Bentuk Kecurangan Para Petani
Syaikh berkata,”Ya Ammar, aku ingin sayur-mayur. Bagaimana pendapatmu bila dalam perjalanan menuju rumah kita pergi dulu ke area pertanianku yang tidak jauh dari sini ? Dari sana kita akan mengambil sejumlah sayur mayur, apabila sekarang pekerja masih berada di sana.”“Terserah Syaikh -semoga Allah memberkatimu dalam hal itu,”jawab Ammar. ”Semoga Allah pun memberkatimu,”jawab Syaikh.
Baca juga: Penyelewengan di Tempat Kerja
Bersama muridnya, Syaikh berangkat menuju area pertaniannya untuk mengambil sayur-mayur yang segar. Di sana, Syaikh bertemu dengan seorang pekerja, Athiya.”As-Salamu'alaikum warahmatullah,”kata Syaikh memberi salam.”Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh, ya Syaikh,”jawab Athiya.”Bagaimana kabarmu Athiya. Semoga kamu baik-baik,”tanya Syaikh.
”Alhamdulillah, kami baik-baik, sehat dan selalu dalam nikmat Allah,”jawabnya.”Kami datang ke sini untuk memastikan kesehatan dan kondisimu. Juga, untuk mengambil sayur-mayur dari persawahanmu yang indah ini.”
“Dengan senang hati, selamat datang,”kata Athiya.”Tapi, kami ingin cepat-cepat kembali. Sebab, kami sedang tergesa gesa. Seandainya kami menyusahkanmu dalam mengumpulkan sayur mayur itu, maafkan kami,”kata Syaikh, terus terang, bersama,”kata Athiya.”Demi Allah, kalian berdua tidak boleh pergi sebelum makan”Semoga Allah mengampunimu Athiya. Mengapa kamu bersumpah, semoga Allah menunjukimu,”ungkap Syaikh.
Bersama muridnya, Syaikh berangkat menuju area pertaniannya untuk mengambil sayur-mayur yang segar. Di sana, Syaikh bertemu dengan seorang pekerja, Athiya.”As-Salamu'alaikum warahmatullah,”kata Syaikh memberi salam.”Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh, ya Syaikh,”jawab Athiya.”Bagaimana kabarmu Athiya. Semoga kamu baik-baik,”tanya Syaikh.
”Alhamdulillah, kami baik-baik, sehat dan selalu dalam nikmat Allah,”jawabnya.”Kami datang ke sini untuk memastikan kesehatan dan kondisimu. Juga, untuk mengambil sayur-mayur dari persawahanmu yang indah ini.”
“Dengan senang hati, selamat datang,”kata Athiya.”Tapi, kami ingin cepat-cepat kembali. Sebab, kami sedang tergesa gesa. Seandainya kami menyusahkanmu dalam mengumpulkan sayur mayur itu, maafkan kami,”kata Syaikh, terus terang, bersama,”kata Athiya.”Demi Allah, kalian berdua tidak boleh pergi sebelum makan”Semoga Allah mengampunimu Athiya. Mengapa kamu bersumpah, semoga Allah menunjukimu,”ungkap Syaikh.
Baca juga: Bahaya Kesaksian Palsu
Seperti yang telah terkenal dari tradisi orang-orang kampung yang baik hati, Athiya bergegas pergi ke rumah untuk menyiapkan hidangan. la meminta orang rumah untuk menyiapkan lauk makan siang. la pun kemudian kembali dengan membawa teh. Setelah itu, ia membuka ruang tamu. Sebab, sebelumnya ia tengah berada di saung yang terletak di tengah persawahan.
Menyambut mereka, Athiya berkata,”Semoga Allah memanjangkan umurmu, silakan !” Syaikh berkata,”Kami tidak ingin duduk di sini di tengah sayur mayur ini. Kami juga tidak ingin duduk di dalam ruangan. Duduk di dekat sayur-mayur itu akan lebih menenangkan urat saraf. Bagaimana pendapatmu Ammar ?”“Bagus ya Syaikh -semoga Allah melindungi dan memberkatimu- Alangkah baik pendapat Anda,”jawab Ammar.
