Cerminan Otentik Kehidupan Manusia
Sejatinya, realitas aktual atau realitas objektif sebuah masyarakat adalah realitas eksternal yang padanya bahasa dan persepsi kita merujuk. Ia adalah cerminan otentik keadaan batin sebuah masyarakat; hasil dari interaksinya dengan nilai-nilai manusiawi non material, yang telah menjadi pola dan simbol-simbol dasar yang dilembagakan dan telah menjadi keyakinan bersama.
Dengan sangat lugas, realitas aktual tampil mewakili kondisi batin sebuah masyarakat, sebuah kondisi yang menyangkut keyakinan akan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Ideal atau tidaknya sebuah komunitas manusia ditentukan dari sejauh mana realitas aktual atau realitas objektif itu sama persis atau setidak tidaknya berdekatan dengan pola-pola dasarnya yang bersumber dari falsafah dan pandangan hidupnya. Maka, realitas sosial-budaya aktual sebuah masyarakat yang sebaik-baiknya ialah yang sama persis atau setidak-tidaknya mendekati dengan tata-nilai yang menjadi keyakinannya.
Sebaliknya, realitas sosial-budaya aktual sebuah masyarakat yang seburuk-buruknya ialah yang menolak dan melakukan deviasi dari nilai-nilai tersebut. Bagi umat Islam, klaim keidealannya ( khairu ummah ) terletak pada konsistensi nilai-nilai non-material ( iman ) sebagai keyakinan bersama dan realisasi tuntutan-tuntutan logisnya ( amar ma'ruf dan nahi munkar ) dalam seluruh pola aktual kehidupannya ( QS. Ali Imran, 3 : 110 ).
Berbeda dengan kaum Yahudi yang klaim keidealannya ada pada etnis dan ras Yahudi,”Yahudi adalah ras pilihan Tuhan”. Kaum selain Yahudi dipandang sebagai”ghayem”, keledai-keledai yang harus ditungganginya. Maka, bagi orang Yahudi, urusan perilaku tidak ada kaitannya dengan keidealan seseorang atau suatu bangsa.
Klaim seperti itulah yang menurut Muhammad Quthb dapat memotivasi untuk melakukan perusakan dan mengobarkan semangat angkara murka di kalangan Yahudi. Sebab, dalam pandangan orang orang Yahudi, bagaimanapun buruknya perilaku mereka, namun secara ras, tetap menjadi pilihan Tuhan. Oleh karena itu, dalam sepanjang sejarahnya nyaris tidak ada jenis keburukan atau kejahatan, dari yang paling ringan sampai yang paling berat ( misalnya membunuh para Nabi ) yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi.
Selanjutnya, realitas aktual atau pola perilaku lahiriah yang letih merupakan cerminan otentik dari batin sebuah masyarakat yang letih dan terseok-seok dalam mengaktualisasikan nilai-nilai pragmatik dan intrinsik dalam kehidupan nyata; masyarakat yang telah kehilangan vitalitasnya dalam menafsirkan nilai-nilai tradisionalnya secara tepat di hadapan berbagai tantangan eksternalnya yang berat; masyarakat yang tidak lagi memiliki kemampuan memandang dan mengaitkan masa kini dan masa depannya secara jernih.
Demikian pula realitas aktual sebuah masyarakat yang beringas, keji, dan culas, adalah cerminan batin yang gelisah, keruh, dan rapuh; cermin sebuah masyarakat yang secara batiniah sedang sakit dan memerlukan pengobatan. Lebih dari itu, realitas aktual sebuah masyarakat merupakan cerminan otentik kondisi individunya dalam berpegang kepada nilai nilai pribadi dan dalam kemampuannya meningkatkan keshalihan pribadinya bagi orang lain dan atau masyarakatnya.
Kendati kebajikan moral merupakan fungsi dari keterikatan diri dengan nilai-nilai moral yang telah menjadi keyakinan bersama, namun efek dan implikasi sosialnya tidak mungkin dapat dihindari. Maka, keshalihan individu tetap menjadi asas bagi terciptanya sebuah kondisi realitas aktual yang baik dan harmonis dalam sebuah masyarakat.
Bahkan, nilai-nilai moral dan pemupukannya dapat dipandang sia-sia apabila individu yang bersangkutan tidak secara aktif meningkatkan keshalihan dan manfaat individualnya bagi orang lain. Rasulullah saw menyatakan,”Orang yang baik ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”Sejatinya, nilai-nilai, selama tetap efektif menjadi panduan perilaku masyarakat, akan tetap mampu mengharmonikan kemajemukan yang ada di masyarakat dan memadukannya dalam sebuah tata kehidupan yang tenteram dan indah.
