Cara Meminang Dalam Islam
Menyangkut dengan etika melamar gadis atau meminang dalam islam itu diatur dalam Islam sebagaimana sabda Rasulullah berikut ini:
عن أبي هريرة قال كنت عنـد النبي صلى الله عليه وسلم فأتـاه رجل فأخبره أنه تزوج امرأة من الأنصار فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم أنظرت إليها قال لا قال فاذهب فانظر إليها فإن في أعين الأنصار شيئا
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ' Anhu, ia berkata,”Pernah aku bersama Nabi, lalu datanglah seorang laki-laki hendak memberitahukan kepada Nabi bahwa ia akan menikah dengan salah seorang wanita dari kaum Anshar. Maka Nabi bertanya kepadanya.”Sudahkah engkau melihatnya ?”Ia menjawab, ' Belum '. Maka beliau berkata, ' Lihatlah ! Karena, di mata kaum Anshar ada sesuatu”.”(HR. Muslim, Nasa'i dan Thabrani)
Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang kewajiban melihat pelamar dan yang dilamar, ada baiknya kita juga memperhatikan bahaya negatif yang banyak terjadi di kalangan keluarga muslim ; yakni pergaulan yang diharamkan sebelum akad nikah dengan tujuan sebagai pengalaman dan percobaan. Karakter pergaulan semacam itu dapat kita jumpai pada kitab yang berjudul”Munkiraat Al Ifraah”. Penulis menukil keterangan ini dari kitab tersebut.
Semoga peringatan ini menjadikan para orang tua lebih waspada dan berhati-hati terhadap peradaban yang menipu, yang sungguh tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Dengan menamakannya sebagai peradaban beserta taklid buta yang tidak sesuai dengan agama, juga akhlak kita, maka ketahuilah bahwa pergaulan di antara dua calon pengantin dengan tujuan mencari pengalaman sebelum menikah adalah perbuatan yang sangat membahayakan.
Sementara dari pihak wali, seolah melepaskan kendali pada individu yang belum mengenali seluk-beluk kehidupan itu. Sehingga, semakin sempurna keburukan pergaulan itu tanpa adanya pengawasan dari rasa penyesalan, kerabat maupun terlepas dari kendali agama. Di sanalah keduanya mendekati petaka dan menjadi santapan empuk bagi binatang buas (dalam hal ini nafsu syahwat) dengan mengatas namakan kebudayaan. Artinya, pihak terkait (wali) juga ikut berperan menodai lembaran-lembaran bersih setiap harinya dengan pergaulan yang keji dan melanggar hak-hak wanita, sehingga menjadi kebiasaan yang tidak dapat ditolerir lagi.
Setelah puas ular mereguk aroma kenikmatan, tentulah ia akan merasa bosan. Karena, hal-hal yang dikuasai itu membosankan dan yang paling disenangi manusia adalah hal-hal yang terlarang, maka ia pun meninggalkan noda. Dengan tabiat jahat yang ada dalam dirinya, maka ia berusaha untuk mencari mangsa baru.
Dari sinilah meluas kenistaan dan rusaklah citra perkawinan. Hal tersebut menjadikan seorang pemuda tidak lagi tertarik pada ikatan perkawinan, karena ia bisa mendapatkan kebutuhan biologis tanpa harus menanggung beban-beban perkawinan. Dari sini pulalah seorang pemuda berpaling menuju perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Hal ini dikarenakan kebudayaan semu yang membebani hidup mereka dan untuknya mereka dengan suka rela meninggalkan budaya, agama dan kehormatan. Sesungguhnya Islam memperingatkan dua orang yang bukan muhrim untuk tidak berkhalwat (berduaan di tempat yang sepi), karena syetan bersama keduanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,”Aku tidak meninggalkan-sesudahku-fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki, selain kaum perempuan (wanita).”
Islam memperbolehkan bagi peminang jika bersungguh-sungguh dan menyediakan segala sarana yang diperlukan untuk menikah dengan melihat wajah dan telapak tangan, juga mengutus seseorang (perempuan lain) untuk mengetahui kepribadian dan akhlak wanita yang dipinang serta watak keturunannya. Karena, watak sang bapak biasanya menurun kepada anaknya.
Adapun jika hal-hal tersebut sampai pada taraf diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka akan mendatangkan aib dan kerusakan. Manusia tidak akan menemui kebahagiaan, kecuali dengan menempuh jalan kembali kepada ketentuan yang diajarkan oleh syariat dan membatasi pergaulan lawan jenis, yang masing-masing berbuat pada bidangnya tanpa melampaui batas.
Pengalaman empiris memberikan nasihat, bahwasanya seorang lelaki lebih merindukan dan mencintai wanita justru ketika wanita itu berada jauh darinya dan diasingkan dari pergaulan bebas serta terjaga dengan memakai jilbab dari pandangan jalang kaum lelaki.