Athiya kemudian memberikan tikar dan menggelarkannya di tanah di tengah pohon buah-buahan dan sayur-mayur itu. Mereka semua kemudian duduk di sana untuk menyantap teh dalam suasana yang indah dan pemandangan hijau yang menenangkan saraf itu.
Memotong Jalan Kaum Muslimin
Ketika mereka sedang minum teh, tiba-tiba Haji Farid Abu Jum'ah yang sedang berkeliling di persawahannya melintas. Tatkala ia melihat Syaikh, ia segera datang sambil menyambutnya. Syaikh pun bergegas bangun dan keduanya berpelukan. Masing-masing mereka bertanya kabar keluarganya. Ketika mereka dalam kabar yang lain, juga kondisi seperti itu, tiba-tiba pandangan Syaikh melihat sesuatu yang aneh di tanah Abu Jum'ah.
Seperti yang telah terkenal dari tradisi orang-orang kampung yang baik hati, Athiya bergegas pergi ke rumah untuk menyiapkan hidangan. la meminta orang rumah untuk menyiapkan lauk makan siang. la pun kemudian kembali dengan membawa teh. Setelah itu, ia membuka ruang tamu. Sebab, sebelumnya ia tengah berada di saung yang terletak di tengah persawahan.
Menyambut mereka, Athiya berkata,”Semoga Allah memanjangkan umurmu, silakan !” Syaikh berkata,”Kami tidak ingin duduk di sini di tengah sayur mayur ini. Kami juga tidak ingin duduk di dalam ruangan. Duduk di dekat sayur-mayur itu akan lebih menenangkan urat saraf. Bagaimana pendapatmu Ammar ?”“Bagus ya Syaikh -semoga Allah melindungi dan memberkatimu- Alangkah baik pendapat Anda,”jawab Ammar.
Athiya kemudian memberikan tikar dan menggelarkannya di tanah di tengah pohon buah-buahan dan sayur-mayur itu. Mereka semua kemudian duduk di sana untuk menyantap teh dalam suasana yang indah dan pemandangan hijau yang menenangkan saraf itu.
Memotong Jalan Kaum Muslimin
Ketika mereka sedang minum teh, tiba-tiba Haji Farid Abu Jum'ah yang sedang berkeliling di persawahannya melintas. Tatkala ia melihat Syaikh, ia segera datang sambil menyambutnya. Syaikh pun bergegas bangun dan keduanya berpelukan. Masing-masing mereka bertanya kabar keluarganya. Ketika mereka dalam kabar yang lain, juga kondisi seperti itu, tiba-tiba pandangan Syaikh melihat sesuatu yang aneh di tanah Abu Jum'ah.
Baca juga: Hukum Penjualan Lotre
Abu Jum'ah menanam beberapa pohon di pinggir jalan di ujung tanah miliknya. Sekarang pohon-pohon itu terlihat oleh Syaikh telah jauh masuk ke jalan. Sehingga, jalan untuk pelintas tanah Abu Jum'ah yang biasa dilalui oleh orang-orang menjadi sempit sekali. Syaikh mengarahkan pertanyaan ini kepada Abu Jum'ah,”Apa ini ya Abu Jum'ah ? Mengapa sekarang aku tidak melihat pohon-pohon ini masuk ke dalam tanahmu ? Padahal, sebelumnya pohon-pohon itu ada di ujung tanahmu di pinggir jalan. Aku melihatmu memperkecil jalan, mengambil sebagian besarnya, dan memasukkannya ke tanahmu kemudian menggarapnya ?”
“Wahai Syaikh, luas tanah kami sedikit sementara anak-anak kami banyak. Kami sedikit memperluas tanah itu. Secara umum, kami tidak menghilangkan jalan. Kami membiarkan ada jarak bagi para pelintas untuk menyeberang di sana,”jawab Abu Jum'ah.”Aneh, semoga Allah memanjangkan umurmu dalam menaati-Nya ya Abu Jum'ah. Apakah kamu ingin memasukkan seluruh jalan itu ke dalam tanahmu ?”kata Syaikh kepadanya.”Tidak, aku memberi jalan kepada orang-orang yang melintas di sana Lagi pula ya Syaikh, tanah ini berada di depan tanahku.
