Surat Al-Fatihah Dan Keistimewaannya
Surat AI-FAATIHAH artinya adalah Pembuka. Surat Al-fatihah diturunkan di Mekkah. Surat ini terdiri dari 7 ayat. Para ahli tafsir (mufassir) meriwayatkan adanya beberapa nama bagi surat al-Faatihah. Di antara nama-nama yang termasyhur adalah: Ummul Kitab, Ummul Qur'an, as-Sab'ul Matsani, al-Asas, dan Faatihatul Kitab.
Dinamakan Ummul Kitab Ummul Qur'an (Induk Kitab-induk Qur'an), karena cakupan isinya yang meliputi seluruh maksud al-Qur'an. Yaitu: memuji Allah, beribadat kepada-Nya, janji pahala (wa'ad), dan ancaman siksa (wa'id).
Dinamai dengan as-Sab'ul Marsani (tujuh ayat yang diulang-ulang), karena pembacaan surat ini selalu diulang-ulang saat bersembahyang. Bernama al-Asas (landasan, dasar, sendi), karena surat ini dipandang sebagai sendi dan urat nadi al-Qur'an.
Sedangkan dinamai “Faatihat al – Kitab” (pembuka al-Kitab), karena menjadi permulaan atau pembukaan al-Qur'an, atau karena surat ini yang pertama diturunkan.
Memang banyak nama diberikan kepada surat al-Faatihah. Selain nama nama yang sudah disebutkan, masih ada beberapa lagi. Di antaranya: al-Kanz (perbendaharaan), al-Wafiyah (yang amat sempurna), al-Kafiyah (yang sangat mencukupi), al-Hamdu (pujian), asy-Syukru (ucapan terima kasih), ad-Du'au (seruan dan permohonan), as-Shalat (sembahyang dan doa), asy-Syafiyah (penyembuh), dan asy-Syifa ' (penawar).
Al-Jurjani mengatakan, Faatihat al-Kitab adalah nama bagi surat al-Hamdu, yang sering disebut dengan al-Faatihah. Kemungkinan saja hal ini sebagai kependekan dari Faatihat al-Kitab atau sebagai nama baru.
Menurut sahabat Ibn Abbas dan Tabi'i Qatadah, surat mulia ini diturunkan di Mekkah. Di antara para ulama ada yang menyatakan bahwa surat ini diturunkan setelah surat al-Muddatstsir. Tetapi Abu Hurairah, Mujahid, Atha ' ibn Yasar dan az-Zuhri mengatakan, surat ini diturunkan di Madinah.
Karena keterangan para sahabat tidak sama, maka sebagian ahli tafsir berpendapat, surat ini tidak diturunkan sekaligus, tetapi dua tahap. Pertama di Mekkah, ketika Allah mewajib kan sembahyang atau schabis Nabi berisra ' dan bermi'raj. Kedua di Madinah, ketika terjadi peralihan arah sembahyang (kiblat) dari Baitul Maqdis ke Kakbah. Mufassir al-Baghawi, Ibn Kasir, al-Baidhawi dan jumhur ulama, menguatkan keterangan Ibn Abbas, mengingat nash al-Qur'an sendiri mengisyaratkan bahwa surat al-Faatihah diturunkan di Mekkah. "
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa al-Faatihah merupakan surat yang pertama kali diturunkan berdasarkan riwayat al-Baihaqi dari Abu Maisarah dalam kitab ad-Dalail. Riwayat itu menyatakan bahwa Rasulullah berkata kepada Khadijah, " Apabila saya sedang menyepi (ber-khalwat), saya selalu mendengar seruan. Demi Allah, saya khawatir hal ini menjadi urusan besar (tanda buruk). "
Mendengar hal itu, Khadijah menjawab: " Kita berlindung kepada Allah (ma'adzallah). Tuhan tidak akan mengecewakan engkau. Kamu adalah orang yang senantiasa menunaikan amanat, menyambung hubungan keluarga (silaturrahim) dan selalu berlaku benar. " Rasulullah kemudian menceritakan apa yang dialaminya itu kepada Waraqah, seorang pendeta Nasrani yang juga paman Khadijah. Waraqah menganjurkan Nabi supaya bersikap tenang dan memperhatikan seruan-seruan itu. Suatu hari, ketika Nabi berkhalwat, tiba-tiba beliau diseru oleh seorang malaikat: " Ya, Muhammad, bacalah: " Bismillaahir Rahmaanir Rahiim. Alhamdu lillaahi rabbil ' aalamiin... sampai ' waladh dhaalliin. Surat suci ini terdiri dari tujuh ayat.
