak berharga dan rendahnya nilai dunia. Orang-orang yang penuh daya vitalitas dan genius tidak mendapatkan hanya sekadar kacang. Kita lihat bahwa dunia itu digiring pada orang-orang yang rendah dan hina sehingga mereka mendapatkan dunia dalam jumlah yang demikian banyak.
Dalam Tarikh Al-Khulafa' karya As-Suyuthi disebutkan bahwa An- Nadhr bin Syamil masuk menemui Al-Makmun dengan memakai pakaian yang sobek-sobek. Al-Makmun berkata, "Apa-apaan ini?" Dia berkata, "Wahai Amirul Mukminin, apakah kau merasa dingin dengan pakaian ini dalam cuaca panas di Marw!" Al-Makmun berkata, "Tidak. Kau memang orang yang menjauhi dunia."
Dalam Kitab Al-Intiqaa' karya Ibnu Abdil Bar disebutkan bahwa Imam Asy Syafi'i berkata, "Aku tidak memiliki harta benda, Aku menuntut ilmu pada saat masih sangat muda. Aku datang ke tempat-tempat pustaka dan aku mengambil kertas-kertas untuk menulis ilmu di atasnya."
Dalam Manaqib Asy-Syafi'i disebutkan bahwa dia berkata, "Saya mencari-cari tembikar dan pundak onta, lalu aku tuliskan hadits di dalamnya, hingga tulisan itu memenuhi sebuah tempayan besar milik ibuku." Inilah awal hidup yang membakar diri sang Imam. Agar semangat dan jiwanya mampu melakukan lompatan besar, agar daya ingatnya yang brilian bisa naik, agar dia menjadi 'mata dunia' di zamannya, dan tali penyambung ikatan di masanya.
Dalam Jami' Al-Ilmi wa Fadhlihi disebutkan bahwa ibu Imam Asy- Syafi'i menggadaikan selendangnya seharga enam belas dinar agar Imam Asy-Syafi'i bisa pergi dengan dinar-dinar itu ke negeri Yaman. Semoga Allah memberikan pahala besar pada ibu yang baik ini, dan keselamatan untuknya karena anak yang diberkahi. Setelahnya, anak itu memberikan sumbangan besar bagi umatnya. Dia telah mewariskan warisan indah berupa ilmu dan kebaikan. Dia telah meninggalkan bagi dunia ini sebuah inovasi ilmu yang bernilai tinggi, sebuah produk ilmiah yang jujur dan berharga, sebuah kreasi dalam ilmu yang bisa dijadikan sebagai hiasan di tempat-tempat perhelatan, sehingga majlis itu menjadi demikian berbunga.
Kaulah yang menggembirakan zaman dengan sebutannya
Dan rahasia-rahasia berhiaskan indah hadits-haditsmu."