Maka aku bisa melakukan apa saja yang aku mau tanpa terintervensi sedikit oleh orang lain,”jawab Abu Jum'ah.”Dan mana orang-orang akan melintas ?”tanya Syaikh kepadanya.”Mereka dapat melintas dari jalur manapun,”jawabnya”Jangan ya Abu Jum'ah. Ini tidak benar. Sebab, jalan ini diberikan negara untuk dilalui oleh orang-orang dan melangsungkan kepentingannya. Jika tidak begitu, bagaimana mungkin pemilik tanah masuk ke bagian dalam tanahnya jika tidak ada jalan ini,”kata Syaikh.”Aku telah katakan padamu bahwa kami memberikan jalan untuk mereka melintas,”kata Abu Jum'ah.
Syaikh berkata,”Semoga Allah memberkatimu, izinkan aku berkata padamu bahwa barang siapa yang memotong jalan kaum muslim dan memasukkan jalan itu ke dalam tanahnya, maka dia telah makan dan memberi makan keluarganya dengan sesuatu yang haram. Sebab, perbuatan itu adalah haram. Bahkan termasuk dosa besar yang tidak diperbolehkan. Pada hari kiamat nanti, Allah akan mengalungkan kepadanya apa yang dia potong dari jalan kaum muslimin.”
Abu Sa'id bin Zaid berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda: Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka sesungguhnya Allah akan mengalungkan tujuh ( lapis ) bumi kepadanya. Ibnu Umar berkata, Rasulullah bersabda: Barang siapa yang mengambil satu dari tanah dengan tanpa haknya, maka karenanya dia tenggelamkan pada hari kiamat ke dalam tujuh ( lapis ) bumi. Aisyah berkata,”Rasulullah bersabda: Barang siapa yang menzalimi sejengkal tanah, maka Allah akan mengalungkan tujuh ( lapis ) bumi kepadanya.
Sebab, ini adalah merampas tanah yang bukan hakmu dan kamu tidak boleh mengambilnya. Dengarlah apa yang dikatakan oleh para ulama tentang hal itu !”
“Apa yang mereka katakan dalam permasalahan yang berbahaya dan merebak di kalangan para petani ya Syaikh ?”tanya Ammar, memotong. Syaikh menjawab,”Apabila rasa takut kepada Allah telah tiada, maka kekuatan dan cara menjadi bencana bagi orangnya. Dia akan mempergunakan kekuatan dan caranya untuk berlaku zalim seperti meletakkan kekuasaan dan mengeksploitasi harta orang lain.
Termasuk dalam hal itu adalah merampas tanah. Sementara mengenai sanksi atas perbuatan itu sangat luar biasa. Dari Abu Ya'la bin Marah-semoga Allah meridhainya-secara marfu’: Lelaki manapun yang menzalimi sejengkal tanah maka Allah akan menuntutnya untuk menggali tanah itu hingga mencapai akhir tujuh ( lapis ) bumi. Kemudian, Allah akan mengalungkan ( tanah itu ) kepadanya pada hari kiamat sampai diputuskan di antara manusia. ( HR. Ath-Thabrani ).
Termasuk dalam hal itu adalah mengubah tanda-tanda tanah, yakni batas-batasnya di antara para petani. Lalu, petani itu memperluas tanah nya dari tanah tetangganya atau tanah jalan kaum muslimin. Mengubah batas tanah dan memperluas tanah yang boleh jadi diambil dari tanah tetangga atau jalan merupakan yang disoroti dalam sabda Rasulullah: Allah melaknat orang yang mengubah tanda-tanda tanah.” (HR. Muslim)
”Wahai Syaikh, aku telah katakan padamu bahwa tanah itu sempit,”kata Abu Jum'ah. Syaikh berkata,”Apabila tanahmu sempit, lalu apakah kamu akan memperluasnya dengan keharaman ya Abu Jum'ah ? Orang yang melakukan itu akan dituntut untuk memindahkan apa yang dizaliminya pada hari kiamat ke tujuh lapis bumi.
