Organisasi Pendidikan di Aceh
Disamping melihat dari segi tradisi seperti yang diuraikan pada tulisan sebelumnya, pendidikan di Aceh dapat juga dilihat dari segi organisasi yaitu pendidikan sebagai usaha bersama dan melembaga. Dilihat dari segi ini pendidikan di Aceh dengan tiga tradisi tersebut diatas masih belum terpadu dan masih bergerak sendiri-sendiri.
Dalam pelaksanaan usaha-usaha pendidikan yang bersifat melembaga organisasi pendidikan sebagai wujud kebersamaan dalam melaksanakan pendidikan masih menghadapi kendala-kendala birokrasi dan sentralisasi. Sebagai usaha bersama pelaksanaan pendidikan melibatkan banyak sumber daya manusia, sarana. pelaksanaannya, sistem pembiayaan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan pendidikan.
Baca juga: Tradisi Pendidikan di Aceh
Agar tercapainya effisiensi dan hasil maksimum, pengerahan sumber daya dan sumber dana dan sarana perlu diorganisasikan dengan baik sehingga kesenjangan dapat dihindari baik kesenjangan karena kekurangan maupun karena kelebihan sumber. Sistem birokrasi sangat menentukan apakah pengerahan ini dapat dilakukan dengan baik, effektif dan effisien dan ini merupakan pensyaratan utama keberhasilan pendidikan ditinjau dari segi administrasi dan managemen. sistem Aspek yang paling penting dalam organisasi pendidikan ini ialah adanya suatu kepemimpinan yang effektif dalam pelaksanaan pendidikan.
Salah satu persoalan penting dalam pengembangan pendidikan di Aceh ialah menentukan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap perkembangan pendidikan di Aceh, baik pendidikan sekolah, pendidikan madrasah ataupun pendidikan dayah. Sebagai penguasa tunggal di daerah dan sebagai Kepala Daerah, Gubernur Kepala Daerah pada dasarnya memegang tanggung jawab integral terhadap perkembangan pendidikan di Daerah Istimewa Aceh secara keseluruhan.
Agar tercapainya effisiensi dan hasil maksimum, pengerahan sumber daya dan sumber dana dan sarana perlu diorganisasikan dengan baik sehingga kesenjangan dapat dihindari baik kesenjangan karena kekurangan maupun karena kelebihan sumber. Sistem birokrasi sangat menentukan apakah pengerahan ini dapat dilakukan dengan baik, effektif dan effisien dan ini merupakan pensyaratan utama keberhasilan pendidikan ditinjau dari segi administrasi dan managemen. sistem Aspek yang paling penting dalam organisasi pendidikan ini ialah adanya suatu kepemimpinan yang effektif dalam pelaksanaan pendidikan.
Salah satu persoalan penting dalam pengembangan pendidikan di Aceh ialah menentukan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap perkembangan pendidikan di Aceh, baik pendidikan sekolah, pendidikan madrasah ataupun pendidikan dayah. Sebagai penguasa tunggal di daerah dan sebagai Kepala Daerah, Gubernur Kepala Daerah pada dasarnya memegang tanggung jawab integral terhadap perkembangan pendidikan di Daerah Istimewa Aceh secara keseluruhan.
Baca juga: Perkembangan Pendidikan di Aceh
Tetapi karena sistem pendidikan kita yang masih sentralistis. peranan yang bisa dimainkan oleh Gubernur sebagai Kepala Daerah sangat terbatas, baik dari segi kebijaksanaan maupun dari segi penerapan dan pembiayaan. Dengan dibentuknya MPD sebagai badan non struktural dari Pemerintah Daerah Istimewa Aceh diharapkan Kepala Daerah dapat memberikan suatu kepemimpinan integral terhadap perkembangan pendidikan di Aceh secara keseluruhan karena Badan ini mewakili dan bertanggung jawab kepada Gubernur Kepala Daerah.
Karena itu berfungsinya Majelis Pendidikan Daerah sebagai organisasi bersama untuk seluruh kegiatan pendidikan di Aceh, sangat menentukan bagi terintegrasinya pendidikan di Aceh dalam bidang organisasi. 15. Sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, tentang Sistim Pendidikan Nasional, tanggung jawab utama pelaksanaan pendidikan terletak pada Departemen Pendidikan dan Kebu dayaan Di Daerah Istimewa Aceh, secara struktural Departemen tersebut diwakili oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Ini berarti Kanwil Dikbud tersebut merupakan pemegang tanggung jawab utama pelaksanaan pendidikan di Aceh. Tetapi dalam kenyataannya, konsep tersebut tidak dapat diwujudkan. Misalnya instansi tersebut tidak memiliki wewenang memikirkan pengembangan lembaga pendidikan tinggi seperti Universitas Syiah Kuala, dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi swasta lainnya.
