Seni Dalam Berdakwah
Sesungguhnya memahami masalah dakwah dengan pemaham an yang detail itu dapat menumbuhkan sikap luwes dalam berharakah. Sehingga seorang da'i tidak jumud dengan Tashawwur harakah itu sendiri, dan tidak ada pemahaman bagi dakwah yang terpisah dari tujuan syariat yang mulia.
Dalam sejarah Islam, kita tahu bahwa Rasul Allah saw. pernah duduk bersama orang-orang musyrik sebelum masa risalah di rumah ibnu Jad'an, dan Nabi sempat menyetujui pendapat yang mereka kemukakan dalam perjanjian itu, yaitu " Nushratul Mazhlum " (menolong orang yang dianiaya). Agar tidak dikatakan bahwa ini terjadi sebelum Islam, dan karena Rasulullah saw ingin memberikan pemahaman yang benar bagi setiap orang yang bisa melihat, maka Nabi berkata: “Saya pernah diundang di rumah Ibnu Jad’an untuk suatu perjanjian yang seandainya aku diundang dalam Islam niscaya akan aku turuti.
Apatah lagi dengan Majelis ( partemen ) di negara Islam yang sebagian besar anggotanya adalah Muslimin yang beriman kepada Allah dan Malaikat-Nya, Kitab-kitab Nya, para rasul yang menegakkan shalat, melaksanakan puasa, menunaikan Nya, dan percaya kepada hari kemudian.
Bahkan ada di antara mereka banyak menegakkan shalat, menunaikan puasa, membayar zakat dan dan mengerjakan Haji ke Baitullah. Maka bagaimana jika kita diberi kesempatan di forum itu untuk meluruskan pemaham an, memperoleh pengikut menjelaskan halal dan haram, menuntut terlaksananya syariat Allah, kemudian mereka mendengarkan apa yang dapat mereka dengar ? Laa haula wa laa quwwataa illaa billahil ' aliyyil ' adziim. Ya Allah berikanlah kami kepahaman terhadap agama kami ini.
Sesungguhnya seorang da'i membutuhkan pemahaman yang benar terhadap dakwah, metode yang baik dalam menyampaikan, dan sungguh-sungguh dalam mentarbiyah para pengikutnya. Kegagalan salah satu dari ketiga hal tersebut akan mendatangkan bahaya besar bagi amal islami secara keseluruhan Sesungguhnya memahami hal-hal seperti itu bisa menjadikan seorang da'i ketika meniti dakwah dengan mad'unya, mengharus kannya untuk mengenal pertama kali adalah akalnya, agar la bisa berdialog sesuai tingkatannya.
Maka tidak masuk akal jika kamu mengajak dialog dengan seorang muslim yang lalai sebagal mana seorang muslim yang kesufi-sufian dengan tasawwuf yang menyimpang, atau mengajak bicara orang yang masih kabur pe mahamannya seperti orang yang menentang dan membantah. Karena setiap orang dari mereka mempunyai titik permulaan, apabila seorang da'i itu tepat dalam melakukan pendekatan, maka ia mendapat taufiq ke arah kebaikan yang banyak dan ia mampu membuka hati yang tertutup atas pertolongan Allah swt. Oleh karena itu fiqih dakwah merupakan salah satu cabang da'i. Adalah sesuatu yang membuat kita tertawa dan menangis jika kita mendengar ada sebagian manusia yang menganggap fiqih dakwah ini termasuk bid'ah.
Kita tidak tahu mengapa mereka tidak bertanya kepada diri mereka sendiri. Apakah penamaan suatu bidang ilmu untuk memudahkan kaum muslimin memahami agama ini termasuk bid'ah idhafīyah ? dan apakah hukum itu hanya satu untuk dua keadaan ?
Lalu apa pula yang akan kita katakan terhadap ilmu ushuluddin dan ushul Fiqih ?
Bukankah Imam Syafi'i itu orang pertama yang menulis kitab Ar-Risalah yang telah menjadi referensi dalam ilmu ushul fiqih ?
Lalu apa yang kita katakan dengan ilmu ini ? Apakah itu juga bid'ah ?
Sesungguhnya kaum muslimin pertama, bagi mereka bahasa merupakan saliqah ( kebiasaan sejak kecil ), sebagaimana memahami Islam bagi mereka itu mudah. Karena keberadaan Rasulullah saw, di tengah-tengah mereka, apalagi Al-Qur'an itu diturunkan dengan bahasa mereka, maka Islam bagi mereka tidak memerlukan pembagian-pembagian istilah ( terminologi ), seperti : sya'air, syara'i, akhlak, muamalah, tauhid, musthalah, hadits, fiqih, sirah, tarikh dan ushuluddin.