Tidak ada perselisihan dalam hal ini. Hanya para mufassir dan qurra (ahli bacaan al-Qur'an) berselisih paham tentang penetapan ayat pertama dan ayat ketujuh. Ada yang mengatakan: " Bismillaahir rahmaanir rahiim " adalah ayat pertama.
Shiraathal ladziina an'amia ' alaihim ghairil maghdhuubi ' alaihim wa ladh dhalliin merupakan satu ayat, yaitu ayat ketujuh. Ada pula yang menyatakan, " Alhamdu lillaahir rabbil ' aalamiin " adalah ayat pertama. Mereka itu menghitung shiraathal ladziina an'amta ' alaihim satu ayat, dan ghairil maghdhuubi ' alaihim wa ladh dhaalliin satu ayat tersendiri. Pendapat kami, ayat pertama al-Faatihah adalah: Alhamdu lillaahir rabbil ' aalamiin. Kedua: Ar rahmaanir rahiim. Ketiga: Maaliki yaumid diin. Keempat: Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin. Kelima: Ihdinash shiraathal mustaqiim. Keenam: Shiraathal ladziina an'amta ' alaihim. Ketujuh: Ghairil maghdhuubi ' alaihim wa ladh dhalliin. Jumlah kosa katanya, menurut perhitungan yang telah dilakukan oleh sebagian ahli tafsir, adalah 20 buah, dan jumlah hurufnya 113 huruf.
Semua makna kandungan al-Qur'an tercakup dalam surat al-Faatihah secara global (mujmal). Kandungan al-Qur'an mencakup masalah-masalah: tauhid (pengesaan Tuhan), wa'ad (janji pahala) dan wa'id (ancaman siksa). Ibadat yang dilaksanakan untuk menghidupkan tauhid dalam jiwa dan mengukuhkannya di dalam diri seseorang. Jalan-jalan kebahagiaan yang mengantarkan kepada kesejahteraan di dunia dan akhirat, berita tentang pemimpin dan tokoh masa lampau yang telah dianugerahi hidayah, yang telah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya, yang menghasilkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Juga ibarat dan kiasan bagi manusia yang sesat, yang melanggar hukum dan meninggalkan syariat.
Tauhid, ditunjukkan oleh firman Allah: Alhamdu lillaahi rabbil ' aalamiin. Ayat ini menunjukkan bahwa segala puji dan penghormatan yang muncul akibat adanya suatu nikmat adalah hak Allah. Allahlah sumber dari segala macam nikmat yang menyebabkan kita wajib memuji-Nya. Nikmat yang paling penting yang dianugerahkan Allah adalah nikmat penciptaan (ijad), pemeliharaan dan pengasuhan (tarbiyah) terhadap diri kita. Inilah yang dipahami dari frase: Rabbil ' aalamiin.
Janji baik dan janji buruk (wa'ad dan wa'id) ditunjukkan oleh ayat: Maaliki yaumid diin. Yang dimaksud dengan diin dalam ayat ini adalah pembalasan. Dan pembalasan itu adakalanya berupa pahala yang diberikan kepada mereka yang berbuat baik, dan berupa siksa yang ditimpakan kepada mereka yang berbuat jahat.
Ibadah, dipahami dari ayat: Iyyaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin. Dengan pernyataan ini Allah mencabut akar-akar syirik (menuhankan sesuatu selain Allah), yang berkembang pada masa jahiliyah. Masa itu, kaum jahiliyah minta pertolongan kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepada Allah melalui perantaraan wali-wali (selain Allah) itu.
