Metode Tafsir Tahlili
Mengingat Al-Quran bagaikan lautan yang keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis dan kecintaan kepadanya tidak pernah lapuk oleh zaman, adalah sesuatu yang dapat dipahami jika terdapat ragam metode untuk menafsirkannya. Kitab-kitab tafsir yang ada sekarang merupakan indikasi kuat yang memperlihatkan perhatian para ulama untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan Al-Quran dan menerjemahkan missi-missinya.
Baca juga: Kaedah Penafsiran Al-Qur'an
Studi atas hasil karya penafsiran para ulama sekarang ini, secara umum, menunjukkan bahwa mereka menggunakan metode-metode penafsiran berikut ini :
- metode tahlili,
- metode ijmali (global),
- metode muqaran (komparasi),
- metode maudhu'i (tematik).
Baca juga: Sejarah Perkembangan Ilmu Qiraah
Atas seizin Allah, kami akan menjelaskan keempat metode ini lebih terperinci lagi, terutama metode keempat mengingat pentingnya metode ini untuk diketahui oleh siapa saja yang hendak menafsirkan Al-Quran.
A. METODE TAHLILI
Metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat) sampai sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al-munasabat) dengan bantuan asbab an-nuzul riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi SAW, sahabat, dan tabi'in.
Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi sampai tabi'in ; terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami Al-Quran yang mulia.
Para mufassir tidak seragam dalam mengoperasionalkan metode ini. Ada yang menguraikannya secara ringkas, ada pula yang menguraikannya secara terperinci. Macam-macam tatsir di bawah ini menunjukkan keragaman itu:
- tafsir bi Al-Ma'tasur
- tafsir bi Al-Ra'yi
- tafsir Ash-Shufi
- tafsir Al-Fiqhi
- tafsir Al-Falsafi
- tafsir Al-Ilmi
- tafsir Al-Adabi Al-Ijtima.
1. Tafsir bi Al-Ma'tsur
Tafsir bi Al-Ma'tsur adalah penjelasan Al-Quran sendiri dari Rasulullah SAW yang disampaikan kepada para sahabat, dan para sahabat berdasarkan ijtihadnya, dan dari para tabi'in juga berdasarkan ijtihadnya. Tafsir ini Al-Ma'tsur melalui dua fase:
Pertama, fase periwayaran dengan lisan (syafahiyyah). Pada fase ini, para sahabat menuqil riwayat penafsiran dari Nahi da menyampaikannya kepada sahabat lainnya. Para tabi'in menukil riwayat dari para sahabat dengan metode penukilan berupa sanad yang teliti dan saksama. Fase ini berakhir dengan datangnya fase kedua.
Kedua, fase pengodifikasian. Pada fase ini, riwayat-riwayat penafsiran yang disebarkan pada fase pertama mulai dibukukan. Pada mulanya riwayat-riwayat penafsiran ini merupakan salah satu bab dari bab-bab kitab hadis yang kemudian-sebagaimana telah dijelaskan sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu. Sejak itu ditulislah kitab-kitab tafsir yang memuat tafsir bi Al-Matsur. Disertakan bersama tafsir tersebut sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW., sahabat, tabi'in, atau tabi'in-tabi'in.
Di antara kitab-kitab tafsir bil al-Ma'tsur yang ada, Tafsir Ath-Thabanlah yang paling baik sebab menuturkan banyak pendapat penafsiran lalu menyeleksinnya. Kitab ini menyertakan pula-terutama jika diperlukan- i'rab dan hukum-hukum yang dapat diambil dari ayat-ayat Al-Quran. Setelah itu, datanglah sekelompok mufassir yang mengedifikasikan tafsir bi al-Ma'tsur tanpa menyertakan sanad sanadnya sehingga tidak jelas mana riwayat yang sahih dan mana yang ternoda.