Setidaknya, nilai-nilai tersebut dapat menekan sampai ke titik terendah dari kemungkinan konflik yang terjadi akibat adanya pluralitas dalam sebuah masyarakat. Maka, kejernihan batin masyarakat dapat memberikan dorongan ke arah keteraturan, kewajaran, kerasionalan, dan keharmonisan yang akan terefleksi pada pola-pola aktual yang tenteram, egaliter, dan saling menghargai.
Sebaliknya, amuk batin masyarakat yang terus menggelora dapat memberikan dorongan irrasional, yang selalu meminta kesenangan yang berlebihan dalam hidup, akan terefleksi pada perilaku lahiriah yang reaktif, rusuh, dan bahkan kanibal.
Belakangan ini, lakon kehidupan aktual kita didominasi oleh fenomena kemanusiaan dan sosial menyeramkan yang terus-menerus meneror dan menggelisahkan batiniah. Banyak peristiwa akrobatik di hadapan kita yang sukar dilacak urut-urutan logisnya. Fenomena ini diperparah dengan pengaruh kekuatan dan kemampuan media massa -terutama media massa elektronik yang telah melahirkan ciri kultur global sangat sentralistik dan mendominasi dunia- dalam mene nggelamkan realitas, mempengaruhi berbagai peristiwa, dan menyederhanakan berbagai masalah.
Memang secara umum temperamen berbagai media massa kontemporer selalu memperlihatkan karakter mendua yang inheren dengan keberadaannya. Akibatnya, nyaris tidak ditemukan media massa yang setia terhadap tata-nilai, kode etik, dan misi luhurnya.
Dewasa ini, media secara praktis telah menjadi alat penegasan superioritas sebuah kultur, perluasan falsafah, dan tujuan politik. Selain itu, media massa yang telah menjadi alat efektif pengendali pikiran manusia ini juga mempunyai ciri kontradiktif. Pada kenyataannya, seperti dikatakan Akbar S. Ahmed, media sebagai sebuah senjata bagi sebuah negara dapat saja dimanipulasi oleh musuh untuk menyerang dirinya.
Bagi masyarakat muslim, ketidakmampuan dalam membebaskan dirinya dari kekacauan arah pengabdiannya dan kehilangan keteladanan dalam menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam pesan-pesan Ilahiyah adalah penyebab utama semua fenomena tersebut yang salah satu akarnya adalah membiaknya konsep intelektual kontemporer yang bersumber dari pencerahan Barat, y yang didominasi oleh rasionalitas dan meremehkan spiritualitas.
Di dunia Islam, selama beberapa abad terakhir ini, nyaris seluruh arena kehidupan publik dan privat telah didominasi oleh asumsi-asumsi dasar tentang modernisasi yang sejatinya merupakan jiplakan konsep yang berakar, menurut istilah Muhammad Quthb, dari kejahiliyahan Yunani dan Romawi. Contoh sederhana yang terjadi di lingkungan kita adalah kemarahan seorang model iklan, sehubungan dengan gambar setengah bugil dirinya dalam iklan sabun mandi yang entah oleh siapa tubuhnya dicat merah, kepalanya dikasih kerudung, dan mukanya diolesi wama hitam mirip cadar.
Beliau-sang model tersebut-marah besar dengan menuduh orang yang mencoret-coret gambarnya di billboard itu sebagai ekstremis dan bodoh. Keberangan sang model tersebut jelas merupakan cerminan otentik keadaan batin dan pikirannya yang rusuh. Akarnya adalah gaya hidup dan budaya sang model yang bersumber dari kejahiliyahan modern yang memiliki asumsi dasar bahwa mempertontonkan tubuh telanjangnya yang dapat dinikmati oleh siapapun sebagai bagian dari upaya melakukan modernisasi dan membudayakan manusia.
Modernisasi, menurut pandangan dirinya adalah sesuatu yang sakral, karenanya tidak boleh ada orang yang mengusiknya. Lebih-lebih modalnya dalam melancarkan modernisasi adalah bugilnya itu. Maka, baginya dan orang-orang semazhabnya, bugil menjadi modal dasar dalam membudayakan dan mencerdaskan manusia. Siapapun yang mengusik keasyikannya dalam berbugil, harus dipandang sebagai ekstremis, barbar, dan primitif.
