Ta'rif Tafsir, Takwil, Dan Pokok Pegangan Dalam Mentafsirkan Al-Qur'an
Pada tulisan ini membahas tentang Pengertian Tafsir, Pengertian Takwil, Dan Pokok Pegangan Dalam Mentafsirkan Al-Qur'an
1. Pengertian Tafsir
Tafsir menurut lughah (bahasa) ialah menerangkan dan menyata kan. Menurut istilah adalah sebagai berikut: Al-Kilby dalam At-Tas-hil berkata:التفسير شرح القرآن وبيان معناه والافصاح بما يقتضيه بنصه أو اشارته أو نجواه
”Tafsir adalah mensyarahkan Al-Qur'an, menerangkan maknanya dan menjelas kan apa yang dikehendakinya dengan nash-nya atau dengan isyaratnya ataupun dengan najwah-nya.”
Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan berkata:
التفسير بيان معاني القران واستخراج احكامه وحكمه
”Tafsir adalah menerangkan makna-makna Al-Qur'an dan mengeluarkan hukum hukumnya dan hikmah-hikmahnya.”
Thahir al-Jazairi berkata:
التفسير في الحقيقة أنما هو شرح اللفظ المستقلق عند السامع بما هو عنده بما يرادفه أويقاربه اوله دلالة عليه بإحدى طرق الدلالات
”Tafsir pada hakikatnya ialah mensyarahkan lafad yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud. Yang demikian itu adakala nya dengan menyebut muradifnya, atau yang mendekatinya, atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melalui sesuatu dalalah (petunjuk).”
Baca juga: Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsir
Al-Jurjany berkata:
”Tafsir pada asalnya ialah membuka dan melahirkan. Dalam istilah syara ' ialah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab diturunkannya ayat dengan lafad yang menunjuk kepadanya secara terang.”.
Kata tafsir diambil dari kata tafsirah yaitu perkakas yang diperguna kan tabib untuk mengetahui penyakit orang sakit.
Pengambilan (sumber-sumber) tafsir dari riwayah dan dirayah yakni ilmu lughah, nahwu tashrif, ilmu balaghah, ilmu ushul al-fiqh dan dari ilmu asbab an-nuzul, serta nasikh wa al-mansukh. Ghayah (tujuan) tafsir ialah memahamkan makna makna Al-Qur'an, hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya, akhlak-akhlak nya dan petunjuk-petunjuk yang lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka dengan demikian nyatalah bahwa faedah yang kita peroleh dari mempelajari tafsir ialah terpelihara dari salah memahami Al-Qur'an.
Sedangkan maksud yang diharapkan dari mempelajari tafsir ialah mengetahui petunjuk-petunjuk Al-Qur'an, hukum-hukumnya dengan cara yang tepat.
Al-Jurjany berkata:
التفسير في الأصل الكشف والإظهار. وفي الشرع توضيح معنى الآية. شأنها وقصتها والسبب الذي نزلت فيه بلفظ يدل عليه دلالة ظاهرة
”Tafsir pada asalnya ialah membuka dan melahirkan. Dalam istilah syara ' ialah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab diturunkannya ayat dengan lafad yang menunjuk kepadanya secara terang.”.
Kata tafsir diambil dari kata tafsirah yaitu perkakas yang diperguna kan tabib untuk mengetahui penyakit orang sakit.
Pengambilan (sumber-sumber) tafsir dari riwayah dan dirayah yakni ilmu lughah, nahwu tashrif, ilmu balaghah, ilmu ushul al-fiqh dan dari ilmu asbab an-nuzul, serta nasikh wa al-mansukh. Ghayah (tujuan) tafsir ialah memahamkan makna makna Al-Qur'an, hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya, akhlak-akhlak nya dan petunjuk-petunjuk yang lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka dengan demikian nyatalah bahwa faedah yang kita peroleh dari mempelajari tafsir ialah terpelihara dari salah memahami Al-Qur'an.
Sedangkan maksud yang diharapkan dari mempelajari tafsir ialah mengetahui petunjuk-petunjuk Al-Qur'an, hukum-hukumnya dengan cara yang tepat.
Baca Juga: Silabus Ilmu Tafsir
2. Pengertian Takwil
Sebagian ulama berkata:
”Takwil ialah mengembalikan sesuatu kepada ghayah-nya, yakni menerangkan apa yang dimaksudkannya.”
Sebagian yang lain berkata:
”Takwil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafad.”
As-Said al-Jurjany berkata:
”Takwil ialah memalingkan lafad dari makna yang zhahir kepada makna yang muhtamil, apabila makna yang muhtamil itu tidak berlawanan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Takwil berasal dari kata aul yang bermakna kembali dan berpaling. Dilafadkan dengan shighat takwil untuk memfaedahkan ta'diyah (supaya berarti mengembalikan). Ada juga yang mengatakan diambil dari kata ail yang berarti memalingkan, yaitu memalingkan ayat dari makna yang zhahir kepada sesuatu makna yang dapat diterima olehnya.
3. Perbedaan Tafsir dengan Takwil
Para mufassirin berselisih pendapat dalam memberi makna tafsir dan takwil. Abu Ubaidah berkata:”Tafsir dan takwil satu makna.”Pe ngertian demikian dibantah oleh segolongan ulama. Di antaranya Abu Bakar ibn Habib an-Naisabury.
