Kedudukan Meunasah Dalam Tradisi Masyarakat Aceh
Sebagaimana disebutkan pada tulisan sebelumnya bahwa dayah bukanlah satu-satunya lembaga pendidikan tradisionil di Aceh. Selain itu, masyarakat Aceh juga mengenal lambaga pendidikan yang bernama Meunasah. Meunasah ini memiliki kedudukan yang sangat penting dalam struktur masyarakat desa atau gampong di Aceh.
Pada meunasah, fungsi mesjid dan musalla sebagai lembaga ibadah sudah digabungkan dengan fungsi-fungsi pendidikan dan sosial budaya lainnya dalam satu institusi yang tunggal. Secara fisik, meunasah merupakan sebuah bangunan yang letaknya biasanya ditengah-tengah kampung. Di Buatkan letak seperti ini agar mudah dicapai oleh semua warga desa.
Bangunan ini bentuknya biasanya seperti rumah tradisional Aceh dengan atap daun rumbia dan dinding yang pada umumnya sangat terbuka. Meunasah sering dipenuhi dengan berbagai ukiran yang ada pada rumah tradisional Aceh. Bagian depannya kadang-kadang diperlengkapi dengan beranda yang agak rendah yang sering dipakai sebagai tempat istirahat orang-orang yang datang ke meunasah.
Di beranda inilah terjadinya proses sosial dalam masyarakat seperti terjadi proses komunikasi antar warga masyarakat. Pada beranda meunasah yang lebih terbuka ini selalu ada orang singgah dan duduk berlama-lama dan inilah pusat komunikasi sosial yang sangat informal dalam masyarakat Aceh. Meunasah merupakan institusi yang sangat dasar dalam masyarakat Aceh karena pada lembaga inilah berhimpun berbagai fungsi yang ada dalam masyarakat.
Semua desa atau gampong di Aceh memiliki meunasah sebagai institusi sosial kemasyarakatan yang mendasar. Lembaga ini bukan saja dipakai tempat mendidik anak-anak dalam berbagai pendidikan agama, tetapi lembaga ini dipakai juga tempat shalat berjama'ah, tempat rapat, tempat mengadakan kenduri ( pesta komunal ), tempat administrasi desa, tempat tidur anak-anak muda, tempat berdo'a untuk orang-orang meninggal, tempat menyelesaikan berbagai perkara di kampung dan lain-lain.
Baca juga: Sejarah Perkembangan Dayah di Aceh
Sejauh berkenaan dengan pendidikan dan fungsi-fungsi keagamaan, institusi meunasah merupakan bagian dari institusi dayah. Perbedaannya dengan dayah ialah lembaga ini bukan saja dikenal sebagai lembaga pendidikan, tetapi dikenal juga sebagi lembaga ibadah dan sosial kemasyarakatan yang mempunyai fungsi-fungsi yang banyak sekali.Pada meunasah, fungsi mesjid dan musalla sebagai lembaga ibadah sudah digabungkan dengan fungsi-fungsi pendidikan dan sosial budaya lainnya dalam satu institusi yang tunggal. Secara fisik, meunasah merupakan sebuah bangunan yang letaknya biasanya ditengah-tengah kampung. Di Buatkan letak seperti ini agar mudah dicapai oleh semua warga desa.
Bangunan ini bentuknya biasanya seperti rumah tradisional Aceh dengan atap daun rumbia dan dinding yang pada umumnya sangat terbuka. Meunasah sering dipenuhi dengan berbagai ukiran yang ada pada rumah tradisional Aceh. Bagian depannya kadang-kadang diperlengkapi dengan beranda yang agak rendah yang sering dipakai sebagai tempat istirahat orang-orang yang datang ke meunasah.
Di beranda inilah terjadinya proses sosial dalam masyarakat seperti terjadi proses komunikasi antar warga masyarakat. Pada beranda meunasah yang lebih terbuka ini selalu ada orang singgah dan duduk berlama-lama dan inilah pusat komunikasi sosial yang sangat informal dalam masyarakat Aceh. Meunasah merupakan institusi yang sangat dasar dalam masyarakat Aceh karena pada lembaga inilah berhimpun berbagai fungsi yang ada dalam masyarakat.