Dampaknya, pembacanya merasa ragu sebab boleh jadi riwayat itu hanya dibuat-buat saja dan memang dalam kitab tafsir banyak ditemukan riwayat-riwayar palsu itu. Namun, alhamdulillah, penelaahan serius yang dilakukan para ulama dapat menyingkap kepalsuan riwayat-riwayat itu.
Di antara kitab tafsir yang menggunakan ”corak”(penj.) bil al-ma'tsur adalah:
- Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, karya Ath-Thabari (w 310 H.)
- Maalim At-Tanzil, karya Al-Baghawi (w. 516 H.)
- Tafsir Al-Quran Al-Azhim, karya Ibn Katsir (w. 774 H.)
- Ad-Durr Al-Mantsur fit Tafsir bi Al-Ma'tsur, karya As Suyuthi (w. 911 H.)
2. Tafsir bi Ar-Ra'yi
Tafsir bi ar-ra'si adalah menafsirkan Al-Quran dengan ijtihad setelah mufassir bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan mengetahu kosakata Arab beserta muatan artinya. Untuk menafsirkan Al-Quran dengan ijtihad, si mufassir pun dibantu oleh syair Jahiliyyah, ashab an-nuzul, nasikh-mansukh dan lainnya sebagaimana diutarakan pada penjelasan tentang syarat-syarat menjadi mufassir.
Di antara sebab yang memicu kemunculan corak tafsir bi ar-ra'yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran, dan pakar-pakar di hidangnya masing-masing. Akibatnya, karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya.
Di antara mereka, ada yang lebih menekankan pada telaah balaghah, seperti imam Az-Zamakhsyari, telaah hukum hukum syara, seperti Imam Al-Qurthubi, telaah keistimewaan bahasa, seperti Imam An-Nasafi, telaah mazhab-mazhab kalam dan filsafat, seperti Imam Ar-Razi, atau telaah lainnya.
Hal ini tampaknya dapat dipahami sebab di samping sebagai seorang mufassir, seseorang bisa saja juga ahli dalam bidang fiqih, bahasa, filsafat, astronomi, kedokteran, atau kalam. Tatkala ada ayat Al Quran yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang dikuasainya, mereka mengeluarkan semua pengetahuan tentangnya, sampai sampai terkadang mereka melupakan akan inti ayat bersangkutan.
Dari sana, muncullah madrasah-madrasah tafsir yang beragam sebagaimana yang kita lihat saat ini. Ada tafsir bi ar-ra'yi yang dapat diterima (maqbul) dan ada pula yang ditolak (mardud). Tafsir bi ur-ra'yi dapat diterima selama muffasirnya menghindari hal berikut ini:
- Memaksakan diri untuk mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
- Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas Allah semata).
- Menafsirkan Al-Quran dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
- Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham mazhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham mazhab tersebut.
- Menafsirkan Al-Quran dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian tanpa didukung dalil.
Karya tafsir bi ar-ra'yi yang dapat dipercaya, diantaranya :
- Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr Ar-Razi (w. 606 H.)
- Madarik At-Tanzil wa Haqaiq At-Ta'wil, karya An-Nasafi (w. 701 H.)
- Lubah At-Ta'ul fi Ma'ari At-turzil, karya Al-Khazin (w. 741 H)
3. Tafsir Sufistik
Sebagai dampak kemajuan ilmu dan peradaban Islam. muncullah ilmu tasawuf. Pada perkembangan selanjutnya, terdapat dua aliran dalam rasawuf yang sangat mewarnai diskursus penafsiran Al-Quran, yaitu aliran tasawuf teoretis dan aliran tasawuf praktis.
Aliran Tasawuf Teoretis
Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf, muncul ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji memahami, dan mendalami Al-Quran dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka menakwilkan ayat-ayat Al-Quran tanpa mengikuti cara-cara yang benar. Mereka pun memberikan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil-dalil syara serta terbukti kebenarannya dilihat dari sudut pandang bahasa.