Al-Ashfahany berkata:”Tafsir lebih umum dari takwil. Tafsir lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedang takwil lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat. Sebagian ulama berkata bahwa tafsir menerangkan makna lafad yang tidak menerima selain dari satu arti. Takwil menetapkan makna dikehendaki oleh sesuatu lafad yang dapat menerima banyak makna, yang karena ada dalil-dalil yang menghendaki.
Al-Maturidy berkata:”Tafsir ialah menetapkan apa yang dikehen daki oleh ayat (lafad) dan dengan sungguh-sungguh menetapkan, demi kianlah yang dikehendaki Allah. Maka jika ada dalil yang membenarkan penetapan itu, dipandanglah tafsir yang shahih. Jika tidak, dipandanglah tafsir yang berdasarkan pikiran yang tidak dibenarkan. Takwil ialah men tarjih-kan salah satu makna yang mungkin diterima oleh ayat (lafad) yaitu salah satu muhtamilat, dengan tidak meyakini bahwa demikianlah yang sungguh-sungguh dikehendaki Allah.”
Abu Thalib ats-Tsalaby berkata:”Tafsir ialah menerangkan makna lafad, baik makna hakikatnya maupun makna majaz-nya, seperti mentaf sirkan makna ash-shirath dengan jalan dan ash-shayyib dengan hujan. Takwil ialah mentafsirkan batin lafad. Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedangkan takwil menerangkan hakikat yang di kehendaki.
Umpamanya firman Allah swt.:
”Bahwasanya Tuhanmu itu sungguh selalu memperhatikan kamu.”(QS. Al-Fajr [ 89 ]: 14)
Tafsirnya ialah bahwasanya Allah senantiasa memperhatikan keadaan hamba-Nya. Adapun takwil-nya ialah mempertakutkan manusia dari berlalai-lalai dari tengah mempersiapkan persiapan yang perlu.
Ada juga ulama yang menerangkan bahwa sesuatu yang jelas di terangkan dalam Al-Qur'an atau As-Sunnah, itulah yang dinamai tafsir. Dan tidak boleh bagi seseorang menjalankan ijtihadnya lagi mengenai ayat-ayat atau sunnah-sunnah yang telah terang tegas itu. Dan sesuatu yang di-istinbath-kan oleh ulama-ulama yang mengetahui baik ilmu-ilmu alat, itulah yang dinamai takwil.
Sebagian ulama juga berkata:”Tafsir berpaut dengan riwayah, sedang takwil berpaut dengan dirayah. Hal ini mengingat bahwa tafsir dilakukan dari apa yang dinukilkan dari sahabat, sedangkan takwil dipahamkan dari ayat dengan mempergunakan tata bahasa Arab.
Umpamanya firman Allah swt.:”Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati.”(QS. Al-An'am [ 6 ]: 95)
Jika kita katakan bahwa yang dikehendaki oleh ayat ini, menge luarkan burung dari telur, maka dinamakan tafsir. Dan jika dikatakan bahwa yang dikehendaki mengeluarkan yang alim dari yang bodoh atau yang beriman dari yang kafir, maka dinamakan takwil. Al-Baghawi berkata:”Tafsir itu ialah memperkatakan sebab-sebab turun ayat, keadaan-keadaannya, dan kisah-kisahnya.”
Maka mengenai urusan-urusan ini tidak dibolehkan kita memper gunakan selain dari sam'y (pendengaran = nukilan) saja, sesudah dibenar kan datangnya nukilan itu dengan jalan akal. Adapun takwil ialah memalingkan ayat kepada sesuatu makna yang sesuai dengan makna yang sebelumnya dan makna yang demikian itu diterima pula oleh ayat, serta tidak bersalahan dengan sesuatu ayat atau As-Sunnah yang dihasilkan oleh istinbath. Ibn Jarir mempergunakan kata takwil dengan makna tafsir.
Sebagai penutup ta'rif ini kami menerangkan apa yang telah dike mukakan oleh Al-Maghraby dalam kitabnya Al-Akhlaq wa a-Wajibat:
”Tafsir itu ialah tersembunyi makna ayat sebagian pendengar maka apabila engkau syarahkan lafad-lafadnya dari jurusan lughah, nahwu dan haloghah, dipahamkan oleh pendengar itu dengan baik dan tenanglah jiwamu kepada makna tersebut. Adapun takwil ialah ayat mempunyai beberapa makna yang semuanya dapat di terima. Maka setiap-tiap engkau sebut sesuatu makna satu demi satu makna, dia ragu-ragu, tidak tahu mana yang dipilihnya. Karena inilah takwil itu banyak dipakai pada ayat mutasyabihah, sedang tafsir banyak dipakai pada ayat-ayat muhkamah.”
Ayat-ayat mutasyabihah ialah ayat-ayat yang tidak terang maknanya. Adapun ayat-ayat muhkamah ialah ayat-ayat yang menunjukkan makna nya dengan jelas. Maka kebanyakan takwil dilakukan para mufassirin me ngenai ayat-ayat mutasyabihah. Sedang ayat-ayat muhkamah tidak memer lukan takwil, cukup dengan tafsir (penafsiran) saja.
