Hukum Mengganti Suku Cadang Yang Asli Dengan Yang Imitasi
Dari tukang cukur itu, Syaikh bersama muridnya keluar berkeliling. Di tengah perjalanannya, mereka berdua mampir di Syirkah Ad-Dabus ( toko kunci ) yang menjual, menukar, dan memperbaiki berbagai alat alat listrik karena pabrik ini kepunyaan salah satu kenalan Syaikh. Syaikh bertanya kepada Ammar,”Hai Ammar, bagaimana pendapatmu kalau kita mampir ke toko kunci, karena saya ingin membeli alat perekam ( tape ) dari mereka ?”Ammar pun menjawab,”Tidak apa-apa, ya Syaikh.”
Baca juga: Bahaya Menyambung Rambut
Mereka berdua pun masuk ke toko itu dan pemilik toko itu menyambut mereka dengan sambutan hangat. Dia menyuguhi mereka berdua dengan minuman dingin dan menyambutnya dengan gembira sekali, lalu mempersilakan keduanya untuk duduk. Faishal berkata,”Selamat datang, wahai Syaikh Shalih, kami sudah rindu sekali ingin bertemu denganmu.”Syaikh pun berkata,”Selamat bertemu kembali. Kami juga begitu. Kami datang ke sini untuk membeli tape dari kalian.”“Toko ini menuruti semua perintah Syaikh kita ini. Semoga Allah menjaganya,”kata Faishal. menimpali.”Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan,”kata Syaikh
Mencuri Atau Mengganti Suku Cadang Yang Asli Dengan Yang Imitasi
Sampai di sini, ustadz Hossam yang mempunyai tape bekas yang telah dibawanya ke perusahaan tersebut beberapa hari lalu untuk direparasi, masuk. Hossam berkata,”As-Salamu'alaikum.”Semua orang di situ menjawab,”Wa'alaikum salam.”
Mereka berdua pun masuk ke toko itu dan pemilik toko itu menyambut mereka dengan sambutan hangat. Dia menyuguhi mereka berdua dengan minuman dingin dan menyambutnya dengan gembira sekali, lalu mempersilakan keduanya untuk duduk. Faishal berkata,”Selamat datang, wahai Syaikh Shalih, kami sudah rindu sekali ingin bertemu denganmu.”Syaikh pun berkata,”Selamat bertemu kembali. Kami juga begitu. Kami datang ke sini untuk membeli tape dari kalian.”“Toko ini menuruti semua perintah Syaikh kita ini. Semoga Allah menjaganya,”kata Faishal. menimpali.”Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan,”kata Syaikh
Mencuri Atau Mengganti Suku Cadang Yang Asli Dengan Yang Imitasi
Sampai di sini, ustadz Hossam yang mempunyai tape bekas yang telah dibawanya ke perusahaan tersebut beberapa hari lalu untuk direparasi, masuk. Hossam berkata,”As-Salamu'alaikum.”Semua orang di situ menjawab,”Wa'alaikum salam.”
Baca juga: Bahaya Tato
“Bagaimana kabar kalian semua, semoga kalian semua baik-baik saja.”tanya Hossam. Faishal menjawab,”Kami memuji kepada Allah yang dengan nikmatnya semuanya menjadi baik.”
“Apakah kalian sudah selesai membetulkan tape kami yang telah kami serahkan kepadamu beberapa hari lalu ?”tanya Hossam. Shalah menjawab,”Kami mungkin bisa menyelesaikannya. Akan tetapi, tape Anda membutuhkan mesin penggerak ( dinamo ) dan perubahan. Adapun hal-hal lainnya telah kami betulkan semuanya dengan sempurna.”Lalu kenapa kalian tidak memasangkan suku cadang itu ke dalam tape saya, apalagi suku cadang itu tersedia di toko kalian ?”tanya Hossam.
Shalah menjawab,”Sebab, suku cadang ini ada suku cadang yang asli dan suku cadang yang baru juga. Tetapi ini pun diperdagangkan.”“Apa maksudnya diperdagangkan ?”tanya Hossam.”Maksudnya yaitu tergantung keadaanmu”kata Shalah. Hossam berkata,”Saya masih saja belum paham apa maksud kamu.”Shalah pun menjelaskan,”Maksudnya adalah bahwa suku cadang yang tidak asli ketahanannya ( umurnya ) hanya sebentar saja, tidak awet, dan tidak baik digunakan lebih dari tiga bulan, misalnya. Setelah tiga bulan, barang itu rusak kembali. Dan karena ketidaktahuan pelanggan tentang hal ini, dia menerima saja.