Semua desa atau gampong di Aceh memiliki meunasah sebagai institusi sosial kemasyarakatan yang mendasar. Lembaga ini bukan saja dipakai tempat mendidik anak-anak dalam berbagai pendidikan agama, tetapi lembaga ini dipakai juga tempat shalat berjama'ah, tempat rapat, tempat mengadakan kenduri ( pesta komunal ), tempat administrasi desa, tempat tidur anak-anak muda, tempat berdo'a untuk orang-orang meninggal, tempat menyelesaikan berbagai perkara di kampung dan lain-lain.
Baca juga: Tiga Tradisi Pendidikan di Aceh
Masyarakat Aceh mungkin tidak bisa merasakan ke Acehannya tanpa kehadiran meunasah dalam wilayahnya. Meunasah dipimpin oleh dwi tunggal pemimpin desa di Aceh yaitu keusyik dan teungku, suatu tradisi kepemimpinan yang menggabungkan fungsi umara dan ulama menjadi satu dalam masyarakat.
Sebagai lembaga pendidikan, meunasah merupakan tempat pertama anak-anak mendapat pendidikan agama diluar rumah mereka. Kurikulum yang dilaksanakan adalah dasar dalam pendidikan anak-anak di Aceh. Kurikulum ini berisi pelajaran membaca Al-qur'an yang dimulai dengan pengenalan huruf Hijaiyah atau huruf Arab menurut qa'idah bagdadiyah. Buku teks yang dipakai ialah Jus ' amma.
Disamping pelajaran membaca Al-qur'an, anak-anak juga diajarkan cara-cara mengerjakan shalat. Begitu juga diajarkan tentang do'a sembahyang. Begitu juga dengan pelajaran akhlaq. Ajaran pokok agama Islam yang diajarkan di meunasah didasarkan pada kitab Masailal Mubtadi suatu kitab pejalaran agama yang sangat klassik di Aceh dan juga ditulis oleh Syekh Baba Daud, atau yang dikenal dengan nama Teungku Di Leupue, murid dari Syekh Abdurrauf Syiah Kuala. Metode tanya jawab yang dipakai dalam kitab tersebut bisa diingat dengan mudah oleh semua orang Aceh yang pernah mengaji di meunasah itu.
Teungku merupakan bagian dari dwi tunggal pemimpin desa di Aceh dan merupakan tokoh yang sangat sentral dalam kehidupan meunasah. Hidup matinya meunasah tergantung pada kegiatan teungku dalam mengembangkan pendidikan agama bagi warga masyarakat. Bukan hanya anak-anak saja yang dididik di meunasah itu, tetapi ada juga meunasah yang menyediakan pengajaran atau " drah " ( dari kata darsun ) kepada orang-orang dewasa atau kaum ibu.
Kepemimpinan kesyik ( kepala kampung ) dalam meunasah hanya terbatas pada masalah-masalah kemasya rakatan saja. Peranan meunasah dalam bidang peribadatan nampak sekali dalam bulan Ramadhan atau bulan puasa. Di samping untuk shalat lima waktu yang biasa, pada bulan Ramadhan meunasah merupakan tempat orang-orang mengadakan shalat taraweh dan membaca Al-qur'an yang disebut dengan tadarus.
Dalam bulan puasa ini, pendidikan regular seperti disebutkan diatas diliburkan sama sekali tetapi anak-anak muda yang sudah bisa membaca Al-qur'an di haruskan ikut bertadarus. Itulah sebabnya dalam bulan Ramadhan meunasah merupakan tempat yang tidak pernah tidur, karena kadang-kadang anak-anak itu membaca Al-quran sampai waktu makan sahur. Karena membaca Al-quran sampai waktu makan sahur, maka merekalah yang berfungsi sebagai pembangun orang-orang tidur untuk makan sahur.
