Obat Penangkal Kepanikan Diri
Sesungguhnya, kelemahan alam fisik manusia melekat dalam penciptaannya. Namun, di dalam dirinya pula melekat tujuan dan misi otentik. Untuk dapat melaksanakan tujuan dan misi otentiknya, ia dikaruniai fleksibilitas fisik yang sangat luar biasa, di samping potensi akal ( intelektualitas ) dan kalbu ( sensibilitas ), yang dapat menjaga keseimbangan totalitas hidup manusia. Sesungguhnya, potensi ruhiyahlah yang menempatkan manusia sebagai makhluk mulia ( QS. Al Israa ', 17:70 ), selain secara bentuk diciptakan dalam keadaan sebaik-baiknya ( QS. At-Tiin, 95: 5 ).
Tuhan mengemukakan beberapa kelemahan fundamental manusia yang harus dihindari. Misalnya, dilukiskannya manusia sebagai makhluk yang amat aniaya dan mengingkari nikmat, sangat banyak membantah, dan bersifat keluh kesah lagi kikir. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 34, surat Al Kahfi ayat 54 dan surat Al Maarij ayat 19-21.
Oleh karena itu, fenomena kelemahan atau ketidakberdayaan dalam menghadapi persoalan tertentu. Ini merupakan salah satu ciri kemanusiaan manusia yang bersifat alamiah. Pola hidup bersama dan kebutuhan pertolongan dari kekuatan di luar dirinya merupakan tuntutan funda mental manusia yang harus diperhatikan. Dengan demikian, manusia harus berjuang selama hidupnya di dunia; mengatasi ketidakhadiran relatif dalam proses adaptasi terhadap dunia luar yang melingkupinya, serta menghadapi gejolak intrinsik dan berbagai hambatan kosmis.
Maka, sikap khauf ( takut ) akan laknat Tuhan dan raja ' ( harap ) akan rahmat Tuhan adalah sikap yang benar dalam menghadapi hambatan-hambatan kosmis dalam bayangan masa depannya. Sebab, di dalam potensi intelektualitas dan sensibilitasnya bergejolak dorongan orisinal untuk bergerak secara progresif atau secara retrogresif, yang apabila tidak dikendalikan secara benar sangat mungkin dapat merusak semua potensi dirinya sendiri. Kesadaran akan kelemahan dirinya sendiri, sejatinya, merupakan karunia yang sepantasnya disyukuri oleh setiap manusia.Maka, setiap manusia harus terus-menerus berupaya keras memelihara dan mengembangkan kesadaran diri akan ketergantungannya pada horison yang melingkunginya, dan ketergantungan horison itu kepada penguasa alam semesta melalui sikap fagr ( miskin ) dan zuhd ( prihatin ), serta tauhid dan tawakal. Sikap-sikap itu sengaja ditanamkan di dalam diri manusia demi menghindari tumbuhnya arogansi yang sangat membahayakan kehidupan diri, masyarakat, dan lingkungannya.
Dengan menyadari akan kelemahannya, setidaknya seseorang dapat terhindar dari sifat dan sikap sombong juga arogan, gejolak intrinsik yang apabila dibiarkan liar tanpa kendali, nilai-nilai luhur dapat menjerumuskan kemanusiaannya ke dalam jurang kehancuran. Kesombongan seseorang dapat mengganti keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan yang semestinya selalu bersemayam dalam dirinya dengan kemampuannya untuk menghancurkan, mendominasi, dan mengendalikan, sehingga tindakan dan pikirannyalah yang menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kepanikan.
Apabila sikap sombong seseorang menyangkut Allah swt dan rasul rasul-Nya, dengan tidak mau tunduk kepada kehendak-Nya yang telah disampaikan rasul-rasul-Nya, maka kesombongan itu dapat menyeret pelakunya pada kekufuran; sebuah sikap dan tindakan salah yang akan membawa kerugian. Kufur sama artinya dengan penolakan mentah mentah terhadap nilai-nilai Ilahiyah yang dapat menjamin keselamatan hidup manusia. Kufur merupakan tindakan egois yang dilakukan demi kepentingan dan daya tarik duniawi secara tidak bertanggung jawab. Sejatinya, tidak beriman kepada Allah dan al Islam ( kufur ) dipandang sebagai penolakan terhadap Dzat yang gaib ( transendental ), Yang Mahatinggi, bebas berkehendak, Mahakuasa, dan layak dipatuhi dan diibadahi, serta penolakan yang total kepada nilai-nilai yang selaras dengan penciptaan manusia sendiri.