Ayat-ayat mutasyabihah sebenarnya tidak berapa banyak dalam pan dangan ulama-ulama salaf dan ulama-ulama mutaqaddimin, karena mereka mempunyai kesanggupan memahaminya. Pada masa dahulu yang dipan dang mutasyabihah hanyalah yang diterangkan Al-Qur'an ke-mutasyabih annya. Adapun pada masa yang akhir ini setelah kekuatan memahami bahasa Arab sudah jauh berkurang maka bilangan ayat mutasyabihah itu menjadi banyak.
Memang kebanyakan ayat yang dikatakan mutasyabihah oleh mu taakhkhirin, timbulnya dari sebab tidak kuat lagi memahami bahasa Arab. Dan perlu ditegaskan sedikit bahwa ayat-ayat mutasyabihah hanya mengenai soal kepercayaan dan urusan akhirat tidak ada yang mengenai urusan keduniaan (duniawiyah). Menurut ulama bayan, tafsir ialah menghilangkan kemuskilan faham pada sesuatu pembicaraan dengan menambah perkataan. Demikian makna tafsir dan takwil dan demikianlah perbedaannya.
Adapun yang menyangkut tentang penterjemah Al-Qur'an dijelaskan dalam kitab Tarikh al-Arab karangan Dr. Filip, diterangkan bahwa sampai sekarang belum ada suatu terjemahan resmi oleh suatu peme rintah selain daripada terjemahan dalam bahasa Turki. Dalam pada itu, sebagian umat Islam telah menterjemahkan ke dalam beberapa bahasa di antaranya Persia, Urdu, Jawa, Cina dan lain-lain. Al-Qur'an telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa secara merdeka tetapi resmi.
Permulaan terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa asing ialah ter jemahan yang dilakukan dalam bahasa Latin oleh seorang kepala gereja seorang pujangga Arab. pada tahun 1141 M. dengan bantuan tiga orang pujangga Kristen dan 159 Permulaan terjemahan dalam bahasa Inggris, ke luar dalam tahun 1649 M. yang berpedoman kepada terjemahan dalam bahasa Perancis. Kemudian terjemahan yang dilakukan oleh seorang orientalis Seel yang menterjemahkan langsung. Terjemahan ini dipengaruhi oleh terjemah an Latin pada tahun 1734 M. Kemudian berusaha pula orientalis Rosuli pada tahun 1861 M. Kemudian Balmark pada tahun 1876 M. Terjemahan terjemahan ini dipengaruhi oleh terjemahan Seel. Permulaan Al-Qur'an dicetak di Bundukia, di antara tahun 1485 -1499 M.
4. Pengertian Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir ialah ilmu yang menerangkan tentang hal nuzul ayat, keadaan-keadaannya, kisah-kisahnya, sebab-sebab turunnya, nasikh-nya, ' am-nya, muthlaq-nya, mujmal-nya, mufassar-nya (mufashshal-nya), halalnya, haramnya, wa'ad-nya, wa'id-nya, amr-nya, nahyu-nya, i'bar-nya dan amsal-nya. Abu Hayyan dalam Bahir al-Muhith berkata:
”Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang membahas di dalamnya cara menuturkan (membunyikan) lafad-lafad Al-Qur'an, madlul-madulnya baik mengenai kata tunggal maupun mengenai kata-kata tarkib dan makna-maknanya dan dipertanggungkan oleh keadaan susunan dan beberapa kesempumaan bagi yang demikian seperti mengetahui naskh, sebab nuzul, kisah yang menyatakan apa yang tidak terang (mubham) di dalam Al-Qur'an dan lain-lain yang mempunyai hubungan rapat dengannya.”
Madhu-nya (pokok pembicaraan) ilmu tafsir ialah Al-Qur'an. Dengan dialah berpaut penjelasan dan penerangan serta pembahasan, baik me ngenai tuturnya (nazham-nya) maupun mengenai maknanya.
5. Pokok Pegangan dalam Menafsirkan Al-Qur'an
Pokok pegangan dalam menafsirkan Al-Qur'an ialah:
Sesudah itu hendaklah para mufassir memeriksa penerangan saha bat, karena mereka lebih mengetahui maksud-maksud ayat, lantaran mereka mendengar sendiri dari Rasulullah dan mempersaksikan sebab sebab nuzul-nya ayat, suasana yang mengelilingi turunnya ayat. Ibnu Taimiyah berkata:”Wajib kita yakin bahwa Nabi saw. telah menerangkan kepada para sahabat makna-makna Al-Qur'an.”Para sahabat mengetahui benar-benar bahasa Arab, sehingga mudah bagi mereka dalam memahami Al-Qur'an. Mereka tidak berhajat kepada tafsir orang lain.
Az-Zarkasyi berkata:”Seseorang yang hendak menafsirkan Al-Qur'an hendaklah lebih dahulu memahami riwayat, kemudian mengambil mana yang shahih-nya. Sesudah itu hendaklah ia memeriksa perkataan sahabat, kemudian ia berpegang kepada ilmu bahasa dan barulah ia mentafsirkan menurut makna-makna yang dikehendaki oleh ilmu bahasa itu.”
Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana kita berpedoman dalam mentafsirkan Al-Qur'an, perhatikanlah uraian Imaduddin Abd al-Fida ' Isma'il ibn Katsir al-Quraisy ad-Dimasqy dalam tafsirnya, berkata:”Jika seseorang berkata:”Mana jalan tafsir yang paling bagus ?”Saya men jawab:”Jalan yang paling sah ditempuh ialah mentafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an. Karena apa yang di-ijmal-kan di sesuatu tempat telah dijelaskan di tempat lain. Jika kita tidak memperolehnya hendaklah kita mencari As-Sunnah, karena As-Sunnah itu pensyarah Al-Qur'an dan penjelasannya.”
Asy-Syafi'y berkata:”Tiap sesuatu hukum yang ditetapkan Rasulullah, beliau ketahui dari Al-Qur'an.”
Allah swt. berfirman:
”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebe naran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.”(QS. An-Nisa ' [ 4 ]: 105)
”Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikir kan.”(QS. An-Nahl [ 16 ]: 44)
”Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi pe tunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”(QS. An-Nahl [ 16 ]: 64)
Nabi saw. bersabda:
”Ketahuilah, sesungguhnya telah diberikan kepadaku Al-Qur'an dan diberikan be sertanya yang menyerupainya (yakni As-Sunnah).”
Ringkasnya, hendaklah kita mencari tafsir Al-Qur'an dari Al-Qur'an sendiri. Jika kita tidak mendapatkannya dalam Al-Qur'an sendiri, carilah dalam As-Sunnah. Urutan ini ditegaskan oleh hadits Mu'adz, yaitu ketika Rasulullah mengutus Mu'adz pergi ke Yaman, beliau bertanya:”Maka dengan apakah engkau memutuskan sesuatu perkara.”Mu'adz menjawab:”Dengan Kitab Allah.”Nabi bertanya:”Jika engkau tidak menjumpainya (di dalam Kitab Allah) ?”Mu'adz menjawab:”Dengan Sunnah Rasulullah.”Nabi bertanya lagi:”Jika engkau tidak menjumpainya (di dalam As-Sunnah) ?”Mu'adz menjawab:”Saya menjalankan ijtihad saya sendiri.”
Mendengar jawaban itu Rasulullah menepuk Mu'adz seraya berkata:”Segala puji kepunyaan Allah yang telah mentaufikkan utusan Rasulullah kepada yang menyenangkan Rasulullah sendiri.”
Karena itu apabila kita tidak memperoleh tafsir dalam Al-Qur'an dan dalam As-Sunnah, kembalilah kita kepada pendapat-pendapat saha bat karena mereka lebih mengetahuinya karena mereka menyaksikan sendiri qarinah-qarinah dan keadaan-keadaan dan karena mereka mem punyai pendapat yang sempurna, mempunyai ilmu yang shahih, terutama ulama-ulama sahabat dan pembesar-pembesarnya, seperti Khulafa ar Rasyidin dan Abdullah ibn Mas'ud.
Ibnu Jarir berkata:”Diceritakan kepadaku oleh Abu Kuraib dan Masruq, mengatakan bahwa Abdullah ibn Mas'ud berkata:
”Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidak turun sesuatu ayat Al-Qur'an melainkan aku mengetahui terhadap siapa diturunkan dan di mana diturunkannya. Sekiranya aku mengetahui ada seseorang yang lebih pandai tentang Kitabullah daripada aku yang dapat didatangi dengan mengendarai kendaraan, niscaya aku mengunjunginya.”
M Al-A'masy dari Abi Wa'il dari Ibnu Mas'ud, berkata:
”Seseorang di antara kami apabila telah mempelajari 10 ayat, tidak melampaul nya sehingga ia mengetahui makna-makna ayat ini dan mengerjakan maksudnya.”
Dan di antara para sahabat yang terkenal ahli dalam penafsiran Al Qur'an ialah Abdullah ibn Abbas. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa Ibnu Mas'ud berkata:
”Sebaik-baik orang yang menerangkan maksud Al-Qur'an adalah Ibnu Abbas.”
Ibnu Mas'ud wafat pada tahun 32 H., sedang Ibnu Abbas wafat 36 tahun setelah wafatnya Ibnu Mas'ud. Tentang keahlian Ibnu Abbas dalam menafsirkan Al-Qur'an diakui oleh seluruh sahabat. Diterangkan oleh Al-A'masy bahwa Ali pernah menyuruh Abdullah ibn Abbas mengepalai jamaah haji, maka di waktu beliau berkhatbah, beliau membaca di dalam khatbahnya surat Al-Baqarah atau surat An-Nur. Beliau menafsirkannya dengan tafsiran-tafsiran yang sangat indah dan begitu menarik hati. Sekiranya tafsir Ibnu Abbas itu didengar oleh bangsa Romawi, Turki dan Dailam, mereka semua akan memeluk Islam.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mempelajari tafsir Ibnu Abbas mengenai lafad-lafad Al-Qur'an yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Ali ibn Thalhah dari Ibnu Abbas. Untuk memudahkan pekerjaan itu perlu sekali kita mempelajari kitab Mu'jam Gharib al-Qur'an yang disusun oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi. Ibnu Taimiyah dalam Muqaddimah Ushul at-Tafsir berkata:”Apabila engkau tidak mendapatkan tafsir dalam Al-Qur'an dan tidak mendapat kan tafsir sahabat maka kembalikan kepada para tabi'in.”