Berbagai asumsi dasar tentang modernisasi itu kemudian secara faktual membiakkan sekularisme, materialisme, individualisme, dan komitmen kemajuan untuk sains dan teknologi, yang selama tiga abad terakhir melaju secara tidak terkendali dan-barangkali di luar perhitungan para penentu kebijakan.
Sebaliknya, proses budaya bagi suatu bangsa, pada hakikatnya adalah proses interaksi bangsa tersebut dengan nilai nilai orisinalnya dan dengan realitas tantangan yang dihadapinya. Harus disadari bahwa menjauhnya umat secara sosial-budaya dari nilai-nilai Islam dapat memunculkan kondisi yang semakin memastikan orang-orang Islam, menurut istilah Rasulullah,”masuk ke lubang biawak”.
Kondisi seperti itu jelas akan melahirkan sejumlah ' deviasi dalam perilaku ( individu dan atau sosial ) yang bisa jadi akan berkembang menjadi fenomena umum yang terlihat pada aspek lahiriah ataupun aspek simbolik ( sikap, emosi, sentimen, motivasi, dan sejenisnya ). Akan lebih parah lagi kalau deviasi itu sampai ke tingkat deviasi sistemik. Dalam sosiologi, seperti dikemukakan Kartini Kartono ( 1992 : 15 24 ), dikenal 3 jenis deviasi ( penyimpangan ): deviasi individual. situasional, dan sistemik.
Deviasi sistemik, oleh para ahli sering diidentikkan dengan sub kultur, atau sistem tingkah laku yang disertai organisasi sosial khusus, rasa kebanggaan, dan lain sebagainya, yang berbeda dengan situasi umum. Dengan kata lain, penyimpangan yang dilakukan telah memperoleh rasionalisasi atau pembenaran dari semua anggota kelompok dengan pola yang menyimpang itu.
Pada kenyataannya, pola penyimpangan sistemik telah melanda dunia Islam dengan dahsyatnya. Pengulangan tanpa pemikiran kembali terhadap teori-teori dari Barat dan praktek dalam disiplin ilmu sosial, kata Malik Badri, merupakan ancaman serius terhadap status ideologi Islam dan identitas budaya di kalangan para sarjana Muslim dan kalangan awam. Kondisi seperti itu telah melahirkan berbagai bentuk perilaku individual dan sosial yang menyimpang jauh dari nilai-nilai Islam dengan sejumlah pembenaran atau rasionalisasi ( tepatnya dalih ) modernisasi dan kemajuan.
Di dunia Islam sekarang ini, penjiplakan besar-besaran seperti itu tidak terbatas hanya pada teori dan praktek yang berkaitan dengan ilmu sosial, tetapi juga telah menyerang ke dalam teori, pemikiran, dan gerakan keagamaan. Banyak gagasan yang menyangkut keagamaan dilontarkan sebagian sarjana Muslim dalam bidang agama yang hanya mengulang dan mempertegas gagasan sarjana Yahudi dan Nashrani. Semua itu membentuk inti polemik intelektual Barat melawan Islam.
Di bagian lain, oleh Barat sendiri, dijadikan alat pembenaran intelektual bagi dominasi kehidupan sosial politiknya terhadap totalitas kehidupan kaum Muslimin, dan pemaksaan ideologinya menjadi satu satunya ideologi global yang harus diterapkan di seluruh dunia. Demikian pula pola pembangunan yang didefinisikan sebagai pengendalian alam untuk keuntungan manusia, yang berjalan menurut prinsip kekuatan pasar liberal.
Akibat yang tidak bisa dihindari dari pola pembangunan semacam itu adalah munculnya model pembangunan di dunia Islam yang mengarah kepada hasil-hasil politis yang bersifat sekuler, individualis, serta hedonis. Kembali kepada doktrin utama Islam dan hidup berdasarkan Al Quran dan Sunnah-dalam semua aspeknya-telah menjadi langkah ideal dan merupakan keharusan bagi setiap muslim dalam rangka membentuk kembali perilaku lahiriahnya yang sesuai dengan pola-pola ideal dalam Al Quran.
Arah pengabdian manusia yang benar bertolak dari dan menuju kepada pengakuan”tidak ada ilah ( yang patut disembah ) selain Allah”Inilah yang disebut”tauhidul ibadah”Sebaliknya, keteladanan yang benar dalam menerapkan nilai-nilai Ilahiyah sehubungan dengan realisasi pengabdiannya kepada Allah swt ialah realisasi pengakuan bahwa”Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya”. Inilah yang disebut”tauhidul uswah”. Kedua tauhid itu selain menjadi pilar utama peradaban Islam juga merupakan landasan Islam itu sendiri.