Demikian juga instansi tersebut tidak me miliki wewenang untuk membina pendidikan yang dilaksanakan di madrasah-madrasah dan dayah-dayah. Bahkan wewenang instansi tersebut terbatas pada pendidikan menengah baik umum maupun kejuruan, kepemudaan dan program-program pendidikan luar sekolah. Program program lainnya menjadi tanggung jawab badan badan lain secara otonom dan bertanggung jawab pada instansi pusat.
Tetapi karena sistem pendidikan kita yang masih sentralistis. peranan yang bisa dimainkan oleh Gubernur sebagai Kepala Daerah sangat terbatas, baik dari segi kebijaksanaan maupun dari segi penerapan dan pembiayaan. Dengan dibentuknya MPD sebagai badan non struktural dari Pemerintah Daerah Istimewa Aceh diharapkan Kepala Daerah dapat memberikan suatu kepemimpinan integral terhadap perkembangan pendidikan di Aceh secara keseluruhan karena Badan ini mewakili dan bertanggung jawab kepada Gubernur Kepala Daerah.
Karena itu berfungsinya Majelis Pendidikan Daerah sebagai organisasi bersama untuk seluruh kegiatan pendidikan di Aceh, sangat menentukan bagi terintegrasinya pendidikan di Aceh dalam bidang organisasi. 15. Sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, tentang Sistim Pendidikan Nasional, tanggung jawab utama pelaksanaan pendidikan terletak pada Departemen Pendidikan dan Kebu dayaan Di Daerah Istimewa Aceh, secara struktural Departemen tersebut diwakili oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Ini berarti Kanwil Dikbud tersebut merupakan pemegang tanggung jawab utama pelaksanaan pendidikan di Aceh. Tetapi dalam kenyataannya, konsep tersebut tidak dapat diwujudkan. Misalnya instansi tersebut tidak memiliki wewenang memikirkan pengembangan lembaga pendidikan tinggi seperti Universitas Syiah Kuala, dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi swasta lainnya.
Demikian juga instansi tersebut tidak me miliki wewenang untuk membina pendidikan yang dilaksanakan di madrasah-madrasah dan dayah-dayah. Bahkan wewenang instansi tersebut terbatas pada pendidikan menengah baik umum maupun kejuruan, kepemudaan dan program-program pendidikan luar sekolah. Program program lainnya menjadi tanggung jawab badan badan lain secara otonom dan bertanggung jawab pada instansi pusat.
Baca juga: Perintis Madrasah Al-Muslim Bireuen
Disamping Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan, untuk tingkat dasar pendidikan dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Sesuai dengan struktur yang berlaku instansi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ini berada dibawah Gubernur Kepala Daerah dan bertanggung jawab kepadanya. Ini berarti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan berada dalam lingkup Departemen Dalam Negeri.
Kedudukan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang demikian itu kelihatannya mencerminkan otonomi daerah dalam pendidikan dasar dimana Gubernur dapat mengatur pendidikan Dasar. Tetapi dalam kenyataannya substansi pendidikan dasar masih tetap diatur oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan. Karena hal-hal inilah misalnya Instruksi Gubernur No. 2 Tahun 1990 tentang Wajib Dapat Membaca Al-Qur'an bagi lulusan Sekolah Dasar serta kebijakan lainnya tentang peningkatan pendidikan agama dan adat istiadat serta Bahasa Aceh di Daerah Istimewa Aceh agak sulit dilak sanakan.
Demikian juga kebijakan Gubernur Kepala Daerah tersebut juga tak luput dari kritikan-kritikan, mungkin karena dianggap wewenang Gubernur adalah dalam bidang organisasi semata dan tidak menyangkut bidang materi pendidikan. Pendidikan sistem madrasah diorganisasikan oleh Depar temen Agama, yang dalam hal ini oleh Kanwil Departemen Agama Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Tetapi karena Kanwil Departemen Agama ini bukan saja mengurus madrasah, tetapi juga mengurus lembaga-lembaga dan kegiatan-kegiatan agama lainnya maka madrasah ini hanya diurus oleh satu bidang saja dari Kanwil Departemen Agama. Selanjutnya bidang ini mengurus madrasah mulai Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah sampai Madrasah Aliyah. Ini sangat berbeda dengan pendidikan sekolah yang diurus oleh Kanwil dan Dinas Pendidkkan dan Kebudayaan dimana Dinas dan Kanwil masing-masing mengurus Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah baik Pertama maupun Lanjutan Atas saja.
