Perkembangan pendidikan di Aceh
Perkembangan pendidikan di Aceh sejak berakhirnya kerajaan Aceh sampai menjelang berakhirnya masa Pembangunan Jangka Panjang Pertama pada awal 1994 merupakan refleksi dari perjalanan sejarah Aceh dalam masa itu sendiri yang penuh dengan gejolak dan perobahan-perobahan yang sangat drastis.
Struktur kehidupan sosial politik masyarakat Aceh mengalami gejolak yang luar biasa sejalan dengan gejolak sejarah Aceh sejak mulai diperangi oleh Belanda pada tahun 1873. Sejak meletusnya perang tersebut, masyarakat Aceh boleh dikatakan diliputi oleh serangkaian peperangan yang sangat lama yang telah meng hancurkan seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat termasuk lembaga pendidikannya.
Baca juga: Peran PUSA Dalam Pendidikan di Aceh
Perubahan yang dialami itu meliputi perobahan dari sebuah kerajaan yang berdaulat, menjadi daerah perang dan jajahan Hindia Belanda, daerah pendudukan Jepang daerah modal dalam masa revolusi kemerdekaan dan pem berontakan DI setelah Aceh menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejak meletusnya perang tersebut pada tahun 1873, sampai setelah terjadinya perobahan struktur politik dengan kemenangan Golkar di Aceh pada tahun 1986, Aceh tidak pernah sunyi dari pergolakan bersenjata.
Pendidikan yang ada di Aceh sekarang ini merupakan produk sejarah yang penuh dengan pergolakan tersebut. Pada masa kerajaan Aceh, pendidikan di Aceh dilaksanakan pada Meunasab meunasah dan Dayah-dayah mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi. Peperangan telah membuat lembaga-lembaga ini hancur berantakan serta kehilangan guru dan murid-muridnya.
Setelah Belanda mulai menguasai Aceh mereka menerapkan pendidikan sistem barat di Aceh sebagaimana halnya di daerah daerah lain di Hindia Belanda. Jepang yang mengalahkan Belanda di Nusantara ini pada awal Perang Dunia kedua juga membawa sistem pendidikan yang berbeda dengan pendidikan yang di terapkan oleh Belanda dan disesuaikan baik dengan kebudayaan Jepang dan keadaan peperangan yang sedang berlangsung. Di atas sistem pendidikan yang ditinggalkan oleh Belanda dan Jepang itu Republik Indonesia mulai membangun sistem pendidikan baru yang bersifat nasional setelah berhasil merebut kemerdekaan dari Belanda melalui perjuangan bersenjata keras.
Perubahan yang dialami itu meliputi perobahan dari sebuah kerajaan yang berdaulat, menjadi daerah perang dan jajahan Hindia Belanda, daerah pendudukan Jepang daerah modal dalam masa revolusi kemerdekaan dan pem berontakan DI setelah Aceh menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejak meletusnya perang tersebut pada tahun 1873, sampai setelah terjadinya perobahan struktur politik dengan kemenangan Golkar di Aceh pada tahun 1986, Aceh tidak pernah sunyi dari pergolakan bersenjata.
Pendidikan yang ada di Aceh sekarang ini merupakan produk sejarah yang penuh dengan pergolakan tersebut. Pada masa kerajaan Aceh, pendidikan di Aceh dilaksanakan pada Meunasab meunasah dan Dayah-dayah mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi. Peperangan telah membuat lembaga-lembaga ini hancur berantakan serta kehilangan guru dan murid-muridnya.
Setelah Belanda mulai menguasai Aceh mereka menerapkan pendidikan sistem barat di Aceh sebagaimana halnya di daerah daerah lain di Hindia Belanda. Jepang yang mengalahkan Belanda di Nusantara ini pada awal Perang Dunia kedua juga membawa sistem pendidikan yang berbeda dengan pendidikan yang di terapkan oleh Belanda dan disesuaikan baik dengan kebudayaan Jepang dan keadaan peperangan yang sedang berlangsung. Di atas sistem pendidikan yang ditinggalkan oleh Belanda dan Jepang itu Republik Indonesia mulai membangun sistem pendidikan baru yang bersifat nasional setelah berhasil merebut kemerdekaan dari Belanda melalui perjuangan bersenjata keras.