Hanya sebagian kecil saja penafsiran yang dihasilkan oleh corak tafsir sufistik yang dapat diterima.” Adz-Dzahabi berkata, ”Kami belum mendengar seorang pun ulama tasawuf yang menyusun sebuah kitab tafsir khusus, yang di dalamnya dijelaskan ayat per ayat, seperti tafsir isyarat. Yang kami temukan hanyalah penafsiran-penafsiran Al-Quran secara parsial yang dinisbatkan kepada Ibn Arabi yaitu pada kitab Al-Futuhat Al-Makiyyah dan kitab Al Fushush, keduanya ditulis olch Ibnu Arabi.”
Aliran Tasawuf Praktis
Tasawuf praktis maksudnya adalah cara hidup berdasarkan atas hidup sederhana, zuhud, dan meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah.”Ulama aliran ini menamai karya tafsirnya dengan tafsir isyarat, yakni menakwilkan Al-Quran dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk.
Namun, terdapat kemungkinan untuk menggabungkan antara penafsiran tekstual dan penafsiran syarat itu. Corak penafsiran ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru karena telah dikenal sejak turunnya Al-Quran kepada Rasulullah SAW. Hal ini diisyaratkan oleh Al-Quran dan diberitahukan Nabi kepada para sahabat. Behau bersabda :
لكل اية ظهر وبطن ولكل حرف حد ولكل حد مطلع
Artinya :”Setiap ayat memiliki makna lahir dan hatin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya.”Para sahabat pun banyak mengungkap tafsir isyarat ini.”Dengan demikian, corak tafsir ini, sebagaimana tafsir bi al-ma'tsur, sudah ada sejak dahulu. Tafsir sufistik dapat diterima jika memenuhi syarat t:
- Tidak menafikan makna lahir (pengertian tekstual) Al-Quran
- Penafsirannya diperkuat oleh dalil syara yang lain
- Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara atau rasio.
- Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstualnya. Sebaliknya, ia harus mengakui pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
- Tafsir Al-Quran Al-Azhim, karya Imam At-Tutsuri (w. 283)
- Haqa'iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As. Sulami (w. 412 H.)
- Arais Al-Bayan fi Haqa'iq Al-Quran, karya Imam As-Syirazi (w. 606 H.)
Tafsir Fiqih
Bersamaan dengan lahirnya tafsir bi al-ma'tsur, lahirlah tafsir fiqih. Keduanya dinukil secara bersamaan tanpa dibeda-bedakan. Hal ini karena tatkala menemukan kemuskilan dalam memahami Al-Quran, para sahabat-sebagaimana telah dijelaskan- langsung bertanya kepada Nabi dan Nabi pun menjawabnya. Jawaban juga dikategorikan sebagai tafsir fiqih.
Setelah Nabi wafat. para sahabat berijtihad menggali sendiri hukum-hukum syara’ dari Al-Quran ketika mereka menghadapi permasalahan permasalahan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi. Ijtihad para sahabat juga dapat dikategorikan sebagai tafsir fiqih.
Demikian pula para tabi'in. Tafsir Fiqh berkembang seiring dengan majunya intensitas ijtihad. Pada awalnya, penafsiran-penafsiran fiqih lepas dari kontaminasi hawa nafsu dan motivasi-motivasi negatif. Hal itu berjalan sampai periode munculnya mazhab fiqih yang berbeda beda. Pada periode Imam mazhab yang empat dan lainnya. kaum muslimin dihadapkan pada kejadian-kejadian yang tidak pernah terjadi pada generasi sebelumnya sehingga belum ada keputusan hukum mengenainya.