“Bagaimana kabar kalian semua, semoga kalian semua baik-baik saja.”tanya Hossam. Faishal menjawab,”Kami memuji kepada Allah yang dengan nikmatnya semuanya menjadi baik.”
“Apakah kalian sudah selesai membetulkan tape kami yang telah kami serahkan kepadamu beberapa hari lalu ?”tanya Hossam. Shalah menjawab,”Kami mungkin bisa menyelesaikannya. Akan tetapi, tape Anda membutuhkan mesin penggerak ( dinamo ) dan perubahan. Adapun hal-hal lainnya telah kami betulkan semuanya dengan sempurna.”Lalu kenapa kalian tidak memasangkan suku cadang itu ke dalam tape saya, apalagi suku cadang itu tersedia di toko kalian ?”tanya Hossam.
Shalah menjawab,”Sebab, suku cadang ini ada suku cadang yang asli dan suku cadang yang baru juga. Tetapi ini pun diperdagangkan.”“Apa maksudnya diperdagangkan ?”tanya Hossam.”Maksudnya yaitu tergantung keadaanmu”kata Shalah. Hossam berkata,”Saya masih saja belum paham apa maksud kamu.”Shalah pun menjelaskan,”Maksudnya adalah bahwa suku cadang yang tidak asli ketahanannya ( umurnya ) hanya sebentar saja, tidak awet, dan tidak baik digunakan lebih dari tiga bulan, misalnya. Setelah tiga bulan, barang itu rusak kembali. Dan karena ketidaktahuan pelanggan tentang hal ini, dia menerima saja.
Baca juga: Penyelewengan di salon Kecantikan
Barang-barang seperti ini dipakai oleh sebagian orang yang melakukan reparasi, yang tidak mempunyai akhlak. Dia tidak menerangkan kepada pelanggan hal yang sebenarnya. Dia memasangkan suku cadang tiruan atau suku cadang lama dengan tarif harga yang sama dengan suku cadang asli yang baru. Kemudian setelah dibetulkan-peralatan itu ditutup kembali dan diserahkan kepada yang punya. Padahal yang punya tidak mengetahui keadaan di dalam peralatannya itu.”
“Saya sudah memasangkan suku cadang asli yang harganya mahal untuk tape kamu ini dan ongkos perbaikannya-misalnya adalah lima puluh pound. Setelah kamu membayar ongkosnya dan mengambil peralatan kamu ini, kamu mungkin akan bertanya tentang harga perbaikan kerusakan seperti ini di tempat lain.
Di tempat lain, mereka bisa saja akan mengatakan kepadamu kalau harganya hanya dua puluh pound saja karena mereka memasang suku cadang yang palsu dan kamu tidak tahu akan hal itu. Dengan demikian, pandanganmu terhadap kami akan jelek dan kamu juga akan berprasangka jelek terhadap kami karena menganggap kami terlalu mahal. Dan tentu saja hal seperti ini tidak akan kami terima, sebab hal ini adalah tipuan.
Ada teman kami sekarang, yang bekerja pada bagian perawatan melakukan hal seperti ini ( melakukan penggantian suku cadang asli dengan yang tiruan mengatakan kalau itu asli ). Kami sudah melarangnya, akan tetapi dia tetap saja tidak menerima omongan kami dan masih saja terus melakukan perbuatan tersebut di tempat kerjanya yang kecil, yang terletak di bawah rumah ”Bagaimana pendapat Syaikh -semoga Allah menjaganya- jika Syaikh mau membicarakan masalah ini dengannya ?”tanya Faishal.
Syaikh menjawab,”Tidak apa-apa. Akan tetapi mana orangnya ?”“Tunggu sebentar, saya akan membawa orangnya kepadamu,”kata Shalah. Maka datanglah Ustadz Muntashir, orang yang mempunyai masalah dalam hal ini. Muntashir datang dan mengucapkan salam,”As-Salamu'alaikum.”kitub.”Syaikh pun menjawab,”Wa'alaikum salám warahmatullahi wabara Muntashir berkata,”Saya kemari sekarang dan Syaikh ada di sini.”“Kenapa ?”tanya Faishal. Muntashir menjawab,”Berkaitan dengan masalah khusus yang telah kita bicarakan sebelumnya.”“Apakah itu ?”tanya Shalah. Muntashir menjawab,”Masalah barang suku cadang bukan.”Faishal berkata,”Benar, dan apa pendapatmu Muntashir. Apa kamu masih saja tidak menerima omongan kami tentang haramnya barang aruan itu ?”tanya Faishal.