Syu'bah dan lain-lain berkata:”Pendapat para tabi'in tidak menjadi hujjah dalam soal tafsir.”Maksudnya bahwa pendapat para tabi'in itu tidak dapat dipakai untuk membantah pendapat orang, ini adalah benar. Akan tetapi apabila mereka telah ber-ijma ', maka tidak dapat diragu kan lagi kebenarannya. Jika mereka berselisih, tentu pendapat sebagian mereka tidak menjadi hujjah untuk menolak pendapat orang lain. Dalam hal ini kita harus kembali kepada bahasa Al-Qur'an, As-Sunnah, kepada umum bahasa Arab atau pendapat-pendapat para sahabat.
Ibnu Taimiyah tidak membenarkan orang menafsirkan Al-Qur'an dengan kekuatan ijtihad seperti yang dilakukan oleh Az-Zamakhsyary. Bantahan Ibnu Taimiyah ini dapat kita terima jika mengenai ayat itu ada hadits atau tafsir sahabat. Jika tidak ada, maka diperbolehkan orang me nafsirkan Al-Qur'an dengan kekuatan ijtihad. Jika tidak membolehkan orang memahamkan Al-Qur'an dengan kekuatan ijtihad, ketika tidak ada hadits atau atsar, berarti menutup pintu orang memahamkan Al-Qur'an.
Tentang kebolehan menafsirkan Al-Qur'an dengan kekuatan ijtihad telah dibenarkan oleh beberapa ulama besar, di antaranya Al-Ghazali. Akan tetapi dengan syarat jangan terlalu mencari-cari penafsiran supaya sesuai dengan madzhab yang dianut oleh penafsir, baik mengenai pokok ataupun mengenai cabang.”
Tulisan ini adalah kutipan dari buku Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-qur'an dan Tafsir yang ditulis oleh teungku M. Hasbi ash-shiddieqy
2. Pengertian Takwil
Sebagian ulama berkata:
التأويل ترجيع الشيئ إلى غايته ، بيان مايراد منه
”Takwil ialah mengembalikan sesuatu kepada ghayah-nya, yakni menerangkan apa yang dimaksudkannya.”
Sebagian yang lain berkata:
التأويل بيان أحد محتملات اللفظ
”Takwil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafad.”
As-Said al-Jurjany berkata:
التأويل صرف اللفظ عن معناه الظاهر إلى معنى يحتمله اذا كان ، للمحتمل الذي يراه موافقا للكتاب والسنة
”Takwil ialah memalingkan lafad dari makna yang zhahir kepada makna yang muhtamil, apabila makna yang muhtamil itu tidak berlawanan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Takwil berasal dari kata aul yang bermakna kembali dan berpaling. Dilafadkan dengan shighat takwil untuk memfaedahkan ta'diyah (supaya berarti mengembalikan). Ada juga yang mengatakan diambil dari kata ail yang berarti memalingkan, yaitu memalingkan ayat dari makna yang zhahir kepada sesuatu makna yang dapat diterima olehnya.
3. Perbedaan Tafsir dengan Takwil
Para mufassirin berselisih pendapat dalam memberi makna tafsir dan takwil. Abu Ubaidah berkata:”Tafsir dan takwil satu makna.”Pe ngertian demikian dibantah oleh segolongan ulama. Di antaranya Abu Bakar ibn Habib an-Naisabury.
Al-Ashfahany berkata:”Tafsir lebih umum dari takwil. Tafsir lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedang takwil lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat. Sebagian ulama berkata bahwa tafsir menerangkan makna lafad yang tidak menerima selain dari satu arti. Takwil menetapkan makna dikehendaki oleh sesuatu lafad yang dapat menerima banyak makna, yang karena ada dalil-dalil yang menghendaki.
Al-Maturidy berkata:”Tafsir ialah menetapkan apa yang dikehen daki oleh ayat (lafad) dan dengan sungguh-sungguh menetapkan, demi kianlah yang dikehendaki Allah. Maka jika ada dalil yang membenarkan penetapan itu, dipandanglah tafsir yang shahih. Jika tidak, dipandanglah tafsir yang berdasarkan pikiran yang tidak dibenarkan. Takwil ialah men tarjih-kan salah satu makna yang mungkin diterima oleh ayat (lafad) yaitu salah satu muhtamilat, dengan tidak meyakini bahwa demikianlah yang sungguh-sungguh dikehendaki Allah.”
Abu Thalib ats-Tsalaby berkata:”Tafsir ialah menerangkan makna lafad, baik makna hakikatnya maupun makna majaz-nya, seperti mentaf sirkan makna ash-shirath dengan jalan dan ash-shayyib dengan hujan. Takwil ialah mentafsirkan batin lafad. Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedangkan takwil menerangkan hakikat yang di kehendaki.
Umpamanya firman Allah swt.:
”Bahwasanya Tuhanmu itu sungguh selalu memperhatikan kamu.”(QS. Al-Fajr [ 89 ]: 14)
Tafsirnya ialah bahwasanya Allah senantiasa memperhatikan keadaan hamba-Nya. Adapun takwil-nya ialah mempertakutkan manusia dari berlalai-lalai dari tengah mempersiapkan persiapan yang perlu.
