Corak Pemikiran Ibnu Khaldun
Perlu kita ketahui bahwa setiap pemikir pada dasarnya adalah dibatasi oleh kondisi real yang mengelilinginya. Walaupun dalam keterbatasan. mereka masih dapat menampilkan gagasan-gagasan spektakuler dan menghasilkam pendapat-pendapat besar serta teori-teori yang gaungnya masih terdengan jauh berabad-abad dari masa hidupnya.
Ibnu Khaldun hidup di abad ke 14. Pendidkan yang ditempuhnya, latar belakang intelektualisme yang mengitarinya dan pengalaman pengalaman hidupnya" mempengaruhi corak pemikiran yang menjadi cin khas metode ilmiyahnya.
Zaman Ihnu Khaldun merupakan periode transisi dalam sejarah lslan. Di pelbagai pelosok dunia Islam muncul negara-negara kecil menggantikannya. Di Timur, muneul antara lain al-Buwaihi dan al-Salman dari Parsi dan negara-negara Turki Saljuki, Khawarimi Begitu pula Usmaniyah yang menjadi ahli waris kerajaan Abbasiyah. Di Barat muncul kerajaan Aglabiyah dan Muwahhidun, di samping Bani Umayyah di Andalusia.
Meskipun kehancuran di bidang politik hampir merata di selunuh pelosok, akan tetapi di bidang peradaban dan dmu pengetahun tetap terpelihara oleh negara negara kecil tersebut. Orang orang Arab yang dikenal dalam sejarah sebagai "mediator " antara Timur dan Barat dalam bidang ilmu pengerahuan, telah mengambil dari mana saja dan terus mengembangkan sumbangan pula dengan pengetahuan pengetahuan baru, dan demikian seterusnya hingga masa Ihnu Khaldun.
Inilah yang menjadi suatu ciri yang spesifik latar belakang kehidupan Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun lahir dari keluarga politikus dan intelektual. Suatu latar belakang kehidupan istimewa dan terhormat pada saat itu. Tradisi intelektual in warisi dari keluarganya.
Iqbal seorang filosof modern, membuktikan hal ternebur dengan mengatakan "sebenarnya seluruh jiwa Muqaddimah, umumnya aspirasi yang diterima pengarangnya dari ruh al-Qur'an.
Di dalamnya karyanya tersebut tidak dijumpai kesan sebagai seorang scientiisc konvensional yang memakai fakta-fakta empirik dan argumentasi rasional yang kontradistif dengan otoritas.
Kenyataan memang setiap solusi ilmiyah yang tepat (benar) senantiasa sejalan dengan wahyu. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun yang realis dan rasionalis, juga idealis sekaligus. " Dalam banyak hal Muqaddimah tampak begitu rasional, di sumping tidak mengesampingkan naql. Pada dirinya terdapat paduan yang serasi antara rasio dan naql. la sendiri adalah pemikir yang teguh beriman dan kommitted terhadap ajaran agama.
Tetapi berbeda dengan pendahulu lain, ia mendudukkan secara proporsional antara otoritas wahyu dan rasio. la tidak mau mencampuradukkan segala hal dan menghubungkan segalanya dengan ketentuan agama, yang sering hanya bersifat dipaksakan Gustifikasi). Ia hanya mau melihat masalah dunia dengan penalaran ilmu.
Atas dasar itu konsep Aristoteles tentang logika dapat disetujuinya, tetapi konsepnya tentang ketuhanan (teologi) menurut Ibnu Khaldun tidak punya dasar yang kuat. Sebab akal mempunyai kemampuan terbatas menjelajahi yang llahiyat.
Ilmu Kalam menurut Ibnu Khaldun, ialah suatu di siplin yang mencakup cara beragumentasi dengan dalil-dalil logika atau dialektika dalam mempertahankan aqidah keimanan serta menolak pikiran-pikiran baru yang dalam arti dogma dianggap menyimpang dari keyakinan ogama menurut ajaran salaf (ortodoks) dan kaum muslimin yang mula-mula.
Intisari keimanan ialah tauhid keesaan Tuhan. Tetapi, ia menambahkan, hahwa sekalipun dialektika itu memang baik. ia tak dapat melumpuhkan argumen-argumen pihak lawan.
Di samping itu llmu Kalam juga dipakai dalam perdebatan mengenai wujud Tuhan, tentang al-Qur'an, tentang hari kiamat dan lain-lain. Dalam banyak hal Ibnu Khaldun tidak mengabaikan peranan intuisi di bidang intelektual. Dia senantiasa menasehati para pembacanya agar tidak terlalu percaya pada logika formal dalam mencari ide baru dan agar membiarkan kecbenaran diüilhamkan ke dalam fikiran mereka oleh Allah SWT sendiri.
Dia mengklaim bahwa seluruh teorinya telah diilhami oleh Allah dalam waktu mengasingkan dini di tempat pengembaraannya. Seperti pernah dikatakannya sendiri "Allah telah mengungkapkannya kepada saya, tanpa mempelajari dari Aristoteles atau informasi lainnya dari seorang guru Persia".