Muntashir malah mengajukan pertanyaan,”Bagaimana saya menerima omongan kalian kalau itu adalah haram. Padahal yang diinginkan pelanggan adalah yang penting peralatannya diperbaiki dan bisa dipakai kembali saja tanpa harus melihat suku cadang apa yang dipakai ?”Syaikh berkata,”Semoga Allah menjagamu, yang penting bukan hanya perbaikan itu saja, akan tetapi harus terjadi kesepakatan antara orang yang mereparasi dan pelanggan tentang suku cadang itu. Apakah harus yang baru atau yang lama dan apakah harus yang asli atau tiruan. Hal ini harus dijelaskan supaya tidak terjadi penipuan dan kebohongan.”
Muntashir berkata,”Ya Syaikh, ini adalah rezeki yang datang kepada saya lewat jalan ini. Dan menurut saya adalah yang penting peralatan tersebut diperbaiki dan bisa berfungsi kembali saja. Sebab, yang diingin kan pemiliknya hanyalah itu.”
“Tentu saja tidak hanya itu. Ucapan ini-semoga Allah menjaga mu- bertentangan dengan aturan syara' karena beberapa hal,”kata Syaikh.”Apakah itu ?”tanya Muntashir. Syaikh menjawab,”Pertama adalah jika masalah ini dilihat dari perspektif jual beli. Dalam perspektif ini, maka penjual harus menerangkan kepada pembeli tentang macam barangnya, mutunya, sifatnya, dan modelnya dengan keterangan yang cukup lengkap. Sebab, nantinya akan terjadi kesepakatan tentang barang itu. Dan di antara syarat-syarat jual beli adalah mengetahui tentang barang tersebut dengan pengetahuan yang lengkap hingga tidak terjadi penipuan antara kedua orang yang bertransaksi itu, yang bisa berujung pada perselisihan dan permusuhan. Jika kalian berdua sepakat tentang barang tersebut, lalu kamu mema sangkan barang yang lain, maka ini adalah penipuan dan perbuatan tersebut hukumnya haram. Jika pemilik peralatan tersebut mengetahui hal ini, dia berhak mengembalikan barang yang telah dibelinya itu. Sebab kamu telah menyalahi perjanjian dengannya dalam masalah sifat barang tersebut.
Kedua adalah perbuatan ini adalah penipuan. Sebab pemilik barang telah sepakat denganmu tentang macam suku cadang seperti apa yang akan dipasangkan pada peralatannya. Jika kalian berdua sudah sepakat, lalu kemudian kamu memasangkan suku cadang lain yang kemampuannya di bawah suku cadang yang telah disepakati, maka perbuatanmu ini telah menyalahi nash-nash syara' yang dibawa oleh Rasulullah yang ma'shum.”“Apakah mash-nash itu ?”tanya Muntashir. Syaikh menjawab,”Rasulullah bersabda:
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual suatu barang yang mengandung cacat kepada saudaranya kecuali dia harus menerangkan ( cacat barang itu ).” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Hakim)
Ketika Rasulullah melewati seorang penjual di pasar yang menjual makanan, beliau memasukkan tangannya ke dalam makanan tersebut dan beliau menemukan kalau makanan itu basah, maka Rasulullah a bertanya:
“Wahai pemilik makanan, apakah ini ? Pemilik makanan itu menjawab,”Terkena air hujan, wahai Rasulullah.”Rasulullah bersabda: Kalau begitu, letakkanlah di bagian atas supaya orang dapat melihatnya. Barang apa yang menipu kami, maka dia bukan dari golongan kami. (HR. Muslim)
Apakah masuk akal bila penjual itu berkata kepada Rasulullah:”Pelanggan tidak ikut campur tangan dalam hal itu. Yang dia inginkan hanya makanan saja. Basah atau tidak basah, dia tidak peduli !”“Tentu saja tidak,”kata Muntashir. Syaikh melanjutkan, Rasulullah telah bersabda:
Rasulullah melarang dirimu untuk mengambil tongkat saudaramu kecuali dengan cara yang baik. Ini berarti Rasulullah melarang dirimu menipu saudaramu dalam hal suku cadang yang dapat menjadi sebab rusaknya peralatan saudaramu beberapa saat kemudian secara langsung.