Ada juga ulama yang menerangkan bahwa sesuatu yang jelas di terangkan dalam Al-Qur'an atau As-Sunnah, itulah yang dinamai tafsir. Dan tidak boleh bagi seseorang menjalankan ijtihadnya lagi mengenai ayat-ayat atau sunnah-sunnah yang telah terang tegas itu. Dan sesuatu yang di-istinbath-kan oleh ulama-ulama yang mengetahui baik ilmu-ilmu alat, itulah yang dinamai takwil.
Sebagian ulama juga berkata:”Tafsir berpaut dengan riwayah, sedang takwil berpaut dengan dirayah. Hal ini mengingat bahwa tafsir dilakukan dari apa yang dinukilkan dari sahabat, sedangkan takwil dipahamkan dari ayat dengan mempergunakan tata bahasa Arab.
Umpamanya firman Allah swt.:”Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati.”(QS. Al-An'am [ 6 ]: 95)
Jika kita katakan bahwa yang dikehendaki oleh ayat ini, menge luarkan burung dari telur, maka dinamakan tafsir. Dan jika dikatakan bahwa yang dikehendaki mengeluarkan yang alim dari yang bodoh atau yang beriman dari yang kafir, maka dinamakan takwil. Al-Baghawi berkata:”Tafsir itu ialah memperkatakan sebab-sebab turun ayat, keadaan-keadaannya, dan kisah-kisahnya.”
Maka mengenai urusan-urusan ini tidak dibolehkan kita memper gunakan selain dari sam'y (pendengaran = nukilan) saja, sesudah dibenar kan datangnya nukilan itu dengan jalan akal. Adapun takwil ialah memalingkan ayat kepada sesuatu makna yang sesuai dengan makna yang sebelumnya dan makna yang demikian itu diterima pula oleh ayat, serta tidak bersalahan dengan sesuatu ayat atau As-Sunnah yang dihasilkan oleh istinbath. Ibn Jarir mempergunakan kata takwil dengan makna tafsir.
Sebagai penutup ta'rif ini kami menerangkan apa yang telah dike mukakan oleh Al-Maghraby dalam kitabnya Al-Akhlaq wa a-Wajibat:
التفسير ان يعمض معنى الاية على بعض السامعين حتى إذا شرحت له الفاظها لغة وبلاغة ونحوا فهمه فهما يطمئن اليه قلبه. أما التأويل فهو أن يكون للاية عدة معان محتملة فمهما ذكرت للسامع معنى ثم معنى وقف وقفة المتردد في اختيار أقربها إلى نفسه ومن ثم كان التأويل أكثر ما يستعمل في جانب المتشابهات والتفسير في جانب المحكمات.
Ayat-ayat mutasyabihah ialah ayat-ayat yang tidak terang maknanya. Adapun ayat-ayat muhkamah ialah ayat-ayat yang menunjukkan makna nya dengan jelas. Maka kebanyakan takwil dilakukan para mufassirin me ngenai ayat-ayat mutasyabihah. Sedang ayat-ayat muhkamah tidak memer lukan takwil, cukup dengan tafsir (penafsiran) saja.
Ayat-ayat mutasyabihah sebenarnya tidak berapa banyak dalam pan dangan ulama-ulama salaf dan ulama-ulama mutaqaddimin, karena mereka mempunyai kesanggupan memahaminya. Pada masa dahulu yang dipan dang mutasyabihah hanyalah yang diterangkan Al-Qur'an ke-mutasyabih annya. Adapun pada masa yang akhir ini setelah kekuatan memahami bahasa Arab sudah jauh berkurang maka bilangan ayat mutasyabihah itu menjadi banyak.
Memang kebanyakan ayat yang dikatakan mutasyabihah oleh mu taakhkhirin, timbulnya dari sebab tidak kuat lagi memahami bahasa Arab. Dan perlu ditegaskan sedikit bahwa ayat-ayat mutasyabihah hanya mengenai soal kepercayaan dan urusan akhirat tidak ada yang mengenai urusan keduniaan (duniawiyah). Menurut ulama bayan, tafsir ialah menghilangkan kemuskilan faham pada sesuatu pembicaraan dengan menambah perkataan. Demikian makna tafsir dan takwil dan demikianlah perbedaannya.
Adapun yang menyangkut tentang penterjemah Al-Qur'an dijelaskan dalam kitab Tarikh al-Arab karangan Dr. Filip, diterangkan bahwa sampai sekarang belum ada suatu terjemahan resmi oleh suatu peme rintah selain daripada terjemahan dalam bahasa Turki. Dalam pada itu, sebagian umat Islam telah menterjemahkan ke dalam beberapa bahasa di antaranya Persia, Urdu, Jawa, Cina dan lain-lain. Al-Qur'an telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa secara merdeka tetapi resmi.
Permulaan terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa asing ialah ter jemahan yang dilakukan dalam bahasa Latin oleh seorang kepala gereja seorang pujangga Arab. pada tahun 1141 M. dengan bantuan tiga orang pujangga Kristen dan 159 Permulaan terjemahan dalam bahasa Inggris, ke luar dalam tahun 1649 M. yang berpedoman kepada terjemahan dalam bahasa Perancis. Kemudian terjemahan yang dilakukan oleh seorang orientalis Seel yang menterjemahkan langsung. Terjemahan ini dipengaruhi oleh terjemah an Latin pada tahun 1734 M. Kemudian berusaha pula orientalis Rosuli pada tahun 1861 M. Kemudian Balmark pada tahun 1876 M. Terjemahan terjemahan ini dipengaruhi oleh terjemahan Seel. Permulaan Al-Qur'an dicetak di Bundukia, di antara tahun 1485 -1499 M.