Oleh karena itu, setiap imam mazhab berijtihad di bawah naungan Al-Quran, sunah, dan sumber-sumber penetapan hukum syari'at lainnya. Mereka lalu berhukum dengan hasil ijtihadnya yang telah dibangun dengan berbagai dalil. Setelah periode ini berlalu, muncullah para pengikut imam imam mazhab. Di antara mereka, ada orang-orang yang fanatik terhadap mazhab yang dianutnya. Ketika memahami Al-Quran, mereka menggiringnya agar sesuai dengan mazhab yang dianutnya. Namun, ada juga yang tidak fanatik dengan mazhab yang dianutnya. Mereka memahami Al-Quran dengan pemikiran yang bersih dari kecenderungan hawa nafsu. Mereka bahkan memahami dan menafsirkannya atas dasar makna-makna yang mereka yakini kebenarannya. Karena sikap fanatiklah, dari kalangan Ahlussunah lahir bermacam-macam tafsir fiqih yang cenderung menggiring ayat ayat Al-Quran pada mazhab fiqih mereka.
Dari kalangan Zhahuriyyah, lahir tafsir fiqih yang hanya bertumpu pada makna tekstual ayat. Dari kalangan Khawarij, muncul tafsir fiqih yang tipikal dengan mazhab mereka. Dari kalangan Syi'ah, muncul tafsir fiqih yang berbeda dengan musuh-musuh mereka.
Setiap mazhab dan golongan tersebut berupaya menakwilkan ayat-ayat Al-Quran sehingga dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran mazhabnya, dan berupaya menggiring ayat-ayat Al-Quran agar sejalan dengan paham teologi masing masing. Tafsir fiqih ini banyak kita temukan dalam kitab fiqih karangan imam-imam dari berbagai mazhab berbeda-beda. yang Kita temukan pula sebagian ulama yang mengarang kitab tafsir dengan latar belakang mazhab masing-masing, seperti telah kami kemukakan sebelumnya.
Di antara kitab-kitab tafsir Fiqih adalah :
- Ahkam Al-Quran, karya Al-Jashshash (w. 370 H.)
- Ahkam Al-Quran, karya Ibn Al-Arabi (w. 543 H.)
- Al-Jami li Ahkam Al-Quran, karya Al-Qurthubi (w. 671 H)
Telah diutarakan di muka bahwa salah satu pemicu munculnya keragaman penafsiran adalah perkembangan kebudayaan dan pengetahuan umat Islam. Bersamaan dengan itu pada masa khilafah Abbasiyyah digalakkan pula penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Di antaranya adalah huku-buku filsafat, yang pada gilirannya dikonsumsi oleh umar Islan. Menyikapi hal ini, umat Islam terbagi kepada dua golongan berikut:
Golongan pertama, vaitu mereka yang menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para fhilosuf tersebut karena menganggapnya bertentangan dengan aqidah dan agama. Mereka bangkir untuk menolak huku-buku itu dan menyerang paham-paham yang dikemukakan di dalamnya, membatalkan argumen-argumennya, mengharamkannya dan menjauhkanava dari kaum muslimin. Di antara mereka adalah Imam Al-Ghazal dan Al-Fakr Ar-Razi yang di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka yang bertentangan dengan agama dan dengan Al-Quran secara khusus, falu membatalkannya.
Golongan kedua justru mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan menerimanya sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha memadukan antara filsafat dan agama serta menghilangkan pertentangan antara keduanya, tetapi gagal. Yang mereka capai hanya menengah-nengahi antara keduanya. Sebab, tidak mungkin nash Al-Quran mengandung teori-teori filsafat.
Dari golongan pertama lahirlah kitab Mafatihu Al-Ghaib karya Al-Fakhr Ar-Razi (w. 606 H.). Adapun terhadap golongan kedua, Adz-Dzahabi berkata,”Kami tidak pernah mendengar ada seorang filsuf-yang mengagung-agungkan filsafat-yang mengarang satu kitah tafsir Al-Quran yang lengkap. Yang kami temukan hanya sebagian pemahaman mereka terhadap Al-Quran yang berpencar pencar dalam buku-buku filsafat karangan mereka.
Tafsir Ilmi
Al-Quran ternyata mendorong pula pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Quran mendorong umat Islam untuk memerdekakan akal dari belenggu keraguan, melepaskan belenggu berpikir, dan mendorongnya untuk mengamati fenomena alam. Allah telah mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniah di samping ayat-ayat qur'aniah.