Baca juga: Tokoh Pendiri Madrasah Ibadiyah di Sigli
Inilah rentetan sejarah yang mempengaruhi perkembangan pendidikan di Aceh. Diatas segalanya, sistem pendidikan tradisional yang ada tetapi bertahan dan juga beradaptasi dengan sistem yang baru. Sebagai produk dari suatu sejarah yang panjang dan penuh gejolak itu, pendidikan di Aceh telah mengalami perobahan perobahan yang sangat drastis, namun sampai saat itu perjalanan dan perobahan itu masih terus berlanjut karena bentuk dan sistem pendidikan yang sudah ada sekarang dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat Aceh.
Bentuk dan sistem pendidikan yang ada di Aceh sekarang ini belum merupakan suatu bentuk integral yang bersatu dan memiliki hakikat tersendiri tetapi lebih merupakan beberapa bentuk yang terpisah-pisah sebagai warisan masa pra-penjajahan, ditambah dengan model-model yang diperkenalkan selama penjajahan dan kemerdekaan dan perco baan-percobaan baru sebagai interaksi antara bentuk-bentuk dan model-model tersebut.
Mencari, merumuskan dan menerapkan suatu bentuk yang sangat diharapkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta keadaan dunia dewasa ini tentu merupakan suatu pekerjaan besar dan ini merupakan pekerjaan yang harus diselesaikan dalam masa Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua yang akan datang. Usaha-usaha untuk melakukan hal tersebut sebenarnya sudah dimulai di Aceh melalui konsep keistimewaan Aceh.
Keistimewaan Aceh merupakan suatu bentuk otonomi daerah yang diberikan kepada masyarakat Aceh pada tahun 1959, sebagai upaya meredakan konflik politik atau menurut istilah Dr. Nazaruddin Syamsuddin "pemberontakan kaum republik yang timbul di daerah ini pada tahun 1953.”
Meskipun secara struktural dan formal belum banyak yang bisa dilakukan dalam mewujudkan ke istimewaan atau otonomi tersebut, namun otonomi tersebut telah memberikan semangat tersendiri kepada masyarakat Aceh yang dapat mendorong masyarakat Aceh memenuhi berbagai keingin annya dalam pembangunan Aceh.
Lahirnya Kota Pelajar Mahasiswa ( Kopelma ) Darussalam pada tanggal 2 September 1959 merupakan wujud nyata dari usaha-usaha mengintegrasikan pendidikan di Aceh dalam pelaksanaan konsep keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan. Darussalam dewasa ini merupakan satu-satunya kampus di seluruh Indonesia dimana perguruan tinggi umum dan agama hidup bersama-sama dalam satu kampus.
Konsep keistimewaan Aceh masih tetap merupakan kesempatan besar untuk mencari, merumuskan dan menerapkan suatu bentuk dan model pendidikan yang terpadu yang sesuai dengan harapan masyarakat Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun usaha yang sudah lama dirintis tersebut belum lagi menghasilkan suatu pendidikan yang terpadu serta berkwalitas yang dapat memenuhi keinginan rakyat Aceh dan sesuai dengan perkembangan dewasa ini. Apa yang telah dilakukan sejak lahirnya Daerah Istimewa Aceh, bahkan sejak dibentuknya kembali Propinsi Aceh pada tahun 1957, masih merupakan usaha-usaha darorat dalam memberikan pendidikan kepada anggota masyarakat secara merata.
Secara kuantitas, usaha-usaha pendidikan selama in lebih terpusat pada pemerataan kesempatan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat terutama pada tingkat dasar. Dengan dibukanya banyak sekali Sekolah Dasar Inpress maka pengadaan grupun dilakukan secara darurat melalui berbagai program diploma Pendidikan tinggipun masih bersifat darurat, karena tenaga dosen yang tersedia pada umumnya masih lulusan program sarjana.