Karena itu mengingat demikian apiknya peran logika dalam karyanya dapat dianggap Ibnu Khaldun sebagai pencipta logika baru.
Menurut beberapa penulis Ibnu Khaldun adalah pengikut al-Gazali. Menurut yang lainnya, Ibnu Khaldun adalah pengikut Ibnu Rusyd. Sementara yang lainnya lagi mengatakan Ibnu Khaldun pengikut al- Gazáli dan Ibnu Rusyd sekaligus. Dia mengambil dari al-Gazali tentang permusuhannya terhadap logika Aristoteles.
Pada masa Abbasiyah, logika Aristoteles diperkenalkan dalam Islam, melalui penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Bagi sekte tertentu segera mengadopsinya dan akibatnya segera menghadapi konflik dengan kaum tradisional. Konlik ini dengan segala konsekuensinya sangat mempengaruhi pemikiran Islam pada umumnya dan pemikiran Ibnu Khaldun pada khususnya.
Logika Aristoteles pada dasarnyn merupakan alat yang sangat efektif untuk menyerang dan bertahan di tangan golongan-golongan yang berkonflik. Tegasnya logika ini akan menjadi senjata yang ampuh untuk membuktikan bahwa sesuatu itu benar dan musuhnya salah.
Dengan mempelajari semua kaidah berfikir yang dianggap benar-benar mendasari bangunan logika Aristoteles. seseorang akan menemukan orientasi dikotomis dan kecendrungan kuat gaya pikir sakral. Sejarah logika Aristoteles dalam Islam agak menarik. Ketika logika ini diperkenalkan, alim mental sudah siap untuk memahami dan mecemai argumentasinya yang dikhotomis.
Dua peristiwa histories menjadi bukti kuat perkembangan ini. Pertama munculnya Mu'tazillah dan kedua berdirinya khalifah Abbasiyah.
Al-Gâzali mengecam para filosof dengan seteliti mungkin dan sejujurnya. Sebagaimana al-Gåzáli, Ibnu Khaldun menyerang filosof-filosof Hellenistik yang mencoba merekonsiliasi syari'at dan wahyu dengan rasio dan filsafat.
Dalam hal ini menurut Ibnu Khaldun, para filosof mencoba mempertemukan (reconsile) sesuatu yang tidak dapat dipertemukan (irreconcilable). Akal (reason) tidak akan pernah menjangkau kebenaran-kebenaran spritual (spritual truths), karena kebenaran-kebenaran spritual itu bukanlah objek (akal)-nya, sebagaimana halnya mata tidak mungkin menangkap suara, atau telinga tak mungkin menangkap cahaya. Semua kebenaran transendental berada di luar kemampuan akal.
Di dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menerangkan keterbatasan akal. la mendiskusikan masalah-masalah filsafat serta beberapa teori ilmu pengetahuan yang dianggapnya mempunyai kelemahan, karena terlalu mengandalkan akal.
Dalam pandangan Ibnu Rusyd, al-Ghazali salah karena mencoba menyangkal filsafat, sementara ia menguraikan filsafat kepada umum dan membuat penemuan-penemuan itu dengan cara-caranya yang tak dapat dicerna oleh umum.
Ibnu Khaldun sejalan dengan al-Gázáli, yang keduanya sangat kuat mempertahankan, bahwa untuk memahami kodrat realitas tertinggi (the sultimate) bukan dengan akal pikiran saja, tetapi harus dengan pengalaman religius.
Tetapi Ibnu Khaldun sangat menghargai al-Gazali yang dinilainya sebagai orang yang paling berjasa mengem- balikan tasawuf ke tempat yang semestinya. Dalam hal ini Ibnu Khaldun tidak pernah mengeritik tasawuf yang dikembangkan al-Gazali.
Dari kenyataan tersebut, dapat ditegaskan, bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir besar dan ilmuwan yang kritis dan objektif, rasional tetapi juga agamawan yang taat, dilandasi oleh iman yang kuat deng penuh kesadaran. Suatu kehidupan yang berimbang dalam dirinya, dalam menghayati agama Karena itu Ibnu Khaldun berbeda dengan Machiavelli yang menolak sama sekali idealisme dan menerima realisme, sedangkan Ibnu Khaldun menganggap kedua-duanya sama penting.
Ibnu Khaldun memang tidak terlalu memperhatikan kebenaran dalam arri metafisis dan religius, karena ini hanya dapat ditemukan oleh para Nabi. Akan tetapi Ibnu Khaldun tidak mengabaikan kenyataan, bahwa logika memang bermanfaat, yang dengannya membantu kita mampu menemukan argumentasi yang terarur, tetapi logika tradisional itu hanya piranti untuk menyerang dan bertahan yang bermanfaat di tangan dua kelompok yang saling bertentangan.
Dari Buku Konstelasi Pemikiran Pedagogig Ibnu Khaldun karangan Bapak Warul Walidin Ak