Keberadaan ayat-ayat yang memiliki ketelitian redaksi mengindikasikan bahwa ayat-ayat berkenaa dengan ilmu pengetahuan ditujukan bagi kelompok tertentu yang suka berpikir secara mendalam. Merekalah yang dibebani untuk menyingkapnya karena hanya mereka yang mampu melakukannya, sebagaimana halnya hanya ahli balaghah yang dapat mengungkap keindahan bahasa Al Quran.
Dengan semangat ini, bermunculanlah sebagian mufassir yang menafsirkan ayat-ayat kaumiah dengan bertolak dari proporsi pokok bahasa, kapasitas keilmuan yang mereka miliki, dan hasil pengamatan langsung fenomena-fenomena alam. Namun, mereka membatasi diri pada penjelasan ayat per ayat secara parsial tanpa menyertakan ayat-ayat yang memiliki tema serupa.
Di antara ulama tafsir yang memperdalam tafsir ilmi adalah:
- Imam Fakhr Ar-Razi dalam Tafsir Al-Kabir.
- Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin dan Jawahir Al Quran.
- Imain As-Suyuthi dalam Al-Itqan.
1. Pandangan Sebagian Ulama tentang Tafsir ilmi
Sikap para ulama kontemporer terhadap tafsir ilmi terbagi dalam dua macam, yaitu menolak dan menerima. Ulama yang menolaknya berpendapat bahwa mengaitkan Al-Quran dengan teori-teori ilmiah merupakan tindakan keliru. Alasannya, Allah menurunkan Al-Quran bukan untuk menjelaskan teori-teori ilmiah, terminologi terminologi disiplin ilmu, dan macam-macam pengetahuan. Mengaitkan Al-Quran dengan teori-teori ilmiah hanya mendorong para pendukungnya untuk menakwilkan Al Quran agar sesuai dengan teori-teori ilmiah.
Hal ini tentu saja akan mereduksi kemukjizatan Al-Quran. Seandainya Al-Quran dikaitkan dengan temuan-temuan ilmiah, dikhawatirkan justru Al-Quran yang disesuaikan dengan temuan-temuan ilmiah itu, bukan sebaliknya. Yang perlu kita lakukan kata mereka, adalah memelihara keagungan dan kemuliaan Al-Quran. Hendaklah diketahui pula isyarat-isyarat Al-Quran tentang rahasia penciptaan untuk mendorong umat Islam agar merenungkan dan memikirkannya sehingga keimanan mereka semakin bertambah.
Cukuplah kita mempersepsikan bahwa Al-Quran tidak akan bertentangan dengan hakikat keilmuan dan akan selalu memuaskan akal sehat. Hendaklah para pendukung tafsir ilmi menyadari bahwa mencocok-cocokkan Al-Quran dengan teori-teori ilmiah merupakan tindakan pemaksaan yang tidak dapat diragukan lagi akan mendistorsi missinya untuk memperbaiki sendi-sendi kehidupan dan mengembalikan manusia ke jalan Allah.”
Banyak faktor yang melatarbelakangi sikap tidak simpatik para ulama terhadap tafsir ihmi. Di antara faktor yang terpenting dalam pandangan Hanafi Ahmad- adalah keyakinan mereka bahwa Al-Quran merupakan sebuah risalah petunjuk yang tidak harus berkaitan dengan ilmu ilmu alam. Uraian Al-Quran tentang fenomena-fenomena alam tidak kemudian menunjukkan penjelasan tentang ilmu-ilmu alam, tetapi sekadar rangsangan untuk memikirkan dan merenungkan ciptaan-ciptaan Allah.
Keyakinan itu diperkuat oleh pandangan mereka bahwa uraian Al-Quran tentang fenomena-fenomena alam itu berpencar pada beberapa surat dan ayat yang berbeda beda, tidak seperti susunan sebuah karya ilmiah yang selama ini mereka kenal. Mereka beranggapan bahwa uraian-uraian Al-Quran tentang fenomena-fenomena alam yang terpencar-pencar itu tidak saling berkait satu dengan yang lainnya sehingga membentuk satu tema.