Kemudian datang generasi setelah mereka yang lisan dan bahasa mereka bukan bahasa Arab, tsaqafah mereka juga tsaqafah Barat. Lalu apakah jika Allah memberi taufiq kepada salah seorang ulama, kemudian menyusun suatu ilmu yang dapat memudahkan kaum muslimin dalam memahami Islam, atau mem bantu para da'i dalam mengarahkan pemahaman dan perilaku. Agar jelas bagi mereka bagaimana pola pikir orang-orang yang beriman, dan agar mereka mengetahui bahwa Islam itu adalah meliputi dakwah dan da'inya, dakwah yaitu Al-Qur'an dan da'i nya adalah Rasulullah saw. Jika telah jelas bagi mereka prinsip prinsip dakwah, maka harus jelas juga bagi mereka fiqih dakwah. apakah yang demikian itu termasuk bid'ah ?
Demi Allah, seandainya itu bid'ah, maka itu adalah bid'ah hasanah bagi yang melakukannya hingga harikiamat. Sesungguhnya orang-orang yang menghidupkan dan memperjuangkan islam sebagai agama jamaah (bukan hanya masalah ibadah saja yang tercermin dalam shalat, zakat, dan ) mereka itulah yang memahami pentingnya makna “alaqat” (interaksi dengan obyek dakwah).
Bagi siapa saja yang mempelajari kehidupan Rasulullan saw., niscaya dia akan mengetahui bagaimana berdakwah kepada agama jamaah itu dan menggandeng tangan individunya menuju perilaku yang mulia. Maka alangkah perlunya para da'i di masa kita sekarang ini untuk memahaminya. agar mereka bisa mengatakan dengan benar,sebagaimana firman Allah: " Inilah jalan ( agama ) ku mengajak selalu kepada Allah, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik. " ( Yusuf : 108 ).
Bukanlah dikatakan amar ma'ruf nahi munkar dan dakwah jika ia berjalan secara asal-asalan sebagaimana anggapan sebagian besar para pemuda. Akan tetapi ia merupakan aktivitas yang dibingkai oleh kaidah-kaidah dan pengarahan yang di timbang sesuai dengan standar fiqih dan ushulnya.
Dakwah kita, Alhamdulillah, bukanlah da'wah jaamidah ( dakwah yang beku ): tidak dalam syaratnya dan tidak pula dalam metode dakwahnya. Syariat ini senantiasa aktual sepanjang zaman, karena telah menghasilkan kaidah-kaidah syar'i yang diambil dari penelitian terhadap nash-nash dan asbabun nuzul serta berbagai peristiwa yang pernah terjadi. Oleh karena itu, seorang da'i wajib memahami dan memperhatikan maqasidus syari'ah dalam setiap dak wahnya, karena segala sesuatu itu tergantung pada orentasinya ( untuk apa dia diniatkan ). Inilah yang akan bisa membantu para da'i agar tetap dalam garis yang benar.
BEBERAPA KAIDAH YANG WAJIB DIPERHATIKAN
Keyakinan tidak bisa hilang oleh keraguan
Tidak ( boleh ) ada yang berbahaya dan membahayakan: a. Bahaya itu harus dihindarkan sedapat mungkin b. Bahaya itu harus dihilangkan c. Bahaya itu tidak bisa dihilangkan dengan bahaya serupa d. Bahaya besar dihapus dengan bahaya yang lebih ringan. C. kita memilih salah satu yang lebih ringan di antara dua keburukan
Jika ada dua kemungkaran berhadapan, harus dijaga yang lebih besar resikonya, dengan melakukan yang lebih kecil
Membiarkan bahaya lokal untuk menghindari bahaya global
Usaha menghindari kerusakan didahukukan atas usaha men cari kemashlahatan
Sesuatu yang diperbolehkan karena terpaksa, diukur sesuai dengan kebutuhannya
Kondisi terpaksa membolehkan hal-hal yang dilarang.Demikianlah, sesungguhnya seorang da'i harus memiliki fiqih pemahaman ) sebelum memerintah dan melarang, dan harus se nantiasa disertai dengan kelembutan serta kesabaran ketika me lakukannya, agar ia dapat merealisasikan firman Allah swt.. " Serulah ( manusia ) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan mau'izhah hasanah dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik "( An-Nahl : 125 )
Akhirnya kita mengetahui sebagian kaidah-kaidah ushul fiqih, seperti kaidah maslahah dengan maqaasid serta tartibul adillah maratibul ahkam, al-amru dan an-nahyu, yang merupakan se suatu yang diperlukan oleh seorang da'i ketika berjalan di atas jalan dakwah, agar selalu dalam kepekaan dan kefahaman ter hadap pokok-pokok dan kaidah syar'i.
Dengan pemahaman itu la tidak akan mengikuti hawa nafsu dan prasangkanya, tetapi ia komitmen terhadap manhaj dan kaidah-kaidah yang ada Melihat betapa pentingnya, maka saya susun atas taufiq Allah semata-mata di hadapan para pembaca sebagian dari kaidah-kaidah dakwah, atau katakanlah Sepuluh Wasiat yang dapat kita jadikan sebagai bekal dalam menit jalan dakwah dan sebagai petunjuk bagi setiap da'i. kita memohon kepada Allah swt agar memberikan manfaat kepada kita dengan wasiat ini.
Sumber:
Buku Fikih Dakwah karangan Jumu’ah Amin Abul Azis