Karena usaha-usaha lebih terpusat pada pemerataan, maka usaha pemaduan dan peningkatan mutu begitu ketinggalan selama ini. Karena itu pekerjaan mencari, merumuskan dan menerapkan suatu konsep baru yang memenuhi harapan dan kebutuhan merupakan suatu pekerjaan berat yang harus dilanjutkan.
Untuk melakukan pekerjaan ini kita perlu memahami bentuk pendidikan yang ada sekarang sebagai produk sejarah yang demikian itu. Disamping itu kita perlu juga memahami berbagai aspirasi pendidikan yang ada serta kenyataan-kenyataan yang tidak dapat dielakkan yang telah tumbuh dalam masyarakat dalam perjalanan sejarah Aceh yang penuh dengan gejolak itu.
Agar pemahaman dan pengertian tersebut bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, maka keadaan pendidikan di Aceh yang telah berkembang sampai sekarang perlu dikomunikasikan kepada masyarakat. Perkembangan pendidikan di Aceh terutama sejak tahun 1959 perlu dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat. Tahun 1959 ini sangat penting karena tanggal 2 September tahun tersebut telah dijadikan sebagai tonggak bersejarah dalam kebangkitan pembangunan pendidikan di Aceh.
Inilah tujuan utama dari penulisan yang dilaksanakan oleh Majelis Pendidikan Daerah ( MPD ) Daerah Istimewa Aceh, suatu badan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Istimewa Aceh untuk mengidentifikasikan permasalahan-permasalahan pendidik an di Aceh secara terpadu dan menyeluruh serta merumuskan cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Kelahiran Lembaga ini sebenarnya mempunyai arti penting dalam mencari bentuk pendidikan yang lebih terpadu untuk Daerah Istimewa Aceh karena kelahiran lembaga ini pada hakikatnya merupakan suatu langkah dalam menjabarkan konsep keistimewaan Aceh. Konsep keistimewaan Aceh yang diluncurkan pada tahun 1959 itu memiliki tiga komponen utama yaitu keistimewaan dalam bidang agama, pendidikan dan adat istiadat Untuk menjabarkan otonomi dalam bidang keagamaan dan pengembangan kehidupan beragama di Daerah Istimewa Acch Pemerintah Daerah telah membentuk lembaga Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Daerah Istimewa Acch pada tahun 1966.
Selanjutnya MUI DI Aceh ini dipergunakan oleh Pemerintah sebagai model untuk membentuk MUI-MUI Lain di seluruh Indonesia dan di tingkat nasional.
Di samping itu usaha-usaha memahami adat serta mengadakan festival kebudayaan telah meningkatkan kembali appresiasi masyarakat terhadap Adat dan Kebudayaan Aceh. Untuk melengkapi konsep keistimewaan Aceh maka pada tahun 1990 dibentuklah Majelis Pendidikan Daerah ( MPD ) Daerah Istimewa Aceh yang merupakan badan ketiga yang dibentuk sebagai langkah konkrit memikirkan penjabaran keistimewaan Aceh.
Sebenarnya MPD ini tidak dapat dianggap sebagai badan yang pertama yang lahir sebagai penjabaran konsep keistimewaan Aceh. Dalam rangka melaksanakan pembangunan pendidikan di Aceh setelah Propinsi Aceh dibentuk kembali pada tahun 1957, terutama pada waktu mendirikan Kampus Kota Pelajar Mahasiswa ( KOPELMA ) Darussalam pada tahun 1959, Peme rintah Daerah pada tanggal 26 Maret 1958 telah membentuk sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Dana Kesejahteraan Yayasan tersebut kemudian berobah nama Aceh ( YDKA ) menjadi Yayasan Pembina Darussalam ( YPD ).