Penolakan itu tentu saja memiliki implikasi sangat luas terhadap nasib kehidupan seseorang atau sebuah masyarakat. Sebab, kebahagiaan hidup manusia tergantung kepada keimanannya kepada Allah dan kepatuhannya kepada kehendak-Nya yang dimanifestasikan di dalam wahyu dan tata alamiah-Nya. Apabila sikap sombongnya itu berkaitan dengan manusia, maka dapat mendorong pelakunya kepada kecenderungan tirani; yang bertentangan dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk yang merdeka dan bertanggung jawab. Bagi manusia, kemerdekaan yang dimilikinya itu justru memberikan kepadanya keluhuran dan martabat tinggi.
Pada kenyataannya, sikap sombong yang berpotensi kepanikan tersebut telah menyerang individu, bangsa-bangsa, dan bahkan kebudayaan materialistis yang mendominasi kehidupan sekarang ini. Secara faktual, tingkah laku individual dan sosial mereka mencerminkan pelanggaran terhadap tanda-tanda dan perintah Allah swt di dalam alam semesta. Mereka menjadi sombong dikarenakan pengetahuan, prestasi, kekayaan, banyak pendukung, dan kekuasaan. Orang-orang yang sombong dan yang menyatakan dapat berdiri sendiri, serta bebas dari pertanggungjawaban terhadap norma-norma atau kekuatan di luar diri mereka, seperti diungkap S. Waqar Ahmed Husaini, senantiasa terkikis di dalam proses sejarah yang menimbulkan berbagai konflik sosial”.
Oleh sebab itu, kesadaran akan kelemahan diri dapat meredam segala kecenderungan yang mengarah kepada tindakan tirani; sikap dan tindakan yang tidak hanya merugikan dirinya sendiri, melainkan juga merugikan kemanusiaan sejagat. Tindakan tirani sama artinya dengan menghilangkan salah satu potensi dasar manusia itu sendiri, yaitu kemerdekaannya, dan secara zalim memposisikan dirinya di luar eksistensinya. Pada tingkat aksiologis, tindakan tirani yang dilancarkan seseorang terhadap orang lain sama nilainya dengan perampasan hak kemanusiaan paling fundamental.
Oleh karena itu, tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai kejahatan besar kemanusiaan. Allah swt telah mengisyaratkan dalam firman-Nya bahwa pemicu perbuatan tirani adalah sebuah persepsi yang keliru dalam melihat dirinya; ia melihat dirinya sebagai makhluk yang serba cukup.
Oleh karena itu, kesadaran manusia bahwa dirinya serba lemah dan kekurangan itu sangat penting. Karena dengan kesadaran itu dapat membangkitkan kesadaran bahwa ia memerlukan kekuatan yang ada di luar dirinya. Yaitu suatu kekuatan yang tidak ada tandingannya. Itulah Dzat Yang Maha Esa, Mahatinggi, Maha Memerintah, dan Maha Memberi segala yang diminta. Hanya kepada Nya-lah semestinya kita meminta dan kepada-Nya pula kita harus menggantungkan diri.
Menurut Erick Fromm, hal itu merupakan upaya manusia untuk lari dari kehidupan dan pengalamannya ke arah alam yang semata-mata mekanikal dan berhubungan dengan otak. Mereka yakin bahwa dirinya mampu mengemukakan pikirannya. Kalau kita lihat dalam kenyataannya mereka hanyalah menerima gagasan orang lain saja. Kemudian dianggap sebagai bagian dari dirinya sendiri. Persepsi seperti itulah yang telah membentuk karakteristik donistik sekarang ini. Masyarakat yang luar masyarakat materialistis biasa majunya dalam bidang materi, namun luar biasa pula merosotnya di bidang nilai spiritual; masyarakat yang secara keruhanian mengalami kehancuran; masyarakat yang menggunakan kekuatan akalnya sebagai hakim pemutus terhadap semua masalah, termasuk masalah uluhiyah, yang mengakibatkan dirinya terjerumus ke dalam mitos penafikan wujud Allah swt.
