Kisah Abu Lahab Dan Dakwah Nabi
Kepada Ali, Rasulullah pernah bersabda,”Adakah kau perhatikan paman-pamanku yang belum beriman itu ? Mereka tidak mengenal adab, tidak tahu bagaimana caranya menjadi tamu yang baik. Dan rata-rata begitu. Mereka hanya bisa menjadi tuan rumah, tetapi tidak tahu kewajibannya jika berada di rumah orang lain. Mereka tidak mau mendengarkan aku berbicara sebab me reka sudah tuli akibat penyakit jiwa. Tapi tidak menga pa, aku tak kan putus asa. Siapkan makanan baru, dan undanglah orang-orang yang sama supaya datang be sok pagi.”
Keesokan harinya mereka berkumpul kembali. Mungkin karena di rumah sendiri mereka tidak bisa makan meskipun ingin makan. Siapa tahu mereka dapat menikmati hidangan yang disediakan oleh Nabi Muhammad.
Betul. Dengan lahap mereka bersantap sampai ke kenyangan, seolah sebagai balas dendam atas kelapar an mereka kemarin. Mereka tidak sadar bahwa mengisi perut berlebihan juga sama artinya dengan menyik sa diri sendiri. Sebab kemampuan dan kebutuhan manusia ada batasnya. Namun, karena sifat rakus, manusia kadang-kadang lupa daratan. Dan itulah awal bencana.
Sesudah itu Nabi Muhammad segera berdiri hingga sebelum mereka sempat berdalih, la telah memulai ucap annya.”Tuan-tuan sekalian. Meskipun saya barusan te lah menyuguhkan makanan yang memadai, orang lain masih bisa memberikan jamuan yang lebih lezat. Itulah makanan dunia. Tetapi, ada sesuatu yang saya bawa kan bagi Tuan-Tuan, yang tak seorang pun makhluk hidup mampu menyediakannya, yaitu kejayaan di du nia dan kebahagiaan di akhirat.”
Semua hadirin terdiam sejenak. Lantas mulai ter dengar bisik-bisik satu sama lain. Namun, Rasulullah keburu melanjutkan ucapannya,”Allah Yang Maha ting gi memerintahkan saya untuk mengimbau segenap umat manusia agar datang ke hadirat-Nya dan menempuh jalan-Nya. Siapa di antara Tuan-Tuan yang ingin memperoleh bagian dari tugas saya ini, silakan bergabung dengan saya. Orang itu akan menjadi pengganti dan pemegang kuasa saya, juga saudara saya.”
Mendengar perkataan Nabi Muhammad yang mengejut kan dan tidak tersangka-sangka itu, mereka seakan terkesima. Mereka hanya bisa saling memandang tanpa mengetahul hendak menjawab apa atau berbuat bagai mana. Yang jelas, air muka mereka menunjukkan gelagat kebencian dan permusuhan. Ali, putra Abu Thalib, yang dengan setia mendampingi saudara sepupunya, tiba-tiba berdiri serentak, tanpa terpikir bahwa usianya baru sepuluh tahun. Ia tidak mau didahului orang lain dalam keinginannya untuk menjadi manusia pertama yang menikmati kehormatan selaku pengikut Nabi Muhammad. la lupa terhadap tata krama yang berlaku di kalangan bangsa Arab, yaitu bahwa anak kecil, betapa pun pandainya, tidak mempu nyai hak berbicara di tengah kaum bangsawan. All ber seru,”Sayalah penggantimu dan slap berkorban untuk. mu.”Akibatnya, seluruh hadirin tercengang dan bersungut marah.
Tetapi Nabi Muhammad bukannya tersinggung atau melecehkan. Bahkan dengan bangga dan merasa di hargal la menepuk-nepuk punggung Ali dan berkata,”Inilah pemegang kuasa dan wakil saya. Inilah sauda ra saya. Dengarkanlah dan taatilah perkataannya.”Semua tamu menjadi marah. Dan untuk melampias kannya mereka terbahak-bahak disertal teriakan teriakan mengejek dan menghina. Sungguh, tanda tanda ketidakwarasan telah nyata pada diri Muham mad, manusia yang samar-samar telah mereka dengar berani menyalahkan agama nenek moyang.