4. Pengertian Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir ialah ilmu yang menerangkan tentang hal nuzul ayat, keadaan-keadaannya, kisah-kisahnya, sebab-sebab turunnya, nasikh-nya, ' am-nya, muthlaq-nya, mujmal-nya, mufassar-nya (mufashshal-nya), halalnya, haramnya, wa'ad-nya, wa'id-nya, amr-nya, nahyu-nya, i'bar-nya dan amsal-nya. Abu Hayyan dalam Bahir al-Muhith berkata:
علم التفسير علم يبحث فيه عن كيفية النطق بألفاظ القرآن ومدلولاتها وأحكامها الافرادية والتركية ومعانيها التي تحمل عليها حالة التركيب وتتمات لذلك كمعرفة السنخ وسبب النزول وقصة توضح ما أبهم في القرآن ونحو ذلك مما له علاقة.
Madhu-nya (pokok pembicaraan) ilmu tafsir ialah Al-Qur'an. Dengan dialah berpaut penjelasan dan penerangan serta pembahasan, baik me ngenai tuturnya (nazham-nya) maupun mengenai maknanya.
5. Pokok Pegangan dalam Menafsirkan Al-Qur'an
Pokok pegangan dalam menafsirkan Al-Qur'an ialah:
- Hadits dan atsar.
- Kaidah-kaidah bahasa Arab dan uslub-uslub-nya.
Sesudah itu hendaklah para mufassir memeriksa penerangan saha bat, karena mereka lebih mengetahui maksud-maksud ayat, lantaran mereka mendengar sendiri dari Rasulullah dan mempersaksikan sebab sebab nuzul-nya ayat, suasana yang mengelilingi turunnya ayat. Ibnu Taimiyah berkata:”Wajib kita yakin bahwa Nabi saw. telah menerangkan kepada para sahabat makna-makna Al-Qur'an.”Para sahabat mengetahui benar-benar bahasa Arab, sehingga mudah bagi mereka dalam memahami Al-Qur'an. Mereka tidak berhajat kepada tafsir orang lain.
Az-Zarkasyi berkata:”Seseorang yang hendak menafsirkan Al-Qur'an hendaklah lebih dahulu memahami riwayat, kemudian mengambil mana yang shahih-nya. Sesudah itu hendaklah ia memeriksa perkataan sahabat, kemudian ia berpegang kepada ilmu bahasa dan barulah ia mentafsirkan menurut makna-makna yang dikehendaki oleh ilmu bahasa itu.”
Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana kita berpedoman dalam mentafsirkan Al-Qur'an, perhatikanlah uraian Imaduddin Abd al-Fida ' Isma'il ibn Katsir al-Quraisy ad-Dimasqy dalam tafsirnya, berkata:”Jika seseorang berkata:”Mana jalan tafsir yang paling bagus ?”Saya men jawab:”Jalan yang paling sah ditempuh ialah mentafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an. Karena apa yang di-ijmal-kan di sesuatu tempat telah dijelaskan di tempat lain. Jika kita tidak memperolehnya hendaklah kita mencari As-Sunnah, karena As-Sunnah itu pensyarah Al-Qur'an dan penjelasannya.”
Asy-Syafi'y berkata:”Tiap sesuatu hukum yang ditetapkan Rasulullah, beliau ketahui dari Al-Qur'an.”
Allah swt. berfirman:
”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebe naran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.”(QS. An-Nisa ' [ 4 ]: 105)
”Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikir kan.”(QS. An-Nahl [ 16 ]: 44)
”Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi pe tunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”(QS. An-Nahl [ 16 ]: 64)
Nabi saw. bersabda:
الا ، وإنى أوتيت القرآن ومثله مه
”Ketahuilah, sesungguhnya telah diberikan kepadaku Al-Qur'an dan diberikan be sertanya yang menyerupainya (yakni As-Sunnah).”
Ringkasnya, hendaklah kita mencari tafsir Al-Qur'an dari Al-Qur'an sendiri. Jika kita tidak mendapatkannya dalam Al-Qur'an sendiri, carilah dalam As-Sunnah. Urutan ini ditegaskan oleh hadits Mu'adz, yaitu ketika Rasulullah mengutus Mu'adz pergi ke Yaman, beliau bertanya:”Maka dengan apakah engkau memutuskan sesuatu perkara.”Mu'adz menjawab:”Dengan Kitab Allah.”Nabi bertanya:”Jika engkau tidak menjumpainya (di dalam Kitab Allah) ?”Mu'adz menjawab:”Dengan Sunnah Rasulullah.”Nabi bertanya lagi:”Jika engkau tidak menjumpainya (di dalam As-Sunnah) ?”Mu'adz menjawab:”Saya menjalankan ijtihad saya sendiri.”
Mendengar jawaban itu Rasulullah menepuk Mu'adz seraya berkata:”Segala puji kepunyaan Allah yang telah mentaufikkan utusan Rasulullah kepada yang menyenangkan Rasulullah sendiri.”
Karena itu apabila kita tidak memperoleh tafsir dalam Al-Qur'an dan dalam As-Sunnah, kembalilah kita kepada pendapat-pendapat saha bat karena mereka lebih mengetahuinya karena mereka menyaksikan sendiri qarinah-qarinah dan keadaan-keadaan dan karena mereka mem punyai pendapat yang sempurna, mempunyai ilmu yang shahih, terutama ulama-ulama sahabat dan pembesar-pembesarnya, seperti Khulafa ar Rasyidin dan Abdullah ibn Mas'ud.
Ibnu Jarir berkata:”Diceritakan kepadaku oleh Abu Kuraib dan Masruq, mengatakan bahwa Abdullah ibn Mas'ud berkata:
والذي لا اله الا هو ، مانزلت آية من كتاب الله الا وانا اعلم فيمن نزلت وأين نزلت. ولو اعلم احدا اعلم بكتاب الله منى تناله المطايا لأتيته.
”Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidak turun sesuatu ayat Al-Qur'an melainkan aku mengetahui terhadap siapa diturunkan dan di mana diturunkannya. Sekiranya aku mengetahui ada seseorang yang lebih pandai tentang Kitabullah daripada aku yang dapat didatangi dengan mengendarai kendaraan, niscaya aku mengunjunginya.”
M Al-A'masy dari Abi Wa'il dari Ibnu Mas'ud, berkata:
كان الرجل يتعلم عشر آيات لم يجاوزهن حتى يعرف معانيهن وعمل بهن
”Seseorang di antara kami apabila telah mempelajari 10 ayat, tidak melampaul nya sehingga ia mengetahui makna-makna ayat ini dan mengerjakan maksudnya.”
Dan di antara para sahabat yang terkenal ahli dalam penafsiran Al Qur'an ialah Abdullah ibn Abbas. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa Ibnu Mas'ud berkata:
نعم ترجمان القرآن ابن عباس
”Sebaik-baik orang yang menerangkan maksud Al-Qur'an adalah Ibnu Abbas.”
Ibnu Mas'ud wafat pada tahun 32 H., sedang Ibnu Abbas wafat 36 tahun setelah wafatnya Ibnu Mas'ud. Tentang keahlian Ibnu Abbas dalam menafsirkan Al-Qur'an diakui oleh seluruh sahabat. Diterangkan oleh Al-A'masy bahwa Ali pernah menyuruh Abdullah ibn Abbas mengepalai jamaah haji, maka di waktu beliau berkhatbah, beliau membaca di dalam khatbahnya surat Al-Baqarah atau surat An-Nur. Beliau menafsirkannya dengan tafsiran-tafsiran yang sangat indah dan begitu menarik hati. Sekiranya tafsir Ibnu Abbas itu didengar oleh bangsa Romawi, Turki dan Dailam, mereka semua akan memeluk Islam.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mempelajari tafsir Ibnu Abbas mengenai lafad-lafad Al-Qur'an yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Ali ibn Thalhah dari Ibnu Abbas. Untuk memudahkan pekerjaan itu perlu sekali kita mempelajari kitab Mu'jam Gharib al-Qur'an yang disusun oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi. Ibnu Taimiyah dalam Muqaddimah Ushul at-Tafsir berkata:”Apabila engkau tidak mendapatkan tafsir dalam Al-Qur'an dan tidak mendapat kan tafsir sahabat maka kembalikan kepada para tabi'in.”
Syu'bah dan lain-lain berkata:”Pendapat para tabi'in tidak menjadi hujjah dalam soal tafsir.”Maksudnya bahwa pendapat para tabi'in itu tidak dapat dipakai untuk membantah pendapat orang, ini adalah benar. Akan tetapi apabila mereka telah ber-ijma ', maka tidak dapat diragu kan lagi kebenarannya. Jika mereka berselisih, tentu pendapat sebagian mereka tidak menjadi hujjah untuk menolak pendapat orang lain. Dalam hal ini kita harus kembali kepada bahasa Al-Qur'an, As-Sunnah, kepada umum bahasa Arab atau pendapat-pendapat para sahabat.
Ibnu Taimiyah tidak membenarkan orang menafsirkan Al-Qur'an dengan kekuatan ijtihad seperti yang dilakukan oleh Az-Zamakhsyary. Bantahan Ibnu Taimiyah ini dapat kita terima jika mengenai ayat itu ada hadits atau tafsir sahabat. Jika tidak ada, maka diperbolehkan orang me nafsirkan Al-Qur'an dengan kekuatan ijtihad. Jika tidak membolehkan orang memahamkan Al-Qur'an dengan kekuatan ijtihad, ketika tidak ada hadits atau atsar, berarti menutup pintu orang memahamkan Al-Qur'an.
Tentang kebolehan menafsirkan Al-Qur'an dengan kekuatan ijtihad telah dibenarkan oleh beberapa ulama besar, di antaranya Al-Ghazali. Akan tetapi dengan syarat jangan terlalu mencari-cari penafsiran supaya sesuai dengan madzhab yang dianut oleh penafsir, baik mengenai pokok ataupun mengenai cabang.”
Tulisan ini adalah kutipan dari buku Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-qur'an dan Tafsir yang ditulis oleh teungku M. Hasbi ash-shiddieqy