Meskipun YDKA atau YPD lahirnya sebelum kelahiran Daerah Istimewa Aceh, YPD sebenarnya sudah merupakan sebuah badan yang berusaha mewujudkan keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan. Bahkan kita dapat mengatakan bahwa semangat YPD-lah yang melahirkan otonomi pendidikan dalam konsep keistimewaan Aceh. Yayasan inilah yang menjadi badan sentral dalam menggerakkan dan melaksanakan pembangunan Darussalam sebagai kampus pendi dikan secara resmi pada tanggal 2 September 1959 dan tanggal inilah yang kemudian ditetapkan menjadi Hari Pendidikan Daerah Istimewa Aceh dan diperingati setiap tahun.
Tetapi setelah pembangunan dan pengembangan lembaga lembaga pendidikan tinggi yang ada di Darussalam dilaksanakan oleh masing-masing Departemen secara sentral dari Jakarta, maka peranan yayasan ini menjadi begitu berkurang dan dilupakan begitu saja. Nama YPD sekarang ini hampir tidak terdengar lagi kecuali sebagai yayasan penerbit Majalah Sinar Darussalam, suatu publikasi ilmiyah yang dimulai pada tahun 1968 dan sangat berjasa dalam mempromosikan Kopelma Darussalam itu. Dengan surutnya peranan YPD ini konsep Darussalam sebagai kota pelajar mahasiswa yang terpadupun hampir seluruhnya berantakan.
Akademi Pemerintahan Dalam Negeri ( APDN ) dipindahkan dari Kampus tersebut. Dayah Tinggi Pante Kulu sebagai satu-satunya lembaga yang sepenuhnya diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Aceh mundur sedikit demi sedikit dan berubah menjadi perguruan umum swasta. Untunglah atas usaha beberapa tokoh pendiri Darussalam kehadiran IAIN Ar-Raniry di Darussalam masih dapat dipertahankan. Sekarang Pemerintah Daerah Istimewa Aceh telah membentuk MPD yang dapat diharapkan sebagai pengganti YPD yang telah mundur tersebut.
Badan inilah sekarang yang ditugaskan oleh pemerintah Daerah untuk memikirkan pengembangan pendidikan di Daerah Istimewa aceh secara terpadu. Kelahiran MPD merupakan kelahiran kembali keinginan masyarakat Aceh tentang pembangunan pendidikan seperti yang berkembang pada awal Pemerintah Daerah Istimewa Aceh dan MPD diharapkan dapat mewarisi semangat tersebut. Selama ini pengembangan pendidikan di Aceh dilakukan oleh badan-badan.
Lembaga atau instansi yang terpisah-pisah yang masing-masing mengembangkan pendidikan di Aceh ini secara terpisah-pisah sebagai hasil dari warisan dan pola pengembangan pendidikan yang muncul selama masa pergolakan tersebut yang terpisah-pisah. Tenentralisasinya kebijaksanaan pendidikan selama ini merupakan satu sebab penting bahwa pendidikan di Aceh tidak bisa diitegrasikan.
Kenyataan ini pula yang menyebabkan konsep keistimewaan dalam bidang ini tidak bisa dikembangkan dengan baik. Keadaan ini dirasakan sangat merugikan perkembangan pendidikan di daerah ini karena masyarakat tidak bisa meng konsentrasikan pilihannya dalam memilih pendidikan untuk anak-anaknya.
Akibatnya banyak biaya dan tenaga yang dihabiskan dengan hasil yang tidak memadai. Dan agar perkembangan pendidikan di daerah ini dapat diintegrasikan menjadi suatu sistem yang terpadu dan memenuhi harapan masyarakat Aceh maka tradisi yang terpisah itu perlu dipahami dan dikaji dengan sebaik-baiknya.
Sebelum dilanjutkan dengan uraian atau pemberian tentang tradisi pengembangan pendidikan di Aceh yang agak terpisah-pisah disini akan diberikan sedikit definisi pendidikan yang menjadi fokus dalam tulisan ini. Pendidikan disini diberi definisi sebagai usaha pewarisan nilai-nilai dalam suatu masyarakat yang dilakukan oleh orang yang dewasa terhadap orang yang belum dewasa yang melembaga dan membudaya dalam upaya meningkatkan kwalitas kehidupanya, mengembangkan dan melestarikan hasil karya, cipta dan karsanya.