Jalan-jalan kebahagiaan ditunjukkan oleh firman Allah: Ihdinash shiraa that mustaqiim. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kebahagiaan itu hanya bisa diraih dengan sempurna, jika orang tetap menempuh jalan yang lurus dan benar, serta diridhai oleh Allah. Sebaliknya, orang yang melanggar atau menyimpang dari jalan Allah, akan terjerumus ke lembah kenistaaan yang dalam dan mengerikan.
Berita masa lampau, ditunjukkan oleh firman Allah: Shiraa-thal la-dziina an'amta ' alaihim. Dari ayat ini bisa diketahui bahwa pada masa lampau telah hidup beberapa umat yang diberi syariat Allah yang benar, lalu mereka mengikuti dan menjalankan. Maka, seharusnya kita juga meneladani kehidupan mereka.
Firman Allah: Ghairil magh-dhuubi ' alaihim wa ladh dhaalliin, menunjuk kan bahwa mereka yang tidak diberi nikmat ada dua golongan.
Pertama: golongan yang keluar dari kebenaran, sedangkan mereka telah mengetahuinya. Mereka lebih senang pada adat-istiadat dan cara hidup yang diwarisi dari nenek moyang nya. Itulah: al-maghdhuubi ' alaihim orang-orang yang dibenci.
Kedua: golongan yang sama sekali tidak mengetahui kebenaran atau mengetahui tetapi samar-samar. Mereka hidup dengan mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan. Mereka jauh dari jalan yang lurus, yang mampu mengantarkannya kepada tujuan. Itulah golongan adh-dhaalliin orang-orang yang sesat.
Selain surat al-Faatihah, dalam al-Qur'an terdapat empat surat lagi yang dimulai dengan Alhamdu lillaahi, yaitu surat al-An'aam, al-Kahfi, Saba ', dan Raathir. Pembahasan kelima surat (termasuk al-Faatihah) ini berkisar masalah ketuhanan (rububiyyah), baik dari segi Allah sebagai pencipta (khalqiyah) maupun sebagai penetap hukum (tasyri'iyah). Secara ringkas, surat al-Faatihah mengajarkan dasar-dasar pokok bagi kedua makna rububiyyah itu, sedangkan surat-surat yang lain menjelaskan dasar-dasarnya.
Sembahyang yang kita laksanakan sehari semalam, yang sekurang-kurangnya berjumlah 17 rakaat, merupakan ibadat kepada Tuhan yang paling utama. Allah telah memilih Ummul Kitab sebagai bacaan tetap di dalam sembahyang itu. Dengan demikian bisa diyakini, bagaimana keutamaan surat ini di antara surat surat yang lain. Untuk menegaskan keutamaannya, di bawah ini dikemukakan beberapa dalil naqli:
Dalam kitab Musnad, Ahmad meriwayatkan dari Abi Sa'id al-Mu'alla: Pada suatu hari ketika sedang bersembahyang, aku dipanggil Rasul. Namaku dipanggil berulang-ulang. Karena aku belum selesai bersembahyang, aku pun tidak menyahutnya. Baru setelah selesai sembahyang, aku menghadap Rasulullah, dan beliau bertanya, " Apakah yang menyebabkan kamu tidak mau menyahut panggilanku ? " Jawabku: " Ya, Rasul Allah, saya sedang sembahyang. " Mendengar jawabanku, Rasul berkata: " Apakah engkau tidak mendengar firman Allah ?
بأيهاالذین امنوااستجيبولله وللرسول إذا دعاكم لما يحييكم
Hai orang-orang yang beriman, sahutlah seruan Allah dan Rasul-Nya, bila dia menyeru kamu untuk menjalankan pekerjaan yang dapat menghidupkan kamu (Surat al-Anfaal ayat 24).