Tradisi tadarus Al-quran ini dilakukan tiap malam sampai seluruh Al-quran selesai dibaca semuanya, bahkan sampai tammat beberapa kali. Bila Al-quran itu sudah selesai dibaca, maka masyarakat kampung mengadakan kenduri menammatkan tadarus yang biasanya dilakukan pada malam tujuh belas Ramadhan.
Seluruh kegiatan meramaikan Ramadhan ini dipusatkan di meunasah, dan dewasa ini juga dimesjid-mesjid dan mushalla-mushalla. Disamping menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan desa. meunasah juga memainkan peranan yang sangat penting dalam sosialisasi nilai-nilai masyarakat gampong di Aceh. Sosialisasi ini terjadi melalui berbagai kegiatan di meunasah mulai dari shalat berjama'ah, kenduri maulid dan kenduri menammatkan tadarus Al quran dalam bulan puasa, sampai pada kegiatan tidur anak-anak muda desa.
Dalam masyarakat desa di Aceh, tidak pernah pergi ke meunasah merupakan perangai yang mengaibkan. Orang-orang yang baru kawin ke suatu desa diharuskan datang ke meunasah pada waktu tertentu agar ia dengan segera menjadi warga desa setempat. Di meunasah inilah ia berkenalan dengan warga kampung mulai dari orang tua sampai kepada anak-anak.
Dalam tradisi Aceh, anak-anak laki memang tempat tidurnya di meunasah dan di sinilah anak-anak itu belajar berbagai macam norma sosial kemasyarakatan. Di sini ia belajar peraturan masyarakat, dan bagi anak-anak yang berbakat, di sinilah tempat bagi mereka untuk belajar menjadi pemimpin. Kepemimpinan dipelajari oleh anak anak atau pemuda desa melalui berbagai kegiatan bersama, seperti tadarrus, membaca dalaail khairat atau kegiatan gotong royong desa.
Pendidikan di meunasah lebih banyak berorientasi pada kaum pria, karena kegiatan di meunasah lebih banyak didominasi oleh kaum lelaki. Untuk kaum wanita pendidikan dasar disediakan di rumah-rumah teungku atau di balee. Balee tersebut merupakan lembaga meunasah yang dibuat terpisah karena ada kepentingan tersendiri. Karena kadang-kadang meunasah tidak selalu dapat dipakai sebagai tempat pengajian untuk anak-anak, maka untuk mereka dibuat tempat khusus, untuk pengajian ini disebut dengan balee.
Balee ini kadang-kadang tempatnya dekat dengan meunasah dan kadang-kadang jauh dari meunasah. Dalam kampung yang luas, balee yang jauh ini dapat pula berfungsi sebagai fasilitas jauh untuk sebuah meunasah. Demikian juga rumah teungku sendiri sering difungsikan sebagai tempat anak-anak mengaji terutama anak-anak perempuan. Anak-anak perempuan ini tidur di tempat tersebut seperti halnya anak-anak laki-laki yang tidur di meunasah.
Sebagai lembaga sosial budaya yang sangat mendasar dalam masyarakat Aceh, masyarakat Aceh cenderung membawa lembaga ini kemana saja mereka pergi. Hal ini sesuai dengan konsep yang dijelaskan oleh Muslim Ibrahim dengan istilah " Pengembaraan kebudayaan Aceh di luar tanah ranahnya. " Di Jakarta misalnya terdapat beberapa buah meunasah yang didirikan oleh masyarakat Aceh yang bermukim di sana.
Dengan dibangunnya meunasah masyarakat Aceh di perantauan merasa seperti di kampung sendiri. Di perantauan ini di samping sebagai tempat pengajian, meunasah juga memainkan peranan yang sangat penting sebagai lembaga atau media komunikasi budaya. Sebenarnya di Acehpun, meunasah memainkan peranan yang sangat penting dalam komunikasi sosial ini.