Dari segi birokrasi hal ini menjadi satu sebab tidak terurusnya pendidikan madrasah dengan baik, karena volume kerja satu bidang dianggap tidak seimbang dengan volume kerja satu kanwil atau satu dinas. Demikian juga staff yang tersedia dalam pelaksanaan suatu bidang pada kanwil tentu tidak sebanding dengan staff yang tersedia pada kanwil atau dinas. Ini merupakan kendala struktural yang sangat penting dalam pengembangan madrasah dewasa ini.
Akan tetapi dengan keluarnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. serta beberapa Peraturan Pemerintah ( PP ) serta Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, maka secara formal permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan sistem madrasah sudah bisa diatasi. Dalam istilah Dedi Supriadi. " Pelita VI akan membuka babak baru bagi lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah naungan Departemen Agama dan ini disebabkan oleh terjadinya perubahan struktural dalam pendidikan di Indonesia dengan keluarnya beberapa peraturan baru tersebut.
Dalam beberapa ketentuan dari perundang-undangan baru tersebut pendidikan madrasah dianggap sebagai pendidikan yang memiliki ciri khas yang disahkan oleh Undang-undang. Seperti dikemukakan dalam pasal 10 PP, No. 28. Tahun 1990, dan pasal 11 PP No. 29 Tahun 1990, maka pendidikan sistem madrasah sebagai sistem pendidikan yang berciri khas Islam akan diselenggarakan oleh Departemen Agama Dengan perundang-undangan baru ini maka kedudukan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah menjadi lebih kuat kedudukannya.
Berbeda dengan pendidikan madrasah dan sekolah yang diorganisasikan oleh Pemerintah melalui kanwil dan dinas seperti tersebut diatas, pendidikan dayah yang seluruhnya dilaksanakan oleh masyarakat belumlah memiliki organisasi yang baik. Memang untuk memikirkan kepentingan pembangunan dan pengembangan pendidikan dayah ini, ulama-ulama dayah telah mendirikan sebuah organisasi yang disebut Persatuan Dayah Inshafuddin, pada tahun 1968.
Disamping organisasi tersebut, Kanwil Departemen Agama juga mencatat perkembangan dan pengembangan lembaga pendi dikan ini melalui Bidang Pendidikan yang ada pada kantor tersebut. Tetapi lembaga pendidikan dayah lebih banyak ber kembang secara sendiri-sendiri mengikuti tradisi yang sudah lama berkembang. Karena lembaga-lembaga ini dibangun secara sendiri-sendiri oleh ulama-ulama dayah, lembaga-lembaga ini lebih bersifat independen, dan sebagaimana yang dialami oleh Persatuan Dayah Inshafuddin, masih memerlukan waktu untuk meng organisasikan lembaga-lembaga ini sehingga menjadi suatu usaha bersama yang saling mendukung.
Sebagai organisasi yang didirikan oleh ulama-ulama dayah, organisasi ini, meskipun masih bersifat silaturrahmi, juga sudah berkembang menjadi forum bersama dalam pengembangan dan menjaga kepentingan pendidikan dayah di Aceh. Disamping organisasi dan instansi-instansi di atas, masih ada beberapa organisasi lain yang menyelenggarakan pendidikan di Aceh seperti Muhammadiyah, Sarekat Islam. Taman Siswa dan Yayasan-yayasan swasta lainnya. Namun dalam pelaksanaan pendidikannya, semua organisasi ini merujuk kepada organisasi organisasi atau instansi-instansi tersebut diatas sebagai jama'ahnya dalam kegiatan pendidikan.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah. misalnya, merujuk kepada Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaan karena menyelenggarakan pendidikan sistem sekolah. Beberapa pesantren terpadu misalnya merujuk kepada Kanwil Departemen Agama karena menyeleng garakan pendidikan model madrasah yang dipadukan dengan dayah. Perujukan tersebut merupakan refleksi dari sistem pendidikan yang berlaku sekarang ini, dimana pendidikan harus mengikuti pola-pola yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Sayangnya karena pola pendidikan dayah atau pesantren belum ada perundang-undangannya, atau belum dimasukkan secara formil sebagai bagian dari asset pendidikan Indonesia maka sistem pendidikan dayah ini masih sangat tertinggal penanganannya. Pada tingkat tinggi, meskipun universitas-universitas dan institut yang ada di Daerah Istimewa Aceh pada umumnya bersifat otonomi, namun lembaga-lembaga itu sangat sentralistis sifatnya, dan sangat sedikit wewenang pemerintah daerah atau instansi di daerah terhadap lembaga-lembaga tersebut.