Sebab, bisa jadi bukan hanya suku cadang yang telah dipasang saja akan hancur. Jadi, bagaimana mungkin kamu menghalalkan dirimu sendiri melakukan hal seperti itu, padahal ada nash-nash yang secara tegas melarang perbuatan tersebut dan bagaimana kamu membolehkan dirimu mengambil harta saudaramu dengan cara menipunya ?”
”Kemudian, ketahuilah bahwa kamu harus memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang kamu senangi ketika mereka memperlakukan dirimu. Bayangkanlah dirimu berada di posisi pemilik peralatan tersebut. Apakah kamu senang jika kamu diperlakukan dengan perlakuan yang diharamkan seperti itu ?”tanya Syaikh.”Tentu saja tidak,”kata Muntashir.
Syaikh berkata,”Jadi, bagaimana kamu menghalalkan dirimu untuk memperlakukan dia dengan suatu perlakuan yang kamu benci jika dia memperlakukan seperti itu kepadamu. Ini sangat mengherankan.”“Demi Allah, lihatlah bagaimana saudaramu itu menganggap dirimu dapat dipercaya sehingga dia meninggalkan peralatannya itu kepadamu untuk diperbaiki, namun ternyata kamu menipunya dengan tanpa rasa malu dan takut kepada Allah. Bertakwalah kepada Allah.”
“Jadi, apa pendapatmu dalam hal ini, ya Syaikh ?”tanya Muntashir. Syaikh menjawab,”Saya telah menerangkan kepadamu dalil-dalil yang secara tegas mengharamkan perbuatan jelek seperti itu.”Muntashir berkata,”Saya bertaubat kepada Allah. Saya tidak akan lagi melakukan perbuatan itu setelah hari ini, selama hal itu haram.”Syaikh menyambutnya dengan berkata,”Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan memberikan petunjuk kepada kita dan kamu kepada jalan yang lurus.”Faishal berkata,”Ya Syaikh, Allah telah menunjukkan kepadamu jalan yang benar untuk mengatakan hal tersebut kepadanya. Sebelumnya kami juga sudah melakukan itu, akan tetapi kami tidak mampu menyadarkan saudara Muntashir. Segala puji bagi Allah atas hidayah Nya.”
Syaikh berkata,”Ya Faishal, dalam diri manusia ada sifat kebaikan. Jika mereka diingatkan, mereka akan ingat. Akan tetapi, mereka membutuhkan orang-orang yang dapat menerangkan masalah agama dengan keterangan yang baik dan penuh keramahan.”“Engkau benar Syaikh. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan,”kata Faishal.”Begitu juga kepadamu,”kata Syaikh menimpali.
Tulisan ini adalah kutipan Dari Buku Tahzdir Al-Kiram Min Mi'ah Bab Min Abwabil Haram (Terj. Uang Haram) yang ditulis oleh Ibrahim bin Fathi bin Abdul Al-Muqtadir
Barang-barang seperti ini dipakai oleh sebagian orang yang melakukan reparasi, yang tidak mempunyai akhlak. Dia tidak menerangkan kepada pelanggan hal yang sebenarnya. Dia memasangkan suku cadang tiruan atau suku cadang lama dengan tarif harga yang sama dengan suku cadang asli yang baru. Kemudian setelah dibetulkan-peralatan itu ditutup kembali dan diserahkan kepada yang punya. Padahal yang punya tidak mengetahui keadaan di dalam peralatannya itu.”
“Saya sudah memasangkan suku cadang asli yang harganya mahal untuk tape kamu ini dan ongkos perbaikannya-misalnya adalah lima puluh pound. Setelah kamu membayar ongkosnya dan mengambil peralatan kamu ini, kamu mungkin akan bertanya tentang harga perbaikan kerusakan seperti ini di tempat lain.
Di tempat lain, mereka bisa saja akan mengatakan kepadamu kalau harganya hanya dua puluh pound saja karena mereka memasang suku cadang yang palsu dan kamu tidak tahu akan hal itu. Dengan demikian, pandanganmu terhadap kami akan jelek dan kamu juga akan berprasangka jelek terhadap kami karena menganggap kami terlalu mahal. Dan tentu saja hal seperti ini tidak akan kami terima, sebab hal ini adalah tipuan.