Sehingga, apa yang dizaliminya menjadi seperti kalung dilehernya. Lihatlah, semoga Allah memberi petunjuk kepadamu, bagaimana mungkin kamu bisa berdiri dengan beban yang sebesar gunung-gunung yang kokoh itu ? Ini merupakan makanan haram yang dikonsumsi oleh orang itu, kita berlindung kepada Allah dari hal itu.
Perbuatan itu pun menjadi penyebab laknat kaum muslimin terhadapnya. Itu disebabkan dia telah mempersempit jalan mereka. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah wahai Abu Jum'ah. Kembalikanlah jalan itu seperti semula sejak sekarang sebelum kematian membinasakanmu. Sehingga anak-anakmu mendapat sampai ke tujuh lapis bumi.”
Yakni, ini haram ya Syaikh ?”tanya Abu Jum'ah, tak percaya. Syaikh menjawab,”Aku telah menerangkan padamu tentang dalil dall yang jelas. Lalu, lihatlah semoga Allah memberkatimu- dengan mata hatimu tentang esensi permasalahan ini. Berapa banyak pendapatan yang akan masuk kepadamu dengan memasukkan jalan kaum muslim yang kamu rampas itu ?”“Sedikit sekali,”jawab Abu Jum'ah.
Syaikh berkata,”Semoga Allah mengampuni dan memberikan petunjuk kepadamu. Apakah demi pemasukan yang sedikit ini kamu menimpakan polusi keharaman kepada tanaman dan semua pemasukanmu ? Ini sungguh sangat mengherankan. Dengarlah salah seorang teman petanimu yang mendapat musibah karena merampas jalan dan memasukkannya ke dalam tanahnya. Itu dia lakukan demi memperluas tanahnya.
Perkataan ini dikatakan setelah dia bertaubat kepada Allah dan mengembalikan hak tersebut. Petani itu memberitahukan tentang sesuatu yang aneh, yang terjadi padanya pada sebidang tanah yang ia rampas. Dia berkata, Aku mengambil jalan orang-orang yang lebarnya mencapai lima meter dari panjang tanahku dan memasukkannya ke tanahku. Aku kemudian membajak tanah itu, membersihkan ilalang pengrusak yang ada di sana, dan menebar benih sekaligus menyirami benih tersebut. Aku bersungguh-sungguh dalam mengelolanya seperti mengelola sisa tanahku yang lain. Setelah itu, tumbuhlah seluruh tanaman yang ada di tanah milikku yang sesungguhnya secara sempurna dan tanpa ada satu benih pun yang terlambat tumbuh.
Namun di area hasil merampas itu, tak ada sebatang benih pun yang tumbuh. Seperti telah diukur dengan penggaris, tanah hasil rampasan itu menjadi kosong tanpa ada benih yang tumbuh. Aku berkata dalam hati: mungkin itu terjadi karena kami buruk dalam mempersiapkannya, padahal aku mengelola tanah itu seperti yang aku lakukan terhadap tanahku yang lain. Tatkala musim tanam yang berikutnya tiba, aku memberikan perhatian ke tanah tersebut lebih banyak daripada tanah yang lain, baik dari segi pembersihan, pembajakan, pengairan, pembenihan ataupun pemeliharaannya.
Namun semua itu sirna terbawa angin. Demi Allah, tak ada satu benih pun yang tumbuh di area itu. Setelah seluruh tanaman tumbuh, seluruh tanah menjadi hijau kecuali area hasil merampas itu.
Kamu bisa melihatnya seolah tanah itu terbakar di bagian atasnya. Sehingga, ia menjadi hitam tanpa ada tumbuhan yang tumbuh. Peristiwa ini terjadi selama lima tahun berturut-turut. Ketika itulah aku tahu bahwa Allah telah menguji hatiku, mengingatkan, memaafkan, dan memberikan kabar buruk terhadapku. Maka, aku pun bertaubat kepada Allah dan mengembalikan area tersebut menjadi jalan kaum muslimin.