Pengembangan Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry sangat tergantung pada kebijakan dari masing-masing Departemen di Pusat. Sedangkan pengembangan perguruan-perguruan tinggi swasta diatur oleh Departemen di Pusat melalui sebuah instansi yang disebut KOPERTIS untuk perguruan tinggi umum di bawah Depdikbud dan KOPERTAIS untuk perguruan tinggi agama yang merujuk kepada Departemen Agama. Untuk perguruan tinggi umum, KOPERTIS berkedudukan di Medan yang membawahi wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Sedangkan instansi KOPERTAIS masih berkedudukan di IAIN Ar-Raniry sehingga pengembangan perguruan tinggi agama di Aceh masih melekat sekali dengan keberadaan IAIN Ar-Raniry sebagai lembaga pendidikan tinggi Agama di Aceh.
Pada tingkat tinggi ini hanya ada dua tradisi pendidikan saja yaitu pendidikan sistem sekolah yang bernaung di bawah Depdikbud, dan pendidikan sistem madrasah yang berintikan IAIN dan bernaung dibawah Departemen Agama.
Kutipan dari Tulisan Dr.H.Safwan Idris,MA tentang Pendidikan di Aceh
Disamping Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan, untuk tingkat dasar pendidikan dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Sesuai dengan struktur yang berlaku instansi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ini berada dibawah Gubernur Kepala Daerah dan bertanggung jawab kepadanya. Ini berarti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan berada dalam lingkup Departemen Dalam Negeri.
Kedudukan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang demikian itu kelihatannya mencerminkan otonomi daerah dalam pendidikan dasar dimana Gubernur dapat mengatur pendidikan Dasar. Tetapi dalam kenyataannya substansi pendidikan dasar masih tetap diatur oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan. Karena hal-hal inilah misalnya Instruksi Gubernur No. 2 Tahun 1990 tentang Wajib Dapat Membaca Al-Qur'an bagi lulusan Sekolah Dasar serta kebijakan lainnya tentang peningkatan pendidikan agama dan adat istiadat serta Bahasa Aceh di Daerah Istimewa Aceh agak sulit dilak sanakan.
Demikian juga kebijakan Gubernur Kepala Daerah tersebut juga tak luput dari kritikan-kritikan, mungkin karena dianggap wewenang Gubernur adalah dalam bidang organisasi semata dan tidak menyangkut bidang materi pendidikan. Pendidikan sistem madrasah diorganisasikan oleh Depar temen Agama, yang dalam hal ini oleh Kanwil Departemen Agama Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Tetapi karena Kanwil Departemen Agama ini bukan saja mengurus madrasah, tetapi juga mengurus lembaga-lembaga dan kegiatan-kegiatan agama lainnya maka madrasah ini hanya diurus oleh satu bidang saja dari Kanwil Departemen Agama. Selanjutnya bidang ini mengurus madrasah mulai Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah sampai Madrasah Aliyah. Ini sangat berbeda dengan pendidikan sekolah yang diurus oleh Kanwil dan Dinas Pendidkkan dan Kebudayaan dimana Dinas dan Kanwil masing-masing mengurus Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah baik Pertama maupun Lanjutan Atas saja.
Dari segi birokrasi hal ini menjadi satu sebab tidak terurusnya pendidikan madrasah dengan baik, karena volume kerja satu bidang dianggap tidak seimbang dengan volume kerja satu kanwil atau satu dinas. Demikian juga staff yang tersedia dalam pelaksanaan suatu bidang pada kanwil tentu tidak sebanding dengan staff yang tersedia pada kanwil atau dinas. Ini merupakan kendala struktural yang sangat penting dalam pengembangan madrasah dewasa ini.
Akan tetapi dengan keluarnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. serta beberapa Peraturan Pemerintah ( PP ) serta Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, maka secara formal permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan sistem madrasah sudah bisa diatasi. Dalam istilah Dedi Supriadi. " Pelita VI akan membuka babak baru bagi lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah naungan Departemen Agama dan ini disebabkan oleh terjadinya perubahan struktural dalam pendidikan di Indonesia dengan keluarnya beberapa peraturan baru tersebut.