Ada teman kami sekarang, yang bekerja pada bagian perawatan melakukan hal seperti ini ( melakukan penggantian suku cadang asli dengan yang tiruan mengatakan kalau itu asli ). Kami sudah melarangnya, akan tetapi dia tetap saja tidak menerima omongan kami dan masih saja terus melakukan perbuatan tersebut di tempat kerjanya yang kecil, yang terletak di bawah rumah ”Bagaimana pendapat Syaikh -semoga Allah menjaganya- jika Syaikh mau membicarakan masalah ini dengannya ?”tanya Faishal.
Syaikh menjawab,”Tidak apa-apa. Akan tetapi mana orangnya ?”“Tunggu sebentar, saya akan membawa orangnya kepadamu,”kata Shalah. Maka datanglah Ustadz Muntashir, orang yang mempunyai masalah dalam hal ini. Muntashir datang dan mengucapkan salam,”As-Salamu'alaikum.”kitub.”Syaikh pun menjawab,”Wa'alaikum salám warahmatullahi wabara Muntashir berkata,”Saya kemari sekarang dan Syaikh ada di sini.”“Kenapa ?”tanya Faishal. Muntashir menjawab,”Berkaitan dengan masalah khusus yang telah kita bicarakan sebelumnya.”“Apakah itu ?”tanya Shalah. Muntashir menjawab,”Masalah barang suku cadang bukan.”Faishal berkata,”Benar, dan apa pendapatmu Muntashir. Apa kamu masih saja tidak menerima omongan kami tentang haramnya barang aruan itu ?”tanya Faishal.
Muntashir malah mengajukan pertanyaan,”Bagaimana saya menerima omongan kalian kalau itu adalah haram. Padahal yang diinginkan pelanggan adalah yang penting peralatannya diperbaiki dan bisa dipakai kembali saja tanpa harus melihat suku cadang apa yang dipakai ?”Syaikh berkata,”Semoga Allah menjagamu, yang penting bukan hanya perbaikan itu saja, akan tetapi harus terjadi kesepakatan antara orang yang mereparasi dan pelanggan tentang suku cadang itu. Apakah harus yang baru atau yang lama dan apakah harus yang asli atau tiruan. Hal ini harus dijelaskan supaya tidak terjadi penipuan dan kebohongan.”
Muntashir berkata,”Ya Syaikh, ini adalah rezeki yang datang kepada saya lewat jalan ini. Dan menurut saya adalah yang penting peralatan tersebut diperbaiki dan bisa berfungsi kembali saja. Sebab, yang diingin kan pemiliknya hanyalah itu.”
“Tentu saja tidak hanya itu. Ucapan ini-semoga Allah menjaga mu- bertentangan dengan aturan syara' karena beberapa hal,”kata Syaikh.”Apakah itu ?”tanya Muntashir. Syaikh menjawab,”Pertama adalah jika masalah ini dilihat dari perspektif jual beli. Dalam perspektif ini, maka penjual harus menerangkan kepada pembeli tentang macam barangnya, mutunya, sifatnya, dan modelnya dengan keterangan yang cukup lengkap. Sebab, nantinya akan terjadi kesepakatan tentang barang itu. Dan di antara syarat-syarat jual beli adalah mengetahui tentang barang tersebut dengan pengetahuan yang lengkap hingga tidak terjadi penipuan antara kedua orang yang bertransaksi itu, yang bisa berujung pada perselisihan dan permusuhan. Jika kalian berdua sepakat tentang barang tersebut, lalu kamu mema sangkan barang yang lain, maka ini adalah penipuan dan perbuatan tersebut hukumnya haram. Jika pemilik peralatan tersebut mengetahui hal ini, dia berhak mengembalikan barang yang telah dibelinya itu. Sebab kamu telah menyalahi perjanjian dengannya dalam masalah sifat barang tersebut.