Alhamdulillah, sekarang aku baik-baik saja.”Abu Jum'ah berkata,”Kami bersaksi kepada-Mu ya Allah untuk bertaubat sejak sekarang. Besok, insya Allah aku akan menyewa para pekerja untuk mulai mengembalikan hak tersebut kepada bagiannya.
Semoga Allah membalasmu dengan balasan yang terbaik, ya Syaikh, atas peringatan yang indah dan nasihat yang lembut ini. Segala puji bagi Allah yang telah mengirimmu kepadaku sebelum aku wafat, untuk mengingatkanku kepada Allah.”Syaikh berkata,”Semoga Allah memberkatimu dan memberkati tanah, keluarga, dan hartamu. Ayo, silakan minum teh dulu bersama kami !”Sampai di situ kemudian terdengar suara azan Zhuhur,”Allah Akbar, Allahu Akbar”Mereka semua kemudian berdiri untuk menunaikan salat Zhuhur dan kembali lagi ke tempat itu setelah menunaikannya.
Tulisan ini adalah kutipan Dari Buku Tahzdir Al-Kiram Min Mi'ah Bab Min Abwabil Haram yang ditulis oleh Ibrahim bin Fathi bin Abdul Al-Muqtadir
Abu Jum'ah menanam beberapa pohon di pinggir jalan di ujung tanah miliknya. Sekarang pohon-pohon itu terlihat oleh Syaikh telah jauh masuk ke jalan. Sehingga, jalan untuk pelintas tanah Abu Jum'ah yang biasa dilalui oleh orang-orang menjadi sempit sekali. Syaikh mengarahkan pertanyaan ini kepada Abu Jum'ah,”Apa ini ya Abu Jum'ah ? Mengapa sekarang aku tidak melihat pohon-pohon ini masuk ke dalam tanahmu ? Padahal, sebelumnya pohon-pohon itu ada di ujung tanahmu di pinggir jalan. Aku melihatmu memperkecil jalan, mengambil sebagian besarnya, dan memasukkannya ke tanahmu kemudian menggarapnya ?”
“Wahai Syaikh, luas tanah kami sedikit sementara anak-anak kami banyak. Kami sedikit memperluas tanah itu. Secara umum, kami tidak menghilangkan jalan. Kami membiarkan ada jarak bagi para pelintas untuk menyeberang di sana,”jawab Abu Jum'ah.”Aneh, semoga Allah memanjangkan umurmu dalam menaati-Nya ya Abu Jum'ah. Apakah kamu ingin memasukkan seluruh jalan itu ke dalam tanahmu ?”kata Syaikh kepadanya.”Tidak, aku memberi jalan kepada orang-orang yang melintas di sana Lagi pula ya Syaikh, tanah ini berada di depan tanahku.
Maka aku bisa melakukan apa saja yang aku mau tanpa terintervensi sedikit oleh orang lain,”jawab Abu Jum'ah.”Dan mana orang-orang akan melintas ?”tanya Syaikh kepadanya.”Mereka dapat melintas dari jalur manapun,”jawabnya”Jangan ya Abu Jum'ah. Ini tidak benar. Sebab, jalan ini diberikan negara untuk dilalui oleh orang-orang dan melangsungkan kepentingannya. Jika tidak begitu, bagaimana mungkin pemilik tanah masuk ke bagian dalam tanahnya jika tidak ada jalan ini,”kata Syaikh.”Aku telah katakan padamu bahwa kami memberikan jalan untuk mereka melintas,”kata Abu Jum'ah.
Syaikh berkata,”Semoga Allah memberkatimu, izinkan aku berkata padamu bahwa barang siapa yang memotong jalan kaum muslim dan memasukkan jalan itu ke dalam tanahnya, maka dia telah makan dan memberi makan keluarganya dengan sesuatu yang haram. Sebab, perbuatan itu adalah haram. Bahkan termasuk dosa besar yang tidak diperbolehkan. Pada hari kiamat nanti, Allah akan mengalungkan kepadanya apa yang dia potong dari jalan kaum muslimin.”