Tragisnya, di dunia Islam telah merebak pula kekacauan arah pengabdian dan kehilangan keteladanan yang menyebabkan membiaknya berbagai penyimpangan sistemik. Padahal, keadaan tersebut akan memunculkan refleksi tentang sebuah masyarakat yang kemanusiaannya tereduksi secara masif; masyarakat tanpa ruh; masyarakat yang gelisah dan teralienasi dari diri dan Tuhannya; masyarakat yang menggantungkan segala penyelesaian kepada sesuatu yang tidak akan mampu menyelesaikan segala persoalan; masyarakat yang dilukiskan oleh Erick Fromm telah mengarahkan pemikirannya pada berhala yang diciptakan media massa dan pendapat umum, pemerintah, atau para pemimpin politik, yang amat yakin bahwa dirinya mampu, padahal mereka amat bergantung kepada berhala-berhala itu yang sebenarnya tidak mampu menerima pengabdian dan penyembahan yang mereka lakukan.
Ibnu Qayyim berkata,”Allah swt menjadikan jiwa orang-orang yang merasa tenteram kepada selain Allah swt sebagai sasaran panah-panah bencana, supaya para hamba dan auliya-Nya mengetahui bahwa orang yang bergantung kepada selain Allah swt akan terputus kebahagiaannya. Barang siapa yang merasa tenteram kepada selain-Nya, dalam kepentingan dan tujuan dirinya, akan tertutup baginya kebahagiaan sejati.”Model materialis-marxis dalam salah satu kutub spektrum dan kapitalis dalam kutub lainnya- telah menyeret kehidupan manusia dalam kutub kesengsaraan dan kenestapaan.
Secara sosial dan politik marxisme, seperti dikutip para ahli ideologi, identik dengan tirani yang kerakusan, dan anarkisme. kelabu dan brutal, sedangkan kapitalisme identik dengan alienasi, Masyarakat yang tanpa ruh akan memandang manusia tidak lebih dari seonggok daging yang ditopang oleh tulang-belulang. Mereka akan menjadi masyarakat yang telah kehilangan karakteristik dirinya sebagai individu yang bebas merdeka; masyarakat yang kesadaran batinnya telah digerus hingar-bingar kemunafikan; masyarakat yang secara kolektif sedang eksodus menuju alam kesia siaan.
Tegasnya, masyarakat yang sedang memutar perjalanan sejarahnya ke alam primitif, baik dalam pemikiran ataupun dalam perilaku. Bagaimana tidak, kapitalisme negara yang dipadu dengan fasisme, menurut Horkheimer, telah menamatkan riwayat individu. Nilai-nilai seperti kebebasan dan kebahagiaan pribadi larut dalam perencanaan yang total dan komprehensif. Kapitalisme negara dengan bantuan teror politis yang dahsyat dari fasisme dapat mencengkeram individu di bawah cakar kekuasaannya.
Untuk memperteguh kekuasaan, mereka menciptakan bermacam kebutuhan baru, menggiring masyarakat menuju konsumerisme, sementara individu tidak berkuasa apa-apa lagi. Pada awalnya, masyarakat materialistis, dengan arogansi akal instrumentalisnya, hendak menaklukkan alam dan benda-benda yang ada di dalamnya demi kemudahan dan kepuasan hidupnya selama di dunia sekarang ini. Doktrin mempertahankan diri tentang hubungan manusia dengan alam sekitar yang dipertahankan selama berabad-abad ini, berubah terminologinya menjadi penaklukan alam. Ironisnya, yang terjadi justru manusia ditaklukkan, bahkan diperbudak oleh alam dan mesin-mesin yang diciptakannya sendiri.
Di balik masyarakat yang realitas aktual dan kondisi objektifnya seperti itu, tersembunyi berbagai ancaman. Ancaman yang sewaktu waktu meledak dan menghancurkan segala-galanya itu pada kenyataannya melebihi kualitas dan kuantitasnya daripada realitas atau kondisi yang tampak di permukaan. Ia akan menjadi semacam gunung es yang semakin dikorek puncaknya atau semakin meleleh karena terkena terik matahari, akan semakin terlihat betapa luas dan kokohnya yang tertutup di bawah puncak gunung itu.
Hal itu bisa jadi tidak terduga oleh siapapun. Disintegrasi keluarga, disintegrasi sosial, disintegrasi bangsa, bahkan disintegrasi kehidupan adalah fakta-fakta y yang i setiap saat dari balik gumpalan luar. Berbagai fakta itu akan terus menjadi bayang-bayang kehancuran yang amat mengerikan.