Dalam sistem komunikasi tradisionil di mana warga masyarakat memperoleh informasi melalui lisan, maka meunasah merupakan lembaga yang sangat penting sebagai titik sentral dalam sistem komunikasi itu. Peranan meunasah sebagai media komunikasi tradisional ini terjadi lebih penting lagi bagi masyarakat Aceh di perantauan, dan karena kebutuhan kepada media komunikasi inilah, antara masyarakat Aceh cenderung membangun meunasah di mana saja mereka berada di daerah perantauan.
Kutipan dari Tulisan Dr. H.Safwan Idris,MA tentang Perkembangan pendidikan pesantren di Aceh ( antara tradisi dan pembaharuan )
Sebagai lembaga pendidikan, meunasah merupakan tempat pertama anak-anak mendapat pendidikan agama diluar rumah mereka. Kurikulum yang dilaksanakan adalah dasar dalam pendidikan anak-anak di Aceh. Kurikulum ini berisi pelajaran membaca Al-qur'an yang dimulai dengan pengenalan huruf Hijaiyah atau huruf Arab menurut qa'idah bagdadiyah. Buku teks yang dipakai ialah Jus ' amma.
Disamping pelajaran membaca Al-qur'an, anak-anak juga diajarkan cara-cara mengerjakan shalat. Begitu juga diajarkan tentang do'a sembahyang. Begitu juga dengan pelajaran akhlaq. Ajaran pokok agama Islam yang diajarkan di meunasah didasarkan pada kitab Masailal Mubtadi suatu kitab pejalaran agama yang sangat klassik di Aceh dan juga ditulis oleh Syekh Baba Daud, atau yang dikenal dengan nama Teungku Di Leupue, murid dari Syekh Abdurrauf Syiah Kuala. Metode tanya jawab yang dipakai dalam kitab tersebut bisa diingat dengan mudah oleh semua orang Aceh yang pernah mengaji di meunasah itu.
Teungku merupakan bagian dari dwi tunggal pemimpin desa di Aceh dan merupakan tokoh yang sangat sentral dalam kehidupan meunasah. Hidup matinya meunasah tergantung pada kegiatan teungku dalam mengembangkan pendidikan agama bagi warga masyarakat. Bukan hanya anak-anak saja yang dididik di meunasah itu, tetapi ada juga meunasah yang menyediakan pengajaran atau " drah " ( dari kata darsun ) kepada orang-orang dewasa atau kaum ibu.
Kepemimpinan kesyik ( kepala kampung ) dalam meunasah hanya terbatas pada masalah-masalah kemasya rakatan saja. Peranan meunasah dalam bidang peribadatan nampak sekali dalam bulan Ramadhan atau bulan puasa. Di samping untuk shalat lima waktu yang biasa, pada bulan Ramadhan meunasah merupakan tempat orang-orang mengadakan shalat taraweh dan membaca Al-qur'an yang disebut dengan tadarus.
Dalam bulan puasa ini, pendidikan regular seperti disebutkan diatas diliburkan sama sekali tetapi anak-anak muda yang sudah bisa membaca Al-qur'an di haruskan ikut bertadarus. Itulah sebabnya dalam bulan Ramadhan meunasah merupakan tempat yang tidak pernah tidur, karena kadang-kadang anak-anak itu membaca Al-quran sampai waktu makan sahur. Karena membaca Al-quran sampai waktu makan sahur, maka merekalah yang berfungsi sebagai pembangun orang-orang tidur untuk makan sahur.
Tradisi tadarus Al-quran ini dilakukan tiap malam sampai seluruh Al-quran selesai dibaca semuanya, bahkan sampai tammat beberapa kali. Bila Al-quran itu sudah selesai dibaca, maka masyarakat kampung mengadakan kenduri menammatkan tadarus yang biasanya dilakukan pada malam tujuh belas Ramadhan.