Abu Sa'id bin Zaid berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda: Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka sesungguhnya Allah akan mengalungkan tujuh ( lapis ) bumi kepadanya. Ibnu Umar berkata, Rasulullah bersabda: Barang siapa yang mengambil satu dari tanah dengan tanpa haknya, maka karenanya dia tenggelamkan pada hari kiamat ke dalam tujuh ( lapis ) bumi. Aisyah berkata,”Rasulullah bersabda: Barang siapa yang menzalimi sejengkal tanah, maka Allah akan mengalungkan tujuh ( lapis ) bumi kepadanya.
Sebab, ini adalah merampas tanah yang bukan hakmu dan kamu tidak boleh mengambilnya. Dengarlah apa yang dikatakan oleh para ulama tentang hal itu !”
“Apa yang mereka katakan dalam permasalahan yang berbahaya dan merebak di kalangan para petani ya Syaikh ?”tanya Ammar, memotong. Syaikh menjawab,”Apabila rasa takut kepada Allah telah tiada, maka kekuatan dan cara menjadi bencana bagi orangnya. Dia akan mempergunakan kekuatan dan caranya untuk berlaku zalim seperti meletakkan kekuasaan dan mengeksploitasi harta orang lain.
Termasuk dalam hal itu adalah merampas tanah. Sementara mengenai sanksi atas perbuatan itu sangat luar biasa. Dari Abu Ya'la bin Marah-semoga Allah meridhainya-secara marfu’: Lelaki manapun yang menzalimi sejengkal tanah maka Allah akan menuntutnya untuk menggali tanah itu hingga mencapai akhir tujuh ( lapis ) bumi. Kemudian, Allah akan mengalungkan ( tanah itu ) kepadanya pada hari kiamat sampai diputuskan di antara manusia. ( HR. Ath-Thabrani ).
Termasuk dalam hal itu adalah mengubah tanda-tanda tanah, yakni batas-batasnya di antara para petani. Lalu, petani itu memperluas tanah nya dari tanah tetangganya atau tanah jalan kaum muslimin. Mengubah batas tanah dan memperluas tanah yang boleh jadi diambil dari tanah tetangga atau jalan merupakan yang disoroti dalam sabda Rasulullah: Allah melaknat orang yang mengubah tanda-tanda tanah.” (HR. Muslim)
”Wahai Syaikh, aku telah katakan padamu bahwa tanah itu sempit,”kata Abu Jum'ah. Syaikh berkata,”Apabila tanahmu sempit, lalu apakah kamu akan memperluasnya dengan keharaman ya Abu Jum'ah ? Orang yang melakukan itu akan dituntut untuk memindahkan apa yang dizaliminya pada hari kiamat ke tujuh lapis bumi.
Sehingga, apa yang dizaliminya menjadi seperti kalung dilehernya. Lihatlah, semoga Allah memberi petunjuk kepadamu, bagaimana mungkin kamu bisa berdiri dengan beban yang sebesar gunung-gunung yang kokoh itu ? Ini merupakan makanan haram yang dikonsumsi oleh orang itu, kita berlindung kepada Allah dari hal itu.
Perbuatan itu pun menjadi penyebab laknat kaum muslimin terhadapnya. Itu disebabkan dia telah mempersempit jalan mereka. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah wahai Abu Jum'ah. Kembalikanlah jalan itu seperti semula sejak sekarang sebelum kematian membinasakanmu. Sehingga anak-anakmu mendapat sampai ke tujuh lapis bumi.”
Yakni, ini haram ya Syaikh ?”tanya Abu Jum'ah, tak percaya. Syaikh menjawab,”Aku telah menerangkan padamu tentang dalil dall yang jelas. Lalu, lihatlah semoga Allah memberkatimu- dengan mata hatimu tentang esensi permasalahan ini. Berapa banyak pendapatan yang akan masuk kepadamu dengan memasukkan jalan kaum muslim yang kamu rampas itu ?”“Sedikit sekali,”jawab Abu Jum'ah.