Sesudah itu Rasul menyambung sabdanya: " Sebelum kamu keluar dari masjid, aku hendak mengajarkan surat yang paling utama kepadamu. " Lalu Rasul memegang tanganku. Ketika Rasul akan keluar dari masjid, aku pun bertanya: " Ya, Rasul Allah, baru saja Tuan mengatakan akan mengajarkan surat al-Qur'an yang paling utama. " Rasul menjawab: " Benar ucapanmu. Ketahuilah, seutama utama surat al-Qur'an adalah surat al-Faatihah. Itulah tujuh ayat yang pembaca annya senantiasa diulang-ulang dalam sembahyang. Surat itu dari al-Qur'an yang diturunkan kepadaku. "
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda: -Barangsiapa bersembahyang dengan tidak membaca al-Faatihah Ummul Qur'an, sembahyangnya kurang: tidak sempurna. " Tiga kali beliau mengulang sabdanya itu. Orang yang mendengar pemberitahuan Abu Hurairah itu pun bertanya: " Bagaimana pendapat Anda jika kami bersembahyang di belakang imam ? " Jawab Abu Hurairah: " Hendaklah kamu baca dalam hati, karena aku mendengar Rasulullah bersabda, bahwa Allah berfirman (dalam salah satu hadis qudsi):
و قسمت الصلاة بيني وبين عبدي نصفين ، ولعبدي ماسأل
"Aku telah membagi shalat atau fatihah dalam dua bagian. Sebagian untuk-Ku, dan sebagian lagi untuk hamba-Ku. Aku memperkenankan semua permohonan hamba Ku."
Peristiwa-peristiwa di atas menunjukkan bahwa ada sebagian surat yang lebih utama daripada surat-surat lain. Walaupun segolongan ulama berpendapat, tidak boleh memandang sebagian surat lebih utama dari yang lain, karena hal itu akan mengakibatkan orang melebihkan sebagian surat dan merendahkan sebagian yang lain. Padahal semua sama-sama firman Allah. Selain itu, jika melebihkan sebagian yang lain berarti di antara ayat-ayat Tuhan ada yang derajatnya lebih rendah. Demikianlah pendapat al-Asya'ari, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Hatim dan Abu Hayyan, sebagaimana dikemukakan al-Qurtubi. Menurut satu riwayat, Malik pun berpendapat demikian. Sebagian besar ulama juga berpendapat sama, di antaranya Ishak ibn Rahawaih, Abu Bakar ibnu al-Arabi, dan lain-lain.
Dalam Kitab Fadha-il al-Qur'an, al-Bukhari memberitakan bahwa Abu Sa'di berkata: " Pada suatu hari ketika kami sedang dalam perjalanan, kami beristirahat melepas lelah di suatu tempat. Baru beberapa saat istirahat, tiba-tiba datang seorang wanita menanyakan, apakah di antara kami ada yang pandai mengobati penyakit, karena ketua kampung di daerah itu dipatuk ular, sedangkan saat itu tidak ada seorang lelakipun yang ada di rumah.
Mendengar laporan perempuan itu, berdirilah seorang di antara kami yang sebelumnya tidak disangka bahwa dia pandai mengobati. Kawan kami itu segera pergi bersama perempuan tersebut menemui orang yang sakit. Setelah diobati, orang yang dipatuk ular itu pun sembuh.
Karena keberhasilannya itu, kawan kami dihadiahi 31 ekor kambing. sedangkan kami semua diberi minuman susunya. Kami pun bertanya kepada kawan yang mengobati orang luka terpatuk ular itu, apakah dia memang pandai dalam pengobatan ? Jawabnya: " Tidak. Saya hanya merajahnya dengan Ummu al-Kitab. Mendengar jawaban itu, saya menyahut: " Janganlah Saudara-saudara memberitahukan hal ini kepada siapa pun, sebelum kita menanyakannya kepada Rasul. Begitu tiba di Madinah, kami langsung bertanya kepada Rasulullah, dan beliau bersabda: " Siapa yang sekiranya bisa menerangkan hal ini kepadamu ? Bagikanlah kambing hadiah itu dan berilah aku sebagian. "
Hadis Ahmad ini menyatakan bahwa kita boleh menyahut atau menjawab panggilan, meskipun kita sedang bersembahyang. Akan tetapi hal ini hanya khusus untuk panggilan Rasul saw., bukan panggilan dari orang lain. Demikianlah yang dapat dipahami dari hadis yang diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya itu.