Pewarisan dilakukan melalui bimbingan, pelatihan. pengajaran dan sebagainya. Yang dimaksud dengan nilai-nilai disini ialah segala hasil cipta, karya dan karsa yang berharga sebagai produk kebudayaan dan peradaban manusia. Tujuan dari pe warisan nilai-nilai tersebut ialah untuk menciptakan manusia yang dewasa dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan ma syarakatnya yang untuk melakukannya dibutuhkan usaha-usaha yang melembaga.
Konsep melembaga dipakai disini karena pada umumnya usaha-usaha yang akan dibicarakan disini adalah usaha-usaha yang memang melembaga dan sudah memasyarakat. Pendidikan dapat juga didefinisikan sebagai kegiatan pewarisan nilai yang berlangsung secara alamiyah dalam keluarga dan masyarakat tanpa ada lembaga-lembaga formil yang professional dan modern yang memiliki kedudukan yang mapan dalam masyarakat. Konsep pendidikan yang demikian adalah konsep yang tahap perkembangannya masih sangat primer karena dalam masyarakat primitifpun pendidikan yang demikian tetap ada.
Meskipun keluarga sebagai lembaga pendidikan primer tetap essensial, dalammasyarakat modern dewasa ini usaha-usaha yang melembaga diluar keluarga menjadi topik utama dalam mengembangkan pendidikan.
Karena itulah definisi pendidikan disini menekankan pada usaha-usaha yang melembaga tanpa mengabaikan keluarga sebagai lembaga pendidikan yang primer itu. Konsep membudaya dipakai disini berdasarkan kepala anggapan bahwa suatu usaha yang melembaga mempunyai kandungan nilai-nilai budaya atau dapat mempengaruhi nilai-nilai budaya masyarakat. Misalnya pendidikan di Meunasah sebagai suatu usaha pendidikan memiliki kandungan budaya tertentu bagi masyarakat Aceh.
Kutipan dari Tulisan Dr.H.Safwan Idris,MA tentang Pendidikan di Aceh
Inilah rentetan sejarah yang mempengaruhi perkembangan pendidikan di Aceh. Diatas segalanya, sistem pendidikan tradisional yang ada tetapi bertahan dan juga beradaptasi dengan sistem yang baru. Sebagai produk dari suatu sejarah yang panjang dan penuh gejolak itu, pendidikan di Aceh telah mengalami perobahan perobahan yang sangat drastis, namun sampai saat itu perjalanan dan perobahan itu masih terus berlanjut karena bentuk dan sistem pendidikan yang sudah ada sekarang dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat Aceh.
Bentuk dan sistem pendidikan yang ada di Aceh sekarang ini belum merupakan suatu bentuk integral yang bersatu dan memiliki hakikat tersendiri tetapi lebih merupakan beberapa bentuk yang terpisah-pisah sebagai warisan masa pra-penjajahan, ditambah dengan model-model yang diperkenalkan selama penjajahan dan kemerdekaan dan perco baan-percobaan baru sebagai interaksi antara bentuk-bentuk dan model-model tersebut.
Mencari, merumuskan dan menerapkan suatu bentuk yang sangat diharapkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta keadaan dunia dewasa ini tentu merupakan suatu pekerjaan besar dan ini merupakan pekerjaan yang harus diselesaikan dalam masa Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua yang akan datang. Usaha-usaha untuk melakukan hal tersebut sebenarnya sudah dimulai di Aceh melalui konsep keistimewaan Aceh.
Keistimewaan Aceh merupakan suatu bentuk otonomi daerah yang diberikan kepada masyarakat Aceh pada tahun 1959, sebagai upaya meredakan konflik politik atau menurut istilah Dr. Nazaruddin Syamsuddin "pemberontakan kaum republik yang timbul di daerah ini pada tahun 1953.”