Sikap ini kemudian melahirkan sebuah masyarakat yang melegalisasi dekadensi moral, kebebasan seks, penindasan terhadap kaum wanita, dan berbagai kerusakan lainnya; masyarakat yang telah teralienasi dari keluhuran kemanusiaan dan keagungan Tuhannya; masyarakat yang telah kehilangan perasaan; masyarakat yang tatapan matanya penuh nafsu menindas yang berkobar-kobar terhadap alam. Ketidaksadaran terhadap karakteristik itulah melalaikan yang dinamisme ruhaniah dan kemahakuatan Allah swt. Ketika seseorang teralienasi dari salah satu potensi dasarnya dan dari Tuhannya, di saat itulah seseorang dapat terserang kepanikan ketika berhadapan dengan beratnya persoalan yang dia sendiri merasa tidak mampu menyelesaikannya. Emosinya, menurut Rasyid Hamid, tidak pernah merasa aman, selalu tertarik pada hal-hal yang bersifat tiruan, takut dengan sesama manusia lainnya, takut akan ketergantungan yang menghinggapi dirinya.
Serangan panik, yang merupakan bagian dari komponen kecemasan, adalah kondisi psikologis seseorang yang sedang mengalami kecemasan luar biasa yang menyebabkan jiwanya terteror. Setiap kepanikan merupakan akibat dari konflik antar kekuatan yang inheren pada manusia dan dorongan yang menghalangi kekuatan-kekuatan itu. Ia merupakan ekspresi dari pertarungan bagian personalitas yang sehat dikalahkan oleh pengaruh yang timpang.
Gangguan ini biasanya didahului oleh ketegangan dan rasa tidak tenang, yang kemudian memuncak menjadi kecemasan dan kepanikan. Sejatinya, kepanikan merupakan refleksi dari sikap seseorang yang pada mulanya sangat mengandalkan pemecahan rasional dan kekuatan dirinya dalam memecahkan berbagai persoalan, sehingga kualitas wujud diset-up dalam bingkai paradigma rasionalistis-materialistis-hedonistik: bahwa kebahagiaan sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam masalah uang, kesuksesan dalam bidang ekonomi dan politik, memiliki kekuasaan, meraih popularitas, atau kepuasan birahi.
Namun, dalam alam realitas, ia dihadapkan pada satu kenyataan bahwa dirinya dilanda kelemahan, tidak mampu memecahkan persoalan yang datang bertubi tubi tersebut, dan merasa tidak ada kekuatan lain yang dapat membantu memecahkannya. la merasa khawatir dan takut bahwa persoalan itu dengan sangat cepat akan mencelakakan dirinya.
Dari sudut psikopatologi, seperti dikemukakan Dadang Hawari, panik adalah suatu keadaan kecemasan ( state anxiety ) sedemikian rupa sehingga terjadi disorganisasi fungsi ego dan proyeksi kepada dunia luar. Salah satu penyebab utamanya adalah kehilangan rasa aman dan perlindungan oleh dirinya sendiri yang sebelumnya merasa memiliki kekuatan-tanpa kekuatan di luar dirinya dan mampu memberi rasa aman serta perlindungan terhadap dirinya sendiri. Padahal, kepanikan itu merupakan cermin otentik kelemahan dirinya.
Fakta-fakta historis membuktikan, sepanjang sejarah manusia, dengan kepanikan, manusia tidak akan pernah dapat menyelesaikan masalah. Ketidaksadaran yang menyebabkan kepanikan itu dapat memunculkan keputusasaan, terutama ketika ternyata kita sendiri benar benar tidak mampu memecahkan persoalan yang dihadapi. Sebaliknya, kristalisasi keputusasaan dapat menjerembabkan seseorang ke dalam kubangan fatalis; sebuah kondisi psikis manusia yang tidak terpuji, yang percaya bahwa tidak ada yang dapat dilakukan seseorang untuk mengubah apa yang ada pada dirinya. Cermin pandangan pesimistis-fatalistis ialah teori kehendak butanya filsuf Schopenhauer, yang mengajarkan bahwa kehendak buta dan tidak sadarlah yang menentukan manusia, dunia, dan sejarah. Alasannya, seperti ditunjukkan Max Horkheimer,”Kehendak manusia itu tak terbatas, sedangkan kemungkinan untuk memuaskannya terbatas.”
Di situlah timbul frustrasi dan penderitaan. Hidup, menurut pandangan ini, pada hakikatnya menderita, karena kehendak itu semata-mata dorongan buta, tak pernah putus-putusnya, ingin selalu dipuaskan dan usahanya tak pernah berakhir. Kehendak tidak mempunyai tujuan akhir, pendeknya ia hanya senantiasa menghendaki. Akibatnya, penderitaan juga selalu ada. Pemuasan satu keinginan membangkitkan hasratnya akan kepuasan lain. Terus demikian, tak pernah ada kepuasan akhir. Maka, eksistensi manusia ialah penderitaan dan kesia-siaan. Kebahagiaan sejati, menurut pandangan ini, adalah omong kosong belaka.”