Abu Lahab berpaling kepada saudaranya, Abu Thalib, dan berteriak menyindir,”Apakah kaudengar pidato kemenakan engkau tadi ? la memerintahkan engkau untuk mendengarkan dan mematuhi nasihat anak engkau sendiri !”Lalu, bagaikan dikejar anjing buduk, Abu Lahab dan lain-lainnya segera angkat kaki dari rumah Nabi Muhammad. Mereka pergi dengan mendongkol, marah, dan sakit hati. Cuma Abu Thalib yang keluar dengan lunglai, tanpa dendam atau benci, hanya malu karena dihina oleh Abu Lahab di muka orang banyak. Peristiwa itu telah menggoreskan kesan mendalam di hati Rasulullah. la sedih mengingat orang-orang yang membelakanginya itu adalah kerabatnya sendiri.
Mereka hendak diselamatkan, tetapi mereka mengingka ri. Mereka diistimewakan, namun mereka merendahkan. Untunglah pada hari-hari itu ia didukung oleh wahyu yang turun terus-menerus, membimbing dan mengu atkannya sehingga ia terhindar dari putus asa atau kecil hati. Dengan gigih Rasulullah makin menyingsingkan lengan bajunya, berdakwah lebih terang-terangan di hadapan sanak famili dari pihak ayah dan ibunya. Wahyu yang datang silih berganti pada saat itu adalah yang berkenaan dengan ancaman siksa, kehancuran, dan hari pembalasan.
Dalam nada yang penuh kecemasan akan nasib umatnya, Rasulullah membacakan firman-firman Tuhan.”Hari kiamat,”ujarnya, mengutip surah al-Qari'ah ayat 1 sampai 5.”Apakah hari kiamat itu ? Tahukah ka mu, apa sebenarnya hari kiamat itu ? Hari tatkala manusia bagaikan anai-anai yang bertebaran, dan gunung gunung bagaikan bulu-bulu yang dihamburkan.”Satu-dua orang yang mendengarkan mulai tergetar hatinya. Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa hari kebinasaan itu ditujukan untuk memperbaiki kemanusiaan yang bobrok dengan menghancurkan dan membangkitkannya kembali.
Untuk itu diserukannya umat manusia supaya membebaskan diri dari rantai-rantai hawa nafsu, yang membelit dengan kejam, namun memabukkan. Dengan tujuan itulah ia datang membawa agama kebebasan yang akan menuntun manusia ke jalan keselamatan dan kemenangan. Diserukannya agar mereka segera bertobat dari kesesatan sebelum hari ke binasaan itu tiba.
Lagi pula lebih banyak yang membantah dan menyang gah.”Ah, saat kebinasaan itu tak kan menimpa kami.”Rasulullah tidak kecil hati. Dengan sabar lalu menjawab,”Sesungguhnya hari kiamat itu pasti tiba, tidak ada keraguan sedikit pun. Dan Allah akan membangkitkan manusia yang sudah berada di kuburnya.”
Mereka menggigil ketakutan. Tetapi, dasar keras kepala, mereka justru makin menjauhkan diri, bukannya berubah taat mengikuti Nabi. Hanya sebagian kecil yang masih tetap berada di tempatnya tatkala Nabi Muhammad melanjutkan :”Wahai, sekalian manusia. Takutlah ke pada Tuhanmu karena sesungguhnya hari keguncang an itu adalah detik-detik petaka yang sangat mengerikan. Pada waktu itu bumi diguncang gempa. Dan bumi memuntahkan segala isinya. Maka bertanyalah manusia : Bumi ini kenapa ? Hari itu bumi akan menyebar kan berita bahwa semua ini adalah kehendak Yang Ma hakuasa. Hari itu kubur-kubur akan terbuka, dan diba ngunkan mayat-mayat dari lubuknya. Dibeberkan ca tatan amal, dan diperlihatkan. Maka barang siapa ber buat baik, betapa pun kecilnya, akan dilihat hasilnya. Dan barang siapa berbuat jelek, meskipun cuma sebiji sawi, akan dilihat pula balasannya.”
Dampaknya memang terasa. Orang-orang Quraisy yang pernah mendengar kabar menakutkan itu, walau pun mereka berusaha menghilangkannya, tetap diliputi kecemasan yang kian membesar. Mereka gelisah dan tidak dapat tidur lelap, selalu dibayang-bayangi hari ke binasaan itu. Bahkan banyak yang telah mulai mendekat dekat ingin berlindung di belakang Rasulullah.