Mereka tidak menyadari isyarat keberadaan ilmu alam dalam Al-Quran sehingga tidak memiliki kunci untuk mengkajinya, kecuali jika mengumpulkan semua ayat yang berkaitan dengan isyarat-isyarat ilmiah, kemudian mengklasifikasikannya menjadi bab-bab tertentu, lalu mengkarinya secara mendalam.”
Karena faktor-faktor di atas, dengan sendirinya, tidak ada sekelompok orang Islam pun yang secara khusus berpikir tentang ilmu-ilmu kemodernan. Tidak tampak di antara mereka kajian-kajian kemodernan. Dengan demikian, apa bedanya keyakinan mereka dengan keyakinan orang-orang Perancis yang menyatakan bahwa di antara kitab-kitab suct yang diturunkan, tidak ada satu pun yang menghimpun pengetahuan tentang fenomena fenomena alam ! Apa bedanya pula keyakinan mereka dengan keyakinan orang-orang Perancis yang menyatakan bahwa ilmu dan agama merupakan dua hal kontradiktif yang tidak dapat disatukan ! Akibatnya, mayoritas para pelajar muslim tidak melakukan penelaahan dan perenungan yang mendalam terhadap kitab suci mereka.
Sebab, mereka berkeyakinan bahwa di dalamnya tidak terdapat ilmu yang patut dipelajari sehingga mereka memiliki kebudayaan yang maju. Keadaan itu diperparah dengan tidak adanya kesungguhan para pengelola pusat-pusat studi, mulai dari sekolah-sekolah umum sampai sekolah tingkat tinggi. untuk merumuskan metode pengajaran yang dapat melahirkan para pelajar yang memiliki akidah yang benar dan menciptakan kepribadian yang kuat.
2. Pandangan Para Sarjana Muslim tentang Tafsir Ilmi
Meskipun dihalangi berbagai rintangan, masih ada sekelompok sarjana muslim yang menaruh perhatian besar pada tafsir ilmi ini. Mereka mengamati ayat-ayat kauniyah dengan cermat dan saksama. Di antara mereka adalah DR. Muhammad Ahmad Al-Ghamrawi. Dalam sebuah karyanya, ia menyajikan missi-misi Al-Quran dengan uraian yang sangat menarik. Ia kemukakan pula nash-nash Qur'ani yang berkaitan dengan norma-norma dan kemasyarakatan”tanpa terpengaruh oleh terminologi disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi, dalam kondisi tertentu, terkadang ia kemukakan pula terminologi. terminologi itu.
Tafsir Adabi-Ijtima'i
Tafsir jenis ini berupaya menyingkapkan keindahan bahasa Al-Quran dan mukjizat-mikjizatnya ; menjelaskan makna-makna dan maksud-maksudnya : memperlihatkan aturan-aturan Al-Quran tentang kemasyarakatan ; dan mengatasi persoalan persoalan yang dihadapi umat Islam secara khusus dan permasalahan umat lainnya secara umum. Semua itu diuraikan dengan memperhatikan petunjuk Al-Quran yang membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Corak tafsir ini pun berupaya mengompromikan antara Al-Quran dan teori-teori pengetahuan yang valid. Corak ini mengingatkan manusia bahwa Al-Quran merupakan kitab Allah abadi yang sanggup menyetir perkembangan zaman dan kemanusiaan.
Di samping itu, corak tafsir ini berupaya menjawab keragu-raguan yang dilemparkan musuh menyangkut Al-Quran. Corak tafsir ini pun berupaya menghilangkan keraguan mengenai Al-Quran dengan mengemukakan berbagai argumentasi yang kuat.
- Pengantar Ilmu AlQur'an Dan Tafir yang ditulis oleh Hasbi Ash-Shiddiqey
- Metode Tafsir Maudhu'i yang ditulis olehAbdul Hayy Al-Farmawi