Seluruh kegiatan meramaikan Ramadhan ini dipusatkan di meunasah, dan dewasa ini juga dimesjid-mesjid dan mushalla-mushalla. Disamping menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan desa. meunasah juga memainkan peranan yang sangat penting dalam sosialisasi nilai-nilai masyarakat gampong di Aceh. Sosialisasi ini terjadi melalui berbagai kegiatan di meunasah mulai dari shalat berjama'ah, kenduri maulid dan kenduri menammatkan tadarus Al quran dalam bulan puasa, sampai pada kegiatan tidur anak-anak muda desa.
Dalam masyarakat desa di Aceh, tidak pernah pergi ke meunasah merupakan perangai yang mengaibkan. Orang-orang yang baru kawin ke suatu desa diharuskan datang ke meunasah pada waktu tertentu agar ia dengan segera menjadi warga desa setempat. Di meunasah inilah ia berkenalan dengan warga kampung mulai dari orang tua sampai kepada anak-anak.
Dalam tradisi Aceh, anak-anak laki memang tempat tidurnya di meunasah dan di sinilah anak-anak itu belajar berbagai macam norma sosial kemasyarakatan. Di sini ia belajar peraturan masyarakat, dan bagi anak-anak yang berbakat, di sinilah tempat bagi mereka untuk belajar menjadi pemimpin. Kepemimpinan dipelajari oleh anak anak atau pemuda desa melalui berbagai kegiatan bersama, seperti tadarrus, membaca dalaail khairat atau kegiatan gotong royong desa.
Pendidikan di meunasah lebih banyak berorientasi pada kaum pria, karena kegiatan di meunasah lebih banyak didominasi oleh kaum lelaki. Untuk kaum wanita pendidikan dasar disediakan di rumah-rumah teungku atau di balee. Balee tersebut merupakan lembaga meunasah yang dibuat terpisah karena ada kepentingan tersendiri. Karena kadang-kadang meunasah tidak selalu dapat dipakai sebagai tempat pengajian untuk anak-anak, maka untuk mereka dibuat tempat khusus, untuk pengajian ini disebut dengan balee.
Balee ini kadang-kadang tempatnya dekat dengan meunasah dan kadang-kadang jauh dari meunasah. Dalam kampung yang luas, balee yang jauh ini dapat pula berfungsi sebagai fasilitas jauh untuk sebuah meunasah. Demikian juga rumah teungku sendiri sering difungsikan sebagai tempat anak-anak mengaji terutama anak-anak perempuan. Anak-anak perempuan ini tidur di tempat tersebut seperti halnya anak-anak laki-laki yang tidur di meunasah.
Sebagai lembaga sosial budaya yang sangat mendasar dalam masyarakat Aceh, masyarakat Aceh cenderung membawa lembaga ini kemana saja mereka pergi. Hal ini sesuai dengan konsep yang dijelaskan oleh Muslim Ibrahim dengan istilah " Pengembaraan kebudayaan Aceh di luar tanah ranahnya. " Di Jakarta misalnya terdapat beberapa buah meunasah yang didirikan oleh masyarakat Aceh yang bermukim di sana.
Dengan dibangunnya meunasah masyarakat Aceh di perantauan merasa seperti di kampung sendiri. Di perantauan ini di samping sebagai tempat pengajian, meunasah juga memainkan peranan yang sangat penting sebagai lembaga atau media komunikasi budaya. Sebenarnya di Acehpun, meunasah memainkan peranan yang sangat penting dalam komunikasi sosial ini.
Dalam sistem komunikasi tradisionil di mana warga masyarakat memperoleh informasi melalui lisan, maka meunasah merupakan lembaga yang sangat penting sebagai titik sentral dalam sistem komunikasi itu. Peranan meunasah sebagai media komunikasi tradisional ini terjadi lebih penting lagi bagi masyarakat Aceh di perantauan, dan karena kebutuhan kepada media komunikasi inilah, antara masyarakat Aceh cenderung membangun meunasah di mana saja mereka berada di daerah perantauan.
Kutipan dari Tulisan Dr. H.Safwan Idris,MA tentang Perkembangan pendidikan pesantren di Aceh ( antara tradisi dan pembaharuan )