Adapun alasan yang digunakan sebagai pendukung dari hadits Abu Hurairah di atas adalah hadits shahih berikut ini:
فانظر إليها فإنه أجدر أن يؤدم بينكما
”Lihatlah perempuan yang hendak engkau pinang, karena hal itu dapat menjaga kerukunan di antara kalian berdua.”(HR. Tirmidzi, Nasa'i dan Ibnu Majah dengan sanad shahih)
Maksudnya, dapat menjadikan pengikat atas cinta dan kasih sayang. Menurut Imam Ibnu Qayyim, bahwa yang dimaksud dengan makna kalimat”An Yu ' dama Bainakuma”adalah cocok, sesuai dan serasi. Jika pertemuan keduanya sudah terwujud dan tidak ada keselarasan serta pertalian di antara keduanya, maka tidak akan kokohlah cinta. Bahkan mungkin tiada perasaan cinta sama sekali, karena keserasian di antara pasangan suami-istri itu adalah salah satu penyebab yang cukup kuat bagi terwujudnya cinta kasih.
Hal yang menyedihkan adalah, banyaknya dari para wali yang memperkenankan peminang untuk melihat calon pasangannya hanya melalui foto yang pengambilan gambarnya justru dilakukan oleh ajnabi (orang yang bukan muhrim). Ini semua merupakan akibat dari meninggalkan Sunnah Nabi dan berpegang pada tradisi yang salah. Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam bersabda:
إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر إلى مـا يـدعـوه إلى نكاجها فليفعل
”Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita seraya mampu hal-hal yang menggugah hati untuk segera menikahi wanita itu, maka laksanakanlah.”(HR. Abu Daud, Thahawi, Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, dan Ibnu Majah. Hadits ini dinyatakan sebagai hadits shahih)
Dalam sabda beliau Shallallahu ' Alaihi wa Sallam yang lain dikemukakan:
إذا خطب أحدكم امرأة فلا جناح عليه أن ينظر إليها إذا كان إنما ينظر إليها لخطبته وإن كانت لا تعلم
Sebagian sahabat memberlakukan hadits ini, di antaranya adalah Muhammad bin Musallamah Al Anshari. Sahl bin Abi Hatsmah berkata,”Aku melihat Muhammad bin Musallamah mengikuti Butsainah binti Dhahhak di atas tandu.”Dengan penuh kehati-hatian aku bertanya,”Bagaimana engkau melakukan hal itu, sedangkan engkau adalah seorang sahabat Nabi ?”Maka ia pun menjawab,”Aku pernah mendengar, bahwa beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,”Apabila terdetik di hati seorang laki-laki untuk melamar seorang perempuan, maka tiada salahnya untuk melihat perempuan yang dimaksud.”(HR. Abu Hurairah, Thahawi dan Ahmad di dalam Musnad-nya)
Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai batasan yang diperbolehkan untuk melihatnya. Sebagian madzhab membatasi pada wajah dan kedua telapak tangan, di mana batasan ini tidak ada hujjahnya dan mengenyampingkan pemahaman sahabat.
Ada baiknya dalam kaitan ini penulis menyebutkan (untuk mengingat) perbuatan Nabi Sulaiman ' Alaihissalam ketika membangun istana dengan tujuan untuk melihat betis dari Ratu Balqis. Sungguh Nabi Sulaiman ' Alaihissalam hendak menikahinya. Ketika Ratu Balgis melihat istana, ia mengira bahwa yang dilaluinya itu adalah kolam air, sehingga ia menyingkapkan kain yang ia kenakan dan terlihatlah kedua betisnya. Maka, dilihatlah kedua betis Ratu Balqis oleh Nabi Sulaiman dan kemudian beliau menikahinya.
Di sini timbul pertanyaan, jika syari ' (pembuat hukum, Allah) mentolerir kaum lelaki untuk melihat wanita sebelum menikah, apakah wali berhak memperlihatkan putrinya tanpa batas hijab yang juga bersifat syar'i. Menurut hemat penulis-Wallahu a'lam boleh, selama pelamar melihat dalam batasan yang wajar walaupun si wanita tidak mengetahuinya.
Ibnu Qayyim di dalam kitabnya”Tahdzib As-Sunan”Juz. III, hal. 25-26 menyebutkan,”Abu Daud memperbolehkan melihat seluruh tubuh wanita.”
Adapun menurut Ahmad terdapat tiga riwayat. Pertama, boleh melihat hanya telapak tangan dan wajah. Kedua, melihat anggota tubuh yang biasa tampak seperti betis, lutut dan semisalnya. Ketiga, boleh melihat seluruh tubuhnya (dengan busana tentunya-ed.).
Ibnu Qudamah dalam kitab”Al Mughni”Juz.7, hal.454 menyebutkan alasan diperbolehkannya melihat anggota badan yang biasa tampak. Yaitu, ketika Nabi memperbolehkan melihat wanita yang hendak dilamar (dipinang) tanpa sepengetahuannya. Berarti beliau mengizinkan melihat anggota tubuh yang biasa tampak, karena tidak mungkin memfokuskan pandangan pada wajah yang disertai dengan tampaknya anggota tubuh lainnya.
Sebagaimana diperbolehkan seorang lelaki melihat wanita yang akan dinikahinya, maka begitu juga hendaknya seorang wali melihat agama, akhlak dan keadaan lelaki yang meminang untuk kepentingan anaknya. Karena, sesudah menikah nanti, maka kebebasan anaknya akan dibatasi dengan sebab pernikahannya itu. Jika dinikahi oleh seorang suami yang fasik atau penyebar (pembuat) fitnah, maka berarti sang wali telah mencelakai diri dan anaknya (“Minhaj Al Qashidin”, hal. 71).
Kutipan dari Buku Tahfatul A'rus yang ditulis oleh Mahmud Mahdi Al-Istanbuli