Di dalam panggung kehidupan, banyak ditemukan kasus tragis yang dihasilkan oleh sikap panik yang melanda manusia modern. Dari mulai yang paling ringan sampai ke tingkat paling berat, misalnya bunuh diri; dari yang efek dan implikasinya terbatas sampai yang sangat luas.
Semakin luas jangkauan kekuasaannya, semakin luas pula efek kepanikannya. Tragisnya, ketika sebagian dari kita terkapar dalam kepungan keputusasaan dan terkurung dalam kubangan fatalis yang menghinakan, mereka justru menyerahkan diri kepada sesuatu yang tidak berdaya seperti kita.
Dan yang lebih tragis lagi, kepada sesuatu yang lebih tidak berdaya daripada ketidakberdayaan kita sendiri. Misalnya kepada bebatuan, kuburan, dan benda-benda kosmis lainnya. Akibatnya, kehidupan manusia tertimbun dalam tumpukan kepanikan dan keputusasaan yang semakin berlapis-lapis. Sejatinya, baik kepanikan ataupun keputusasaan merupakan efek logis dari kehilangan energi yang bisa membangkitkan harapan akan kecerahan dirinya sehubungan dengan masa depannya.”Harap”atau raja dalam bahasa Arab, merupakan sikap yang benar terhadap masa depan seseorang sebuah proses penimbunan energi diri yang sangat potensial.
Ternyata, rahasia energi itu ada pada ketergantungan kita kepada Dzat Yang Mahakuasa. Inilah yang disebut tawakal; salah satu energi diri yang dapat ditransformasikan menjadi daya yang dapat meredam semua gejolak intrinsik yang membahayakan diri dan kehidupannya, dan dapat menangkal setiap gejala kepanikan diri yang bisa jadi salah satu faktor penyebabnya adalah kecemasan terhadap objek tertentu ( pho bic anxiety ).
Seringkali, energi tawakal yang sangat dahsyat potensinya itu tertimbun oleh lapisan kepanikan yang disebabkan oleh hilangnya kesadaran bahwa kita adalah makhluk yang serba lemah dan kekurangan. Akibatnya, energi tawakal yang begitu dahsyat pengaruhnya terhadap ketenangan dan kecerahan jiwa seseorang dalam menghadapi masa kini dan masa depannya dan terhadap ketahanannya dalam menghadapi situasi kemanusiaan yang menekan dirinya tidak berfungsi secara baik.
Inti tawakal adalah penyandaran hati hanya kepada Dzat Yang Mahakuasa, yaitu Allah swt, tidak bergantung kepada selain-Nya. Menurut Imam Ghazali, tawakal berarti pengandalan hati kepada Tuhan Yang Maha Pelindung. Sebab, segala sesuatu tidak ada yang keluar dari ilmu dan kekuasaan-Nya. Sebaliknya, selain Allah swt, tidak ada yang dapat membahayakan atau memberikan manfaat, kecuali dengan seizin Nya. Selain itu, tanah ( memohon pertolongan ) kepada Allah adalah cerminan orang yang bertawakal. Memohon pertolongan hanya kepada Allah swt mengandung dua asas pokok: percaya kepada Allah swt dan bersandar kepada-Nya.
Ada orang yang percaya kepada orang lain, tetapi ia tidak bersandar kepadanya disebabkan ia merasa cukup dan tidak memerlukan pertolongannya. Tawakal adalah satu makna yang sesuai dengan kedua prinsip di atas, yaitu percaya dan bersandar ( i'timad ).
Tragisnya, bergantung dan berserah diri kepada Allah swt, dalam persepsi masyarakat materialistis, sering dipandang sebagai”kelemahan”yang harus dikutuk dan dibuang jauh-jauh. Padahal, jika seseorang tidak berupaya menundukkan berbagai dorongan fithrahnya pada tujuan ideal, yakni ridha Allah swt dan tidak berupaya menggantungkan dirinya kepada Dzat Yang Maha Memberi, maka sebenarnya ia sedang mengarahkan dan menyeret hidup dan kehidupan dirinya sendiri atau orang lain ke jalan kesesatan, yang tidak dapat menjamin dirinya akan memperoleh apa yang dibutuhkannya. Tawakal hanya mungkin tegak pada diri seseorang apabila tauhid telah benar-benar tertanam dan berakar dalam hatinya.