Kedua adalah perbuatan ini adalah penipuan. Sebab pemilik barang telah sepakat denganmu tentang macam suku cadang seperti apa yang akan dipasangkan pada peralatannya. Jika kalian berdua sudah sepakat, lalu kemudian kamu memasangkan suku cadang lain yang kemampuannya di bawah suku cadang yang telah disepakati, maka perbuatanmu ini telah menyalahi nash-nash syara' yang dibawa oleh Rasulullah yang ma'shum.”“Apakah mash-nash itu ?”tanya Muntashir. Syaikh menjawab,”Rasulullah bersabda:
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual suatu barang yang mengandung cacat kepada saudaranya kecuali dia harus menerangkan ( cacat barang itu ).” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Hakim)
Ketika Rasulullah melewati seorang penjual di pasar yang menjual makanan, beliau memasukkan tangannya ke dalam makanan tersebut dan beliau menemukan kalau makanan itu basah, maka Rasulullah a bertanya:
“Wahai pemilik makanan, apakah ini ? Pemilik makanan itu menjawab,”Terkena air hujan, wahai Rasulullah.”Rasulullah bersabda: Kalau begitu, letakkanlah di bagian atas supaya orang dapat melihatnya. Barang apa yang menipu kami, maka dia bukan dari golongan kami. (HR. Muslim)
Apakah masuk akal bila penjual itu berkata kepada Rasulullah:”Pelanggan tidak ikut campur tangan dalam hal itu. Yang dia inginkan hanya makanan saja. Basah atau tidak basah, dia tidak peduli !”“Tentu saja tidak,”kata Muntashir. Syaikh melanjutkan, Rasulullah telah bersabda:
لا يحل لمسلم أن بأخذ عصا أخيه إلا عن طيب نفس منه
Tidak halal bagi orang muslim mengambil tongkat saudaranya kecuali jika dengan cara yang baik. (HR. Abu daud)Rasulullah melarang dirimu untuk mengambil tongkat saudaramu kecuali dengan cara yang baik. Ini berarti Rasulullah melarang dirimu menipu saudaramu dalam hal suku cadang yang dapat menjadi sebab rusaknya peralatan saudaramu beberapa saat kemudian secara langsung.
Sebab, bisa jadi bukan hanya suku cadang yang telah dipasang saja akan hancur. Jadi, bagaimana mungkin kamu menghalalkan dirimu sendiri melakukan hal seperti itu, padahal ada nash-nash yang secara tegas melarang perbuatan tersebut dan bagaimana kamu membolehkan dirimu mengambil harta saudaramu dengan cara menipunya ?”
”Kemudian, ketahuilah bahwa kamu harus memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang kamu senangi ketika mereka memperlakukan dirimu. Bayangkanlah dirimu berada di posisi pemilik peralatan tersebut. Apakah kamu senang jika kamu diperlakukan dengan perlakuan yang diharamkan seperti itu ?”tanya Syaikh.”Tentu saja tidak,”kata Muntashir.
Syaikh berkata,”Jadi, bagaimana kamu menghalalkan dirimu untuk memperlakukan dia dengan suatu perlakuan yang kamu benci jika dia memperlakukan seperti itu kepadamu. Ini sangat mengherankan.”“Demi Allah, lihatlah bagaimana saudaramu itu menganggap dirimu dapat dipercaya sehingga dia meninggalkan peralatannya itu kepadamu untuk diperbaiki, namun ternyata kamu menipunya dengan tanpa rasa malu dan takut kepada Allah. Bertakwalah kepada Allah.”
“Jadi, apa pendapatmu dalam hal ini, ya Syaikh ?”tanya Muntashir. Syaikh menjawab,”Saya telah menerangkan kepadamu dalil-dalil yang secara tegas mengharamkan perbuatan jelek seperti itu.”Muntashir berkata,”Saya bertaubat kepada Allah. Saya tidak akan lagi melakukan perbuatan itu setelah hari ini, selama hal itu haram.”Syaikh menyambutnya dengan berkata,”Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan memberikan petunjuk kepada kita dan kamu kepada jalan yang lurus.”Faishal berkata,”Ya Syaikh, Allah telah menunjukkan kepadamu jalan yang benar untuk mengatakan hal tersebut kepadanya. Sebelumnya kami juga sudah melakukan itu, akan tetapi kami tidak mampu menyadarkan saudara Muntashir. Segala puji bagi Allah atas hidayah Nya.”
Syaikh berkata,”Ya Faishal, dalam diri manusia ada sifat kebaikan. Jika mereka diingatkan, mereka akan ingat. Akan tetapi, mereka membutuhkan orang-orang yang dapat menerangkan masalah agama dengan keterangan yang baik dan penuh keramahan.”“Engkau benar Syaikh. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan,”kata Faishal.”Begitu juga kepadamu,”kata Syaikh menimpali.
Tulisan ini adalah kutipan Dari Buku Tahzdir Al-Kiram Min Mi'ah Bab Min Abwabil Haram (Terj. Uang Haram) yang ditulis oleh Ibrahim bin Fathi bin Abdul Al-Muqtadir