Hadis Muslim di atas menjelaskan kefardhuan (kewajiban) membaca al-Faatihah dalam sembahyang. Seluruh ulama berpegang pada hadis ini. Sementara mereka berlainan pendapat tentang surat mana yang wajib dibaca. Kebanyakan ulama menetapkan, al-Faatihahlah yang wajib dibaca. Abu Hanifah membolehkan kita membaca mana saja dari ayat-ayat al-Qur'an. Sedangkan hadis Muslim tersebut menegaskan bahwa bacaan yang diwajibkan dalam sembahyang hanyalah al-Faatihah. Ada juga riwayat Bukhari dan Muslim dari Ubadah yang menyatakan bahwa Nabi bersabda:
لاصلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب.
" Tidak ada sembahyang bagi orang yang tidak membaca al-Faatihah (di dalamnya).
Jumhur ulama mewajibkan kita membaca al-Faatihah dalam setiap rakaat shalat. An-Nasir dan segolongan ulama yang lain tidak mengharuskan pada setiap rakaat, tetapi hanya membaca di sebagian besar rakaat. Al-Hasan dan kebanyakan ulama Basrah mencukupkan kita membacanya pada satu rakaat saja.
Para ulama berselisih pendapat tentang pembacaan al-Faatihah bagi makmum (orang bersembahyang jamaah di belakang imam). Ada yang mewajibkan makmum membacanya, baik mendengar bacaan imam ataupun tidak. Mereka yang mewajibkan makmum membaca al-Faatihah, ada yang berpendapat bahwa waktu membacanya bersamaan dengan imam saat membaca surat itu, sehingga makmum bisa mendengarkan bacaan surat lain yang akan dibaca imam sesudah al-Faatihah. Mereka berpendapat demikian, dengan alasan, selang waktu antara membaca al-Faatihah dengan membaca ayat-ayat al-Qur'an yang lain hanya sekadar satu tarikan napas saja. Nabi tidak pernah lama berdiam antara al-Faatihah dan membaca ayat-ayat yang lain setelah itu.
Ada juga yang menyuruh imam berdiam sesudah membaca al-Faatihah untuk memberi kesempatan kepada makmum membaca surat yang sama. Baru sesudah diperkirakan makmum selesai membaca al-Faatihah, imam membaca ayat-ayat dari surat lain. Mereka melakukan seperti itu agar makmum bisa mendengarkan atau mengikuti seluruh bacaan imam. Cara ini memang dipandang buruk, karena menyalahi perbuatan Nabi.
Sebagian mujtahidin (ulama yang berijtihad) berpendapat, makmum yang bisa mendengar bacaan imam tidak diwajibkan membaca al-Faatihah. Tetapi jika tidak, dia wajib membacanya. Yang berpendapat demikian, di antaranya Ahmad dan Malik. Abu Hanifah dan semua sahabatnya tidak mewajibkan makmum membaca al-Faatihah di belakang imam, baik dia mendengar bacaan imam maupun tidak. Sepanjang penyelidikan penyusun tafsir ini, pendapat yang paling lemah dalam masalah ini adalah paham Abu Hanifah karena dalil-dalil yang dipergunakan juga lemah, yaitu tidak ada yang sahih.
Sedangkan pendapat pertama dan kedua, masing-masing memiliki dalil dan dilaksanakan oleh para sahabat. Karena itu, pakailah mana yang cocok dengan suara hati Anda dari dua paham yang berdalil tersebut. Kami tidak berpendapat bahwa sembahyang makmum yang tidak membaca al-Faatihah batal, asal dia bisa mendengar bacaan imamnya. Begitu pula kami tidak akan mencela mereka yang membacanya. Kami sendiri sedapat mungkin membacanya dalam hati, sebagaimana yang dinasihatkan oleh Abu Hurairah.
Saduran dari Buku Tafsir An-Nuur Hasbi Ash-Shiddieqy
Saduran dari Buku Tafsir An-Nuur Hasbi Ash-Shiddieqy