Dalam konteks inilah, Imam Ghazali menyatakan bahwa tauhid sebagai fondasi tawakal yang paling asasi. Apabila tauhid telah tertanam dalam hati seseorang, maka tawakal akan tegak dalam pengertian yang sesungguhnya. Tauhid itu sendiri merupakan inti dari makna la ilaha illallah, tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Al lah swt, yang kemudian ditingkatkan perluasan maknanya menjadi iman kepada kekuasaan mutlak yang merupakan inti dari makna lahu al mulk, makna uullahu el hamd dan selanjutnya iman kepada kemurahan-Nya yang merupakan inti dari Selain itu, tauhid merupakan inti pengalaman agama yang pada esensinya mengembalikan sebab segala sesuatu ke sumbernya yang satu, transenden, dan abadi.
Sikap tawakal mengembalikan akhir segala sesuatu kepada sumber yang sama. Tauhid menyadarkan manusia bahwa Al lah adalah sebab pertama segala sesuatu, sedangkan tawakal mempercayakan sumber itu sebagai tempat berakhimya segala sesuatu.
Tawakal bukan berarti menafikan ikhtiar dan sebab-musabab, karena memenuhi tuntutan faktor penyebab tidak akan membahayakan ketawakalan seseorang jika dibarengi dengan keterbebasan hatinya dari ketergantungan kepada selain Allah. Bahkan setidak-tidaknya, menurut Ibnu Qayyim, menegakkan faktor-faktor penyebab yang diperintahkan Allah merupakan syarat penting dalam mewujudkan tawakal. Orang yang mengabaikan syarat itu, tawakalnya akan cacat. Sama halnya dengan menegakkan faktor penyebab yang dapat menghasilkan kebaikan, yang merupakan syarat keberhasilan tujuan.
Seseorang yang mempunyai cita-cita atau tujuan namun dia tidak mau menegakkan sebab-sebab tercapainya cita-cita dan tujuan itu, maka cita-cita dan tujuannya hanya akan menjadi angan-angan. Sehubungan dengan energi tawakal tersebut, Rasulullah saw membuat satu perumpamaan yang sangat tepat dan indah, yang menunjukkan betapa potensialnya energi tawakal dalam berikhtiar mengarungi lautan kehidupan:”Jika kalian benar-benar ingin bertawakal kepada Allah, maka lihatlah burung-burung itu, pagi keluar dalam keadaan perut kosong dan sore hari kembali ( ke sangkarnya ) dalam keadaan perut penuh.”
Tawakal merupakan pekerjaan hati manusia dan puncak tertinggi keimanan seseorang. Maka orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan dilanda keluh-kesah dan gelisah, apalagi panik, karena semua itu dapat ditangkalnya. Orang yang bertauhid dan bertawakal akan selalu berada dalam ketenangan, ketenteraman, dan kegembiraan. Jika memperoleh nikmat ia akan bersyukur, dan jika tidak, ia akan bersabar. Ia menyerahkan semua keputusan, bahkan dirinya sendiri, kepada Allah. Namun, penyerahannya itu tidak berarti meninggalkan usaha dan ikhtiar. Ciri amal orang yang bertawakal yang paling kentara, menurut Al Ghazali, ada empat:
( 1 ) berusaha memperoleh sesuatu yang dapat memberi manfaat kepadanya,
( 2 ) Memelihara sesuatu yang dimilikinya dari sesuatu yang bermanfaat itu,
( 3 ) Menolak dan menghindarkan bencana, dan
( 4 ) berusaha menghilangkan mudharat yang menimpa dirinya.
Hikmah tawakal antara lain membuat orang percaya diri, memiliki keberanian dalam menghadapi setiap persoalan, memiliki ketenangan dan ketenteraman jiwa, diberikan rezeki yang cukup, dipelihara, ditolong dan dilindungi Allah, selalu berbakti serta taat kepada-Nya.
Ringkas kata, orang yang bertawakal akan menaati semua hukum-Nya yang transenden, yang karenanya ia menjadi kekasih-Nya. Seseorang yang bertawakal akan tetap tabah dalam menghadapi berbagai musibah yang menimpanya; tidak akan tergoyahkan dengan berbagai macam ujian dan cobaan yang melandanya.
Kutipan dari Tulisan Ustadz Abu Ridha dalam Buku Spiritualitas Islam