Syaikh berkata,”Semoga Allah mengampuni dan memberikan petunjuk kepadamu. Apakah demi pemasukan yang sedikit ini kamu menimpakan polusi keharaman kepada tanaman dan semua pemasukanmu ? Ini sungguh sangat mengherankan. Dengarlah salah seorang teman petanimu yang mendapat musibah karena merampas jalan dan memasukkannya ke dalam tanahnya. Itu dia lakukan demi memperluas tanahnya.
Perkataan ini dikatakan setelah dia bertaubat kepada Allah dan mengembalikan hak tersebut. Petani itu memberitahukan tentang sesuatu yang aneh, yang terjadi padanya pada sebidang tanah yang ia rampas. Dia berkata, Aku mengambil jalan orang-orang yang lebarnya mencapai lima meter dari panjang tanahku dan memasukkannya ke tanahku. Aku kemudian membajak tanah itu, membersihkan ilalang pengrusak yang ada di sana, dan menebar benih sekaligus menyirami benih tersebut. Aku bersungguh-sungguh dalam mengelolanya seperti mengelola sisa tanahku yang lain. Setelah itu, tumbuhlah seluruh tanaman yang ada di tanah milikku yang sesungguhnya secara sempurna dan tanpa ada satu benih pun yang terlambat tumbuh.
Namun di area hasil merampas itu, tak ada sebatang benih pun yang tumbuh. Seperti telah diukur dengan penggaris, tanah hasil rampasan itu menjadi kosong tanpa ada benih yang tumbuh. Aku berkata dalam hati: mungkin itu terjadi karena kami buruk dalam mempersiapkannya, padahal aku mengelola tanah itu seperti yang aku lakukan terhadap tanahku yang lain. Tatkala musim tanam yang berikutnya tiba, aku memberikan perhatian ke tanah tersebut lebih banyak daripada tanah yang lain, baik dari segi pembersihan, pembajakan, pengairan, pembenihan ataupun pemeliharaannya.
Namun semua itu sirna terbawa angin. Demi Allah, tak ada satu benih pun yang tumbuh di area itu. Setelah seluruh tanaman tumbuh, seluruh tanah menjadi hijau kecuali area hasil merampas itu.
Kamu bisa melihatnya seolah tanah itu terbakar di bagian atasnya. Sehingga, ia menjadi hitam tanpa ada tumbuhan yang tumbuh. Peristiwa ini terjadi selama lima tahun berturut-turut. Ketika itulah aku tahu bahwa Allah telah menguji hatiku, mengingatkan, memaafkan, dan memberikan kabar buruk terhadapku. Maka, aku pun bertaubat kepada Allah dan mengembalikan area tersebut menjadi jalan kaum muslimin.
Alhamdulillah, sekarang aku baik-baik saja.”Abu Jum'ah berkata,”Kami bersaksi kepada-Mu ya Allah untuk bertaubat sejak sekarang. Besok, insya Allah aku akan menyewa para pekerja untuk mulai mengembalikan hak tersebut kepada bagiannya.
Semoga Allah membalasmu dengan balasan yang terbaik, ya Syaikh, atas peringatan yang indah dan nasihat yang lembut ini. Segala puji bagi Allah yang telah mengirimmu kepadaku sebelum aku wafat, untuk mengingatkanku kepada Allah.”Syaikh berkata,”Semoga Allah memberkatimu dan memberkati tanah, keluarga, dan hartamu. Ayo, silakan minum teh dulu bersama kami !”Sampai di situ kemudian terdengar suara azan Zhuhur,”Allah Akbar, Allahu Akbar”Mereka semua kemudian berdiri untuk menunaikan salat Zhuhur dan kembali lagi ke tempat itu setelah menunaikannya.
Tulisan ini adalah kutipan Dari Buku Tahzdir Al-Kiram Min Mi'ah Bab Min Abwabil Haram yang ditulis oleh Ibrahim bin Fathi bin Abdul Al-Muqtadir