Dalam beberapa ketentuan dari perundang-undangan baru tersebut pendidikan madrasah dianggap sebagai pendidikan yang memiliki ciri khas yang disahkan oleh Undang-undang. Seperti dikemukakan dalam pasal 10 PP, No. 28. Tahun 1990, dan pasal 11 PP No. 29 Tahun 1990, maka pendidikan sistem madrasah sebagai sistem pendidikan yang berciri khas Islam akan diselenggarakan oleh Departemen Agama Dengan perundang-undangan baru ini maka kedudukan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah menjadi lebih kuat kedudukannya.
Berbeda dengan pendidikan madrasah dan sekolah yang diorganisasikan oleh Pemerintah melalui kanwil dan dinas seperti tersebut diatas, pendidikan dayah yang seluruhnya dilaksanakan oleh masyarakat belumlah memiliki organisasi yang baik. Memang untuk memikirkan kepentingan pembangunan dan pengembangan pendidikan dayah ini, ulama-ulama dayah telah mendirikan sebuah organisasi yang disebut Persatuan Dayah Inshafuddin, pada tahun 1968.
Disamping organisasi tersebut, Kanwil Departemen Agama juga mencatat perkembangan dan pengembangan lembaga pendi dikan ini melalui Bidang Pendidikan yang ada pada kantor tersebut. Tetapi lembaga pendidikan dayah lebih banyak ber kembang secara sendiri-sendiri mengikuti tradisi yang sudah lama berkembang. Karena lembaga-lembaga ini dibangun secara sendiri-sendiri oleh ulama-ulama dayah, lembaga-lembaga ini lebih bersifat independen, dan sebagaimana yang dialami oleh Persatuan Dayah Inshafuddin, masih memerlukan waktu untuk meng organisasikan lembaga-lembaga ini sehingga menjadi suatu usaha bersama yang saling mendukung.
Sebagai organisasi yang didirikan oleh ulama-ulama dayah, organisasi ini, meskipun masih bersifat silaturrahmi, juga sudah berkembang menjadi forum bersama dalam pengembangan dan menjaga kepentingan pendidikan dayah di Aceh. Disamping organisasi dan instansi-instansi di atas, masih ada beberapa organisasi lain yang menyelenggarakan pendidikan di Aceh seperti Muhammadiyah, Sarekat Islam. Taman Siswa dan Yayasan-yayasan swasta lainnya. Namun dalam pelaksanaan pendidikannya, semua organisasi ini merujuk kepada organisasi organisasi atau instansi-instansi tersebut diatas sebagai jama'ahnya dalam kegiatan pendidikan.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah. misalnya, merujuk kepada Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaan karena menyelenggarakan pendidikan sistem sekolah. Beberapa pesantren terpadu misalnya merujuk kepada Kanwil Departemen Agama karena menyeleng garakan pendidikan model madrasah yang dipadukan dengan dayah. Perujukan tersebut merupakan refleksi dari sistem pendidikan yang berlaku sekarang ini, dimana pendidikan harus mengikuti pola-pola yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Sayangnya karena pola pendidikan dayah atau pesantren belum ada perundang-undangannya, atau belum dimasukkan secara formil sebagai bagian dari asset pendidikan Indonesia maka sistem pendidikan dayah ini masih sangat tertinggal penanganannya. Pada tingkat tinggi, meskipun universitas-universitas dan institut yang ada di Daerah Istimewa Aceh pada umumnya bersifat otonomi, namun lembaga-lembaga itu sangat sentralistis sifatnya, dan sangat sedikit wewenang pemerintah daerah atau instansi di daerah terhadap lembaga-lembaga tersebut.
Pengembangan Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry sangat tergantung pada kebijakan dari masing-masing Departemen di Pusat. Sedangkan pengembangan perguruan-perguruan tinggi swasta diatur oleh Departemen di Pusat melalui sebuah instansi yang disebut KOPERTIS untuk perguruan tinggi umum di bawah Depdikbud dan KOPERTAIS untuk perguruan tinggi agama yang merujuk kepada Departemen Agama. Untuk perguruan tinggi umum, KOPERTIS berkedudukan di Medan yang membawahi wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Sedangkan instansi KOPERTAIS masih berkedudukan di IAIN Ar-Raniry sehingga pengembangan perguruan tinggi agama di Aceh masih melekat sekali dengan keberadaan IAIN Ar-Raniry sebagai lembaga pendidikan tinggi Agama di Aceh.
Pada tingkat tinggi ini hanya ada dua tradisi pendidikan saja yaitu pendidikan sistem sekolah yang bernaung di bawah Depdikbud, dan pendidikan sistem madrasah yang berintikan IAIN dan bernaung dibawah Departemen Agama.
Kutipan dari Tulisan Dr.H.Safwan Idris,MA tentang Pendidikan di Aceh