Meskipun secara struktural dan formal belum banyak yang bisa dilakukan dalam mewujudkan ke istimewaan atau otonomi tersebut, namun otonomi tersebut telah memberikan semangat tersendiri kepada masyarakat Aceh yang dapat mendorong masyarakat Aceh memenuhi berbagai keingin annya dalam pembangunan Aceh.
Lahirnya Kota Pelajar Mahasiswa ( Kopelma ) Darussalam pada tanggal 2 September 1959 merupakan wujud nyata dari usaha-usaha mengintegrasikan pendidikan di Aceh dalam pelaksanaan konsep keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan. Darussalam dewasa ini merupakan satu-satunya kampus di seluruh Indonesia dimana perguruan tinggi umum dan agama hidup bersama-sama dalam satu kampus.
Konsep keistimewaan Aceh masih tetap merupakan kesempatan besar untuk mencari, merumuskan dan menerapkan suatu bentuk dan model pendidikan yang terpadu yang sesuai dengan harapan masyarakat Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun usaha yang sudah lama dirintis tersebut belum lagi menghasilkan suatu pendidikan yang terpadu serta berkwalitas yang dapat memenuhi keinginan rakyat Aceh dan sesuai dengan perkembangan dewasa ini. Apa yang telah dilakukan sejak lahirnya Daerah Istimewa Aceh, bahkan sejak dibentuknya kembali Propinsi Aceh pada tahun 1957, masih merupakan usaha-usaha darorat dalam memberikan pendidikan kepada anggota masyarakat secara merata.
Secara kuantitas, usaha-usaha pendidikan selama in lebih terpusat pada pemerataan kesempatan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat terutama pada tingkat dasar. Dengan dibukanya banyak sekali Sekolah Dasar Inpress maka pengadaan grupun dilakukan secara darurat melalui berbagai program diploma Pendidikan tinggipun masih bersifat darurat, karena tenaga dosen yang tersedia pada umumnya masih lulusan program sarjana.
Karena usaha-usaha lebih terpusat pada pemerataan, maka usaha pemaduan dan peningkatan mutu begitu ketinggalan selama ini. Karena itu pekerjaan mencari, merumuskan dan menerapkan suatu konsep baru yang memenuhi harapan dan kebutuhan merupakan suatu pekerjaan berat yang harus dilanjutkan.
Untuk melakukan pekerjaan ini kita perlu memahami bentuk pendidikan yang ada sekarang sebagai produk sejarah yang demikian itu. Disamping itu kita perlu juga memahami berbagai aspirasi pendidikan yang ada serta kenyataan-kenyataan yang tidak dapat dielakkan yang telah tumbuh dalam masyarakat dalam perjalanan sejarah Aceh yang penuh dengan gejolak itu.
Agar pemahaman dan pengertian tersebut bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, maka keadaan pendidikan di Aceh yang telah berkembang sampai sekarang perlu dikomunikasikan kepada masyarakat. Perkembangan pendidikan di Aceh terutama sejak tahun 1959 perlu dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat. Tahun 1959 ini sangat penting karena tanggal 2 September tahun tersebut telah dijadikan sebagai tonggak bersejarah dalam kebangkitan pembangunan pendidikan di Aceh.
Inilah tujuan utama dari penulisan yang dilaksanakan oleh Majelis Pendidikan Daerah ( MPD ) Daerah Istimewa Aceh, suatu badan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Istimewa Aceh untuk mengidentifikasikan permasalahan-permasalahan pendidik an di Aceh secara terpadu dan menyeluruh serta merumuskan cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Kelahiran Lembaga ini sebenarnya mempunyai arti penting dalam mencari bentuk pendidikan yang lebih terpadu untuk Daerah Istimewa Aceh karena kelahiran lembaga ini pada hakikatnya merupakan suatu langkah dalam menjabarkan konsep keistimewaan Aceh. Konsep keistimewaan Aceh yang diluncurkan pada tahun 1959 itu memiliki tiga komponen utama yaitu keistimewaan dalam bidang agama, pendidikan dan adat istiadat Untuk menjabarkan otonomi dalam bidang keagamaan dan pengembangan kehidupan beragama di Daerah Istimewa Acch Pemerintah Daerah telah membentuk lembaga Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Daerah Istimewa Acch pada tahun 1966.
Selanjutnya MUI DI Aceh ini dipergunakan oleh Pemerintah sebagai model untuk membentuk MUI-MUI Lain di seluruh Indonesia dan di tingkat nasional.
Di samping itu usaha-usaha memahami adat serta mengadakan festival kebudayaan telah meningkatkan kembali appresiasi masyarakat terhadap Adat dan Kebudayaan Aceh. Untuk melengkapi konsep keistimewaan Aceh maka pada tahun 1990 dibentuklah Majelis Pendidikan Daerah ( MPD ) Daerah Istimewa Aceh yang merupakan badan ketiga yang dibentuk sebagai langkah konkrit memikirkan penjabaran keistimewaan Aceh.
Sebenarnya MPD ini tidak dapat dianggap sebagai badan yang pertama yang lahir sebagai penjabaran konsep keistimewaan Aceh. Dalam rangka melaksanakan pembangunan pendidikan di Aceh setelah Propinsi Aceh dibentuk kembali pada tahun 1957, terutama pada waktu mendirikan Kampus Kota Pelajar Mahasiswa ( KOPELMA ) Darussalam pada tahun 1959, Peme rintah Daerah pada tanggal 26 Maret 1958 telah membentuk sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Dana Kesejahteraan Yayasan tersebut kemudian berobah nama Aceh ( YDKA ) menjadi Yayasan Pembina Darussalam ( YPD ).
Meskipun YDKA atau YPD lahirnya sebelum kelahiran Daerah Istimewa Aceh, YPD sebenarnya sudah merupakan sebuah badan yang berusaha mewujudkan keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan. Bahkan kita dapat mengatakan bahwa semangat YPD-lah yang melahirkan otonomi pendidikan dalam konsep keistimewaan Aceh. Yayasan inilah yang menjadi badan sentral dalam menggerakkan dan melaksanakan pembangunan Darussalam sebagai kampus pendi dikan secara resmi pada tanggal 2 September 1959 dan tanggal inilah yang kemudian ditetapkan menjadi Hari Pendidikan Daerah Istimewa Aceh dan diperingati setiap tahun.
Tetapi setelah pembangunan dan pengembangan lembaga lembaga pendidikan tinggi yang ada di Darussalam dilaksanakan oleh masing-masing Departemen secara sentral dari Jakarta, maka peranan yayasan ini menjadi begitu berkurang dan dilupakan begitu saja. Nama YPD sekarang ini hampir tidak terdengar lagi kecuali sebagai yayasan penerbit Majalah Sinar Darussalam, suatu publikasi ilmiyah yang dimulai pada tahun 1968 dan sangat berjasa dalam mempromosikan Kopelma Darussalam itu. Dengan surutnya peranan YPD ini konsep Darussalam sebagai kota pelajar mahasiswa yang terpadupun hampir seluruhnya berantakan.
Akademi Pemerintahan Dalam Negeri ( APDN ) dipindahkan dari Kampus tersebut. Dayah Tinggi Pante Kulu sebagai satu-satunya lembaga yang sepenuhnya diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Aceh mundur sedikit demi sedikit dan berubah menjadi perguruan umum swasta. Untunglah atas usaha beberapa tokoh pendiri Darussalam kehadiran IAIN Ar-Raniry di Darussalam masih dapat dipertahankan. Sekarang Pemerintah Daerah Istimewa Aceh telah membentuk MPD yang dapat diharapkan sebagai pengganti YPD yang telah mundur tersebut.
Badan inilah sekarang yang ditugaskan oleh pemerintah Daerah untuk memikirkan pengembangan pendidikan di Daerah Istimewa aceh secara terpadu. Kelahiran MPD merupakan kelahiran kembali keinginan masyarakat Aceh tentang pembangunan pendidikan seperti yang berkembang pada awal Pemerintah Daerah Istimewa Aceh dan MPD diharapkan dapat mewarisi semangat tersebut. Selama ini pengembangan pendidikan di Aceh dilakukan oleh badan-badan.
Lembaga atau instansi yang terpisah-pisah yang masing-masing mengembangkan pendidikan di Aceh ini secara terpisah-pisah sebagai hasil dari warisan dan pola pengembangan pendidikan yang muncul selama masa pergolakan tersebut yang terpisah-pisah. Tenentralisasinya kebijaksanaan pendidikan selama ini merupakan satu sebab penting bahwa pendidikan di Aceh tidak bisa diitegrasikan.
Kenyataan ini pula yang menyebabkan konsep keistimewaan dalam bidang ini tidak bisa dikembangkan dengan baik. Keadaan ini dirasakan sangat merugikan perkembangan pendidikan di daerah ini karena masyarakat tidak bisa meng konsentrasikan pilihannya dalam memilih pendidikan untuk anak-anaknya.
Akibatnya banyak biaya dan tenaga yang dihabiskan dengan hasil yang tidak memadai. Dan agar perkembangan pendidikan di daerah ini dapat diintegrasikan menjadi suatu sistem yang terpadu dan memenuhi harapan masyarakat Aceh maka tradisi yang terpisah itu perlu dipahami dan dikaji dengan sebaik-baiknya.
Sebelum dilanjutkan dengan uraian atau pemberian tentang tradisi pengembangan pendidikan di Aceh yang agak terpisah-pisah disini akan diberikan sedikit definisi pendidikan yang menjadi fokus dalam tulisan ini. Pendidikan disini diberi definisi sebagai usaha pewarisan nilai-nilai dalam suatu masyarakat yang dilakukan oleh orang yang dewasa terhadap orang yang belum dewasa yang melembaga dan membudaya dalam upaya meningkatkan kwalitas kehidupanya, mengembangkan dan melestarikan hasil karya, cipta dan karsanya.
Pewarisan dilakukan melalui bimbingan, pelatihan. pengajaran dan sebagainya. Yang dimaksud dengan nilai-nilai disini ialah segala hasil cipta, karya dan karsa yang berharga sebagai produk kebudayaan dan peradaban manusia. Tujuan dari pe warisan nilai-nilai tersebut ialah untuk menciptakan manusia yang dewasa dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan ma syarakatnya yang untuk melakukannya dibutuhkan usaha-usaha yang melembaga.
Konsep melembaga dipakai disini karena pada umumnya usaha-usaha yang akan dibicarakan disini adalah usaha-usaha yang memang melembaga dan sudah memasyarakat. Pendidikan dapat juga didefinisikan sebagai kegiatan pewarisan nilai yang berlangsung secara alamiyah dalam keluarga dan masyarakat tanpa ada lembaga-lembaga formil yang professional dan modern yang memiliki kedudukan yang mapan dalam masyarakat. Konsep pendidikan yang demikian adalah konsep yang tahap perkembangannya masih sangat primer karena dalam masyarakat primitifpun pendidikan yang demikian tetap ada.
Meskipun keluarga sebagai lembaga pendidikan primer tetap essensial, dalammasyarakat modern dewasa ini usaha-usaha yang melembaga diluar keluarga menjadi topik utama dalam mengembangkan pendidikan.
Karena itulah definisi pendidikan disini menekankan pada usaha-usaha yang melembaga tanpa mengabaikan keluarga sebagai lembaga pendidikan yang primer itu. Konsep membudaya dipakai disini berdasarkan kepala anggapan bahwa suatu usaha yang melembaga mempunyai kandungan nilai-nilai budaya atau dapat mempengaruhi nilai-nilai budaya masyarakat. Misalnya pendidikan di Meunasah sebagai suatu usaha pendidikan memiliki kandungan budaya tertentu bagi masyarakat Aceh.
Kutipan dari Tulisan Dr.H.Safwan Idris,MA